Mereka yang jahat

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng
















pada umur 6 tahun, aku diajak oleh ayah menuju kalimantan, tempat dimana sumber ekonomi keluarga kami berasal. dengan memeluk boneka beruang kecil, aku diantar ayah menuju bandara yang saat itu masih jelek rupanya, tidak nyaman untuk telingaku suara mesin pesawatnya, tapi beruntungnya kursi yang kami duduki cukup nyaman untuk perjalanan singkat itu, aku merasa takjub dengan pemandangan dari kaca pesawat yang masih buram saat itu, melihat manusia manusia seperti aku melihat semut di bawah kakiku, melihat daratan yang rupanya sangat kecil dari atas sini.

saat itu aku sadar bahwa lautan lebih menarik dari pada daratan yang tampak biasa saja, aku mulai bertanya banyak pada ayahku yang dengan egonya ia malah meminum segelas anggur di hadapanku, ayahku tidak banyak menjawab, ia hanya mengeluarkan anggukan atau sebuah gelengan.

aku saat itu kecewa besar saat tahu jendela pesawat tidak bisa dibuka, aku menangis diam-diam karena hal yang aku paling tunggu--menyentuh awan--adalah tindakan paling mustahil kata ayahku, tapi tidak apa saat itu Vory kecil menemaniku disana, jadi aku kembali duduk tenang sambil berdialog seakan vorry tamu pesta teh kecil kami diatas pesawat.

tidak perlu waktu lama, kami sampai di pangkal pinang, teriknya matahari langsung menyambutku, membuatku erat erat menyentuh topi bundar merah mudaku, berharap topi ini secara ajaib juga mengeluarkan kipas kepada kepalaku yang mulai gerah. aku saat itu iba pada vorry yang topi khususnya tidak aku bawa, kelupaan karena aku sibuk didandani oleh para pelayan seakan aku ini boneka mereka.

kami menaiki mobil kijang merah yang menjemputkami, setelah ayah memastikan barang bawaan kami sudah terangkut dalam mobil, mobil perlahan kembali melaju membelah hutan-hutan. jalananya jelek, berbatu, curam. aku hendak mengeluh pada ayah, namun ekpresi datar ayah membuatku kembali bungkam, lebih baik aku memeluk vory dari pada membuka mulutku. namun pada akhirnya aku bertahan tidak mengeluh ataupun muntah sampai kita berada di sebuah bangunan mess di lapangan luas.

ayahku disana menggotongku untuk masuk dalam gendonganya karena jalananya super duper jelek dan benyek, aku ingat beberapa senti sepatu ayah masuk dalam lumpurnya, karena itu aku ikut peluk vory, takut ia terjatuh dan tenggelam dalam lumpur, itu sebuah mimpi buruk.

ayah membawaku ke dalam mess, menjabat tangan salah satu pria disana serta perempuan muda di sebelahnya yang memeluk buku. melihat ayahku mengendong salah satu putrinya, pria teman ayah ini tersenyum lebar.

"Siapa ini Pak Nendra? gendhis?"

"gendhis sudah SMP" balas ayahku galak

"oh, diana?"

"iya"balasnya acuh, menurutnya proyek penggalian sungai di sebrang sana lebih menarik untuknya.

aku menyiringit, aku menatap wajah ayah dari dekat dengan ekpresi bingung milikku. "aku diandra" ujar ku tegas. ayah memutar bola matanya malas, "apalah itu" ujarnya

aku mendadak muram, bagaimana bisa ia tidak tahu namaku? seolah itu tidak penting untuk diingat. aku nyaris ingin memukul vory ke kepalanya, nyaris saja jika ayahku tidak segera menurunkanku pada sebuah pijakan yang lebih baik. lalu setelah aku lepas dari pelukanya, ia mengoceh hal hal yang aku tidak mengerti sambil berjalan menjauh dariku,

banyak sekali orang mengikutinya di belakang, mendengarkan ocehannya yang membuat sakit kuping, kasian sekali para anak buahnya , pikirku.

saat itu perempuan muda cantik ini menjadi baby sitter ku mendadak, ia sok akrab dengan ku dengan mengatakan vory tampak cantik,

"vory adalah laki-laki" balas ku,

lalu dirinya terdiam bisu, untuk beberapa saat ia mulai kembali mengajaku berbicara. aku menangapinya karena baunya harum, aku suka bau perempuan ini, yang ketika besar aku sadar bau ini adalah bau bunga mawar dan vanila.

namanya adalah kak Salamah, katanya sekretaris bapak gendut tadi yang salah mengira aku adalah kak gendhis. aku menganguk saja, tidak peduli. kak Salamah membawaku pada sebuah bangku panjang di dekat sana, mengajakku untuk duduk disana.

ketika kami duduk, aku baru sadar bahwa kami di kelilingi pohon kelapa sawit, jelek sekali pohonya, banyak duri duri tajam, seperti tidak bersahabat. selain itu dibeberapa daerah terdapat alat alat besar untuk apa dan membangun apa, aku tidak tahu. namun aku baru sadar bahwa perkebunan ini sangat luas, sangat luas dari arti luas sendiri dari pikiranku. saat sudah besar, aku bertanya mengapa juga ayahku bisa dapat lahan sebesar itu juga menumbuhkan pohon itu secara tertata, aneh.

sejak aku tahu bahwa ayahku adalah pemilik lahan kelapa sawit di kalimantan, aku kira ayahku seorang petani, atau tukang kebun yang mengurusi pohon pohon kelapa sawit yang aku kira bentuknya seperti pohon kelapa, ternyata bukan. ayahku jauh lebih bersih dari pada pekebun yang bau pohon, ayahku bau asap rokok dari pada bau pohon. sejak saat itu aku baru sadar bahwa ayahku cukup punya banyak uang dari pohon-pohon ini.

aku bilang kepadanya untuk berterima kasih kepada pohon, dia malah memandangiku aneh.

jika aku besar mengingat kejadian ini, aku beneran geram kepadanya, mengapa juga ia bersifat seperti itu pada putrinya yang berumur 6 tahun? berekpetasi apa dia dengan bocah polos diumur itu? berharap aku berbicara soal irigasi yang membuat perkebunan mereka jauh lebih mudah? lucu sekali bapa tua ini.

saat sedang duduk di bangku panjang, kak salamah harus sibuk dengan para pekebun yang memakai caping datang dengan panik, berbicara tentang sesuatu yang sepertinya gawat.

aku tidak peduli, jadi aku bangun hanya untuk sekedar mengunakan kakiku, pegal sekali perjalananya.

lalu saat ketika mataku menyapu pandangan, pandanganku stuck di satu object yang membuatku memiringkan kepala ku.

sebuah jeruji besi dalam mess itu, mess tua yang gelap gulita itu samar samar menunjukan jeruji tua dari posisiku. aku mengingat ngingat apakah ayah pernah bilang ia memilihara hewan berbahaya disini sehingga hewan itu harus dikurung seperti itu?

aku mendekat, pergerakanku lolos dari pantauan kak salamah. semakin aku mendekat ke arah pintu mess tersebut, semakin jelas juga jeruji besi itu, bukan hanya satu tapi ada banyak, berderet penuh dari ujung hingga ujung mess.

aku memasukan kepalaku dalam pintu mess, lalu bau tidak sedap tercium.

aku tidak mengerti, apakah ayahku seorang polisi juga sehingga ia memenjarakan para manusia kurus kering kulit terbakar matahari? apakah ayahku seorang pahlawan juga sehingga menangkap para penjahat? beberapa orang yang sedang duduk terkulai dalam jeruji sadar kehadiranku, mereka semua bingung namun tatapan lesu mereka jauh lebih terpendar.

oh tuhan, betapa polosnya diriku saat itu.

penculikan, pembudakan, penganiaan, pelanggaran ham, melanggar upah kontrak. aku baru sadar 15 tahun kemudian, ketika aku lulus dari sekolah menegah atas dan kembali di ajak untuk ke kalimantan bersaama ayah.

hingga sekarang, fakta ini adalah satu satunya fakta yang paling aku tidak mau ingat, fakta bahwa uang yang sedang aku gunakan saat ini berasal dari mereka yang terkurung dalam jeruji, mereka yang terzolimi untuk bekerja di luar batas kemampuan mereka, mereka yang putus asa letih terantai kakinya memandangiku meminta bantuan.

ayahku jauh lebih setan dari pada iblis, jauh lebih keji dari pada mahluk bawah tanah, sama kotornya dengan orang orang atas pemerintahan.

jadi saat aku berdiri diantara aktivis yang menunut keadilan, ayahku hanya tersenyum miring menatapku rendah.

namun aku tidak lemah, aku tidak sendiri, aku tidak akan diam aja. aku punya teman teman barata, aku punya cezka, aku punya adji, aku punya massa, aku punya dukungan, aku punya segala nya dari pada uang.

habislah kau, ganendra. penjahat keji yang mengangap dirinya berada jauh lebih tinggi dari pada orang orang yang tidak memiliki harta sebanyak dirinya.








____________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro