Malam dan Mabuk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng



aku sering merasakan seperti merasa ditarik masuk kedalam dimensi dunia yang berbeda ketika aku mulai membaca sebaris kata disebuah buku, berada ikut melayang menyaksikan seluruh adegan tiap bab bab pada sebuah buku seolah aku ini saksi bisu yang senantiasa melihat karakter utama kian berkembang. 

aku yakin beberapa dari kalian juga suka merasakan kejadian ini. lalu saat kalian dipaksa berhenti untuk membaca buku karena alasan lainya, perasaan semakin resah menimang nimang adegan selanjutnya, imajinasi kalian semakin mengambang luas di atas langit menebak nebak, lalu fikiran kalian hanya berpatuk pada bab bab selanjutnya yang kalian belum rampungkan.

iya, aku sedang mengalami fase itu. deretan buku yang dianggap terlarang, kini berada di kamar ku, tergeletak rapih diatas meja belajar, buku yang dulu aku hanya mendengar desas desusnya kini bahwa bisa aku buka dan aku mulai baca kalimat perkalimatnya. menakjubkan, aku tidak pernah tahu bahwa aku senekat ini, pikirku tingkal kenakalan ku hanya sampai batas pergi ke clubing dan pulang sebelum aku benar benar kehilangan kesadaran.

Iya, cezka bukan hanya memimjamiku satu buku kisah asli soal cerita rakyat, namun buku buku pram yang paling terlarang bahkan ia pinjamkan kepadaku. aku merasa keberatakan jika ia meminjamiku sebanyak ini, namun katanya tidak apa, ia sudah baca bukunya ribuan kali sampai hafal setiap dialognya. tebakanku benar, perempuan ini memang bewawasan luas, yang diluar ekpretasiku perempuan ini berwawasan luas hingga sampai pasar bawah tanah saja dirinya tahu.

senang rasanya ketika aku mendapat suatu hal dari sudut pandang yang berbeda, sudut pandang antimainstrem yang mungkin terlalu antimainstrem karena temasuk larangan aturan negara, tapi anehnya detak jantungku semakin berdegup kencang tidak sabar, jarirku gemas untuk membalik kertas halaman selanjutnya, aku sendiri tidak ada habisnya berdecak kagum atas pemikiran pemikiran yang sebelumnya aku belum pernah dengar. semakin aku membacanya, semakin aku  masuk pada dunia baru.

namun aku harus berhenti membaca buku itu karena waktu mulai menipis dan aku harus melaksanakan kegiatan kampusku yang normal, tentu saja aku tidak membawa buku itu, terlalu beresiko, jadi aku harus tunda dulu menjelajahi bab perbab buku buku itu. saat tanganku perlahan menutup halamanya, jiwa ku tertarik masuk dalam raga ku, seperti terhantam realita.

aku juga tidak ingat mengapa aku malah berakhir pada sebuah club malam yang suaranya menekan gendang telinga? sorot lampu berantakannya membuat mataku sakit, dan bau alkoholnya membuatkanku merasa familiar, seperti berada saat  aku sering mengintip pada pesta malam ibu. sangat berbanding terbalik dengan suasana ditheater yang cenderung hangat dan damaii.

aku tidak pernah suka alkohol, namun aku selalu mabuk karenanya. aku selalu membenci rasanya juga baunya, namun cairian itu selalu masuk kedalam tenggorokanku lalu masuk dan menghangatkan perutku. aku benci orang mabuk, namun aku sendiri selalu sudah setengah mabuk saat pulang dari ruangan ini. 

aku suka bertanya mengapa prinsip hidupku selalu bersarang pada hatiku namun fisiku tidak pernah mau mendengarkanya? seperti selalu begini, seperti dikendalikan dua arah yang berbeda, atau memang aku hanya pengecut takut. pilihan pilihanku selalu tidak mempunyai fondasi yang kuat, berujung aku menyesalinya karena belum punya kekuatan untuk menolak dan berpegang teguh pada prinsipku.

suasana gesekan sepatu dan lantai yang aku pijak mukai bertabrakan ketika musik mulai diputar di dance hall, tidak seperti teman-teman yang satu table yang dengan semangat cerianya menuju dance hall, aku hanya duduk dengan tenang di table kami, bersender pada lengan sofa sambil mengoyangkan perlahan segelas tequila di jariku, mataku yang kabur memandang kumpulan remaja lainya yang sedang menari seperti malam ini adalah malam kalian menari, jadi menarihlah seperti orang gila! 

 betul raga miliku memang berada di ruangan ini, namun jiwaku masih terkatung katung di dunia buku dalam kamar. 

jika kalian bertanya, apakah aku anak nakal yang sering keluyupan malam-malam lalu memasuki bar satu persatu? bukan, aku anak pengecut yang terlalu takut untuk masuk kedalam club yang tersembunyi dari polisi juga aparat lainya secara sering -sering, biasanya saat malam minggu atau malam malam tertentu ketika moodku hanya ingin atau tidak punya cukup alasan untuk menolak ajakan teman-temanku.

padahal, club club ini letaknya tidak terlalu sembunyi diplosok, ia hanya tertutup dengan fasilitas ternama saja, seperti hotel bintang lima yang jika kamu mengatakan kata kuncinya sang pelayan akan membawamu menuju ruangan tertutup yang sudah dipenuhi lampu lampu sorot tidak beraturan, atau mungkin restaurant mewah milik orang asing yang bangunannya tertutup namun jika kamu masuk lebih dalam akan mulai terlihat dentuman lagu yang menekan telinga. clubing seperti ini tentu tidak terlalu menjadi sorotan oleh para polisi, padahal di meja sebelahku saja terdapat dua orang yang sedang bertransaksi sebuah tepung yang kalian semua tahu itu apa, terkemas rapih dengan dilinting kertas berlapis emas. 

sepertinya polisi juga akan terkena masalah jika mereka menangkap anak anak dari atasan mereka bukan? atau mereka memasukan penjara yang mana diantara remaja-remaja iini adalah salah satu dari keluarga khusus pemimpin negara yang diberi hak istimewa, akan sial nasib mereka.

jujur saja, tempat aku berada sekarang dengan theater koma, sama adanya. sama sama melanggar aturan negara. namun terlihat sangat berbeda bukan?

tentu saja, bedanya ada disini, pengemis tidak akan memikirkan sebuah hiburan seperti ini jika kebutuhan pokoknya saja tidak bisa terpenuhi. jadi siapa yang memikirkan sebuah hiburan? iyap, para manusia yang terus dihujani uang uang kebebasan.

kami memiliki uang untuk mengambil otoritas kekusaan untuk menaklukan hukum dan aturan negara, dan mereka bertindak sebagai bentuk protes ketidakadilan kaum atas pada kaum rendah. 

sungguh pilu kami disini melinting ganja dengan sesuka hati karena ayah atau kerabat kami memiliki jabatan tinggi pada suatu roda ekonomi dan pemerintah, sedangkan mereka disana tidur meringkuk kedinginan dengan rasa lapar yang menjadi sahabat mereka tampa uang sepeserpun.

aku jadi merasa tidak enak hati langsung menyatakan bahwa kumpulan peseni ditheater itu sebuah pemberontak negara ketika aku duduk manis dengan sebuah minuman keras ditanganku, lalu aku ini apa? apakah aku lebih baik dari mereka? remaja yang tidak peduli pada sesamanya, hanya memikirkan bagaimana bersenang-senang. lucu sekali, aku melihat mereka sebagai pembuat onar ketika mereka hanya berteriak meminta tolong untuk mengembalikan hak hak mereka yang sudah seharusnya mereka dapat?

beberapa hari ini selang aku membaca buku pinjamanku, aku kembali bertemu cezka hanya sedekar untuk berbincang, peretemuan yang ringan. cezka sangat pandai bercerita, aku seperti masuk kedalam cerita yang ia suguhkan. iseng iseng aku meminta dia untuk menjadi tour guide ku pada sebuah tempat bersejarah, lalu aku melontarkan tempat tempat yang aku belum pernah datangi sebelumnya seperti museum dikota tua--jangan tertawa karena aku sungguh belum pernah kesana--atau ke daerah daerah plosok yang semakin aku sadari bahwa negara ini memang miskin,

negara ini memang sedang sekarat, ternyata bukan terjadi sekarang-sekarang, namun sudah dari lama adanya para rakyat sekarat di tanah airnya sendiri. 

pertanyaan pertanyaan mulai masuk dalam otaku, kemana saja aku selama ini? mengapa aku tidak sadar? mengapa dulu saat melihat anak dibawah umur sudah bekerja di kebun bisnis kelapa sawit kami, aku tidak menyadari betapa kritisnya negara ini sampai anak yang seharusnya duduk di bangku sekolah malah berbelok bekerja tiap malam dikebun kami di daerah kalimantan sana? 

sudut pandang baru ini dari buku buku yang aku baca seolah satu satunya hal yang baru bilang tentang kebeneran padaku, ditambah perlahan aku berbincang pada cezka, semakin sadar betapa dongonya diri ini pada saudara sebangsa kami.  aku bertanya pada ayahku saat ada kesempatan, jawaban dia sama seperti ku dulu, acuh tidak peduli pada topik yang aku lontarkan, 

bagaimana mungkin, dengan semua kekayaan yang dia punya juga kekayaan leluhur yang mereka wariskan, ayah tidak pernah menyumbangi uang itu untuk orang yang lebih membutuhkan? bahkan hanya 0,001%-nya saja tidak pernah. katanya, untuk apa.

untuk apa, untuk apa, bayangkan saudara-saudara. pria yang mempunyai ratusan hektar kelapa sawit di daerah kalimantan bertanya seperti itu. 

pernah ada suatu saat aku dan cezka turun dari angkot di sebuah jalanan yang bau pesingnya menusuk hidung, membuat ku reflek menyeringit dan menutup hidungku dengan lengan, mati-matian aku mengontrol ekpresiku agar tetap berusaha biasa saja. namun ketika bau amis serta sayur busuk dari pasar kumuh memperkeruh keadaan aku hendak protes pada cezka karena membawaku ke daerah ini, untungnya sebelum mulutku mengeluarkan kata kata yang tidak bagus mataku lebih dulu menangkap sesuatu, ketika kami masuk lebih dalam pada sebuah gang kecil lalu berhenti disebuah gubuk reyok di sebelah pasar amis penjual ikan, aku kembali dibuat bingung melihat anak anak dengan baju rombeng duduk berkumpul memperhatikan sesuatu. 

ada pria disana yang berbaju cukup rapih, duduk di depan papan tulis juga dihadapan para anak-anak. iya, pria ini mengajari mereka membaca. perlu kalian ketahui, rata-rata anak yang sedang duduk berkumpul ini mungkin sekitar umur 9-15 tahun, remaja awal yang sejatinya pembelajaran mereka bukan hanya sebatas A-I-U-E-O atau -IBU BUDI SEDANG KE PASAR. seharusnya mereka sudah mengenal automi tumbuhan pada pelajaran scient. dahulu saat seumuran mereka aku sedang menangis, mengeluh banyaknya pelajaran yang membuat otaku meledak, ditambah badanku yang tidak mau di ajak kerja sama saat pelajaran seni tari ballet pada sore hari.

tampa bertanya pada cezka akupun tahu ini adalah anak anak yang tidak dapat bersekolah akibat ketimpangan sosial yang terlalu curam. jika kalian melihat adiku dan anak anak itu di sandingkan, kalian akan tahu bedanya, jauh bagai bumi dan langit.

diam-diam aku jadi merasa tokoh jahat. 

cezka saat itu mengajaku masuk, berkenalan dengan mereka semua, termasuk pria dengan kemeja rapih dan rambut hitamnya yang sedikit tajam? bibirnya tersenyum kepadaku namun aku tahu sorot matanya tajam menintimidasiku, kalau dipikir-pikir tatapan cezka saat mata kami bertemu untuk pertama kalinya juga seperti ini, seperti menyelidiku apakah aku orang jahat atau orang biasa saja. 

"Bim, ini teman yang aku bicarakan" ujar cezka pelan,

pria yang dipanggil Bim ini menganguk kepadaku, "salam kenal, Abim"

"di--

"DIANDRA, SI BUNGA MERAH MUDA KU!!" 

oke, tunggu sebentar, nostagia soal kegiatan sore kemarin harus ditunda akibat Jeynand, pria dengan hidung mancung berdarah belanda-korea-indonesia mulai menghampiriku dengan tubuhnya yang linglung, sebuah botol hijau vodca puluhan juta sudah berada di gengamannya, sekali-kali ia menempelkannya ujung botol itu pada bibirnya, meneguknya dengan setengah sadar sehingga membuat airnya keluar mengalir hingga leher dan kerah kemeja berantakanya.

sambil memperhatikan dirinya berjalan sempoyongan ke arahku, aku jadi mengingat jabatan yang akan diwariskan kepadanya pada masa depan, sebuah kursi pemimpin perusahaan property nomer satu dinegri ini. aku bahkan merasa cezka lebih cocok duduk di kursi tinggi itu dari pada sampah yang kekasihku sendiri. oh tuhan, mengapa juga aku mengencani pria mabuk mesum ini?

asal kalian tahu, pria ini gemar masuk kantor polsek akibat tertangkap sedang mabuk dan meracau di tengah jalan. aku tahu, aku tahu betapa hukuman berat bagi seorang pemabuk dimalam hari apalagi di era kepemimpinan negara kita saat ini, aku tahu, tapi kalian bisa lihatkan kekasihku ini baik baik saja? tentu, ia hanya diam, membiarkan uang dan jabatan ayahnya yang berbicara.

aku memijat keningku sambil berusaha menarik nafas dalam-dalam. 

aku merasa menjadi orang bodoh, aku sedang apa-sih? duduk tidak jelas sambil menghabiskan puluhan uang hanya untuk sebotol minuman, menikmati dinginya malam sambil menari gila dengan suara yang sama besarnya dengan terompet kampanye, lalu menghabiskan sisa waktu menuju pagi dengan bercumbu dengan pria mabuk yang hidupnya serawutan dengan uang orang tuanya.

 tiba-tiba aku merasa hidupku sampah. 






_____________________























































Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro