Jauh di kala itu

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng










ini adalah ketika aku jauh-jauh pada diandra yang dulu, diandra yang menunggu diam berharap pertanyaan akan datang menghampirinya, diandra yang lugu tidak mengerti dunia luar sebenarnya. ini adalah diandra yang baru, diandra yang bergerak sesuka hatinya, diandra yang berjalan pada jalan yang ia ingin tuju, barata menemaninya dalam langkahnya bersama cezka, adji dan 3 orang lainya. seketika aku yang dulu acuh bahkan pada orang yang aku kenal, kini mendadak menjadi peduli bahkan untuk negriku sendiri. indonesia kali ini memang sekarang sekarat membunuhkan banyak orang untuk menyadarkan orang orang atas bajingan yang lama berkuasa.

jadi, lain lain saja kita bercerita soal bagaimana diandra bisa hadir dalam pertemuan sesama mahasiwa yang menyerahkan sebuah tenaga mereka untuk negara yang sekarat gila aturan yang jauh dari empat pilar menopang negri. mari kita berkenalan dengan Barata.











___________








Tepat setelah satu gelembung naik ke atas permukaan kuah soto sokaraja lalu disusul gelembung gelembung panas lainya yang membuat benda benda di dalam kuah itu itu berenang berang di dalam kuah panas menggoda, aku tersenyum puas membayangkan lezatnya kuah soto mengalir segar di tenggorokanku, lalu nasi kepul yang disiram kuah akan segera memenuhi perutku, kasihan sekali asam lambung miliku yang sudah tidak mempunyai pekerjaanya, iia sudah habis menhancurkan makanan tadi siang. kalau asam lambungku bisa bicara ia akan berkata seperti ini,

cepat kirimi kami makanan supaya kami bisa bekerja!

memang, si gila kerja!

begitulah asam lambungku bekerja, lalu demo asam lambungku juga membuat tenggorokan pernafasanku sedikit penuh dengan kata lain aku mulai merasakan gejala maag, jadi sebelum hal itu semakin parah aku segera meninggalkan lingkaran diskusi itu untuk menuju dapur jelek kecil yang akhir-akhir ini menjadi seperti lab percobaan buatku.

sedikit beruntung sebelum menuju rumah tua di ujung gang ini, pak selamet menawarkan daganganya yang aku lihat sama sekali belum berkurang sedikitpun, karena hari ini adalah hari raya menyepi juga jadi banyak warga yang berdiam diri dirumah membuat dagangan pak selamet tidak selaris biasanya, ya sudah aku mampir ke tenda jualanya sambil membeli 6 porsi soto paket lengkap.

tidak enak juga aku datang kesebuah perkumpulan namun hanya membawa satu piring jatah makan. mereka semua awalnya bingung menatapku datang sambil membawa sekresek hitam besar, tidak sempat mereka bertanya karena diskusi soal buku novel yang menjadi larangan itu terlalu menarik di bahas sampai-sampai kresek hitamku tidak menarik perhatian mereka.

aku tidak langsung memasaknya, disajikan, aku taruh di meja dapur itu, menggeletaknya begitu saja, soto ini mungkin akan kami santap ramai-ramai saat bulan sudah muncul dan langit mulai gelap nanti. benar saja tebakan ku.

5 orang yang sedang mengelilingiku ini terus berdiskusi dengan bahasa yang berat hingga berjam-jam, cezka yang disana juga bahkan bisa mengerakan tangany untuk menulis kesimpulan diskusi ini saat otak dan bibirnya ikut bekerja, aku banyak terdiam lebih banyak mengajukan pertanyaan pertanyaan jika bahasa bahasa asing mulai mereka sebut sepeti kata 'perek' atau 'kretek' . perek adalah kata lain selain pelacur, dan kretek adalah bahasa tahun 80 untuk mennyebut rokok. oke diksiku semakin bertambah dengan diskusi menyenangkan ini.

namun masalahnya ada disini, otaku terlalu dongo dan lamban untuk pembahasan berat dengan durasi waktu yang sangat panjang, ditengah tengah obrolan bahkan aku sudah memberi jeda dengan mengambil air minum atau mengambil jeda sejenak, tetap saja otaku masih panas berkepul asap, hal ini juga yang menguras tenagaku membuat aku keroncongan, disaat ini baru aku berjalan ke dapur mengambil wajan penyot karatan untuk memanaskan kuah soto.

mengambil mangkuk mangkuk plastik, aku mulai menyiram bihun bihun keras itu dengan kepulan kuah mendidih kuning dalam centong, ketika airnya jatuh bihun-bihun itu mulai menari nari menggeliat menjadi lembek dan menyatu dengan bahan bahan lainya seperti kol-toge- dan potongan potongan ayam. oh tuhan, aku selalu suka warna kuning dari kuah soto, rasanya seegar apalagi di beri bumbu jeruk nipis.

aku melakukan hal itu berulang pada 6 mangkok yang sudah aku susun, lalu aku menatannya pada sebuah nampan besi yang gagangnya tajam, membuatku harus melilit permukaan itu dengan tisu sebelum benar benar mengengamnya, enggan membuat telapak tanganku terluka karena bisa panjang masalahnya dirumah.

senyumlu lebar, sangat lebar sambil berhati hati membawa nampan itu pada ruang utama, aroma lezat dari kuah soto dalam sekejab mulai merambat pada udara dan memenuhi ruangan, mereka yang gila diskusi secara bersamaan memberhentikan ocehan ocehan berat mereka dan menolehkan kepalanya pada ku.

cezka berseru riang, "tadi itu soto ra?" tanyanya

aku menganguk, "ada yang gak suka soto?" tanyaku

disaat seperti ini mereka juga sepertinya enggan menolak soto lezat, sepertinya mereka juga baru sadar bahwa ini sudah lewat dari jam makan malam pastinya perut mereka juga keroncongan.

Adji membantu cezka menyingkirkan segala sesuatu di meja tengah, lalu ia juga membantuku menaruh piring piring kuah kuning itu untuk disajikan pada meja. tatapan mereka semua menjadi liar ketika mata telanjang mereka melihat langsung kuah soto dihadapan mereka.

"nasinya mana? gak kenyang gak pake nasi!" kata abim ganas,

"ambil sendiri lah! sudah susah-susah Diandra masakan, masa nasi juga minta di ambilkan?" keluh cezka, mukaanya bersungut sungut pada abim.

abim tampak mendecih, lalu bersiap bangkit dari duduknya. "aku hanya bertanya bocah"

aku tertawa melihatnya, sambil duduk dikursiku aku menatap abim sebelum mengeluarkan suaraku, "nasinya sudah aku siapkan, tolong ya abim"

abim menganguk menegerti, ia segera bergerak menuju dapur dengan langkah cepat, tidak butuh waktu lama untuk dirinya menemukan sebaskom nasi yang juga masih mengepul, dengan cepat ia langsung membawanya pada tengah meja dan mencentongnya pada mangkok miliknya.

"Senang sekali Ra dapat bergabung disini, kita jadi seperti punya pembantu"oceh ajun sambil menarik sepiring kuah soto dihadapanya, kata kata barusan ternyata mengundang respon negatif dari adji maupun cezka.

Cezka hendak menyuap seesendok kuah soto itu mendadak menatap ajun galak, tidak terima aku di bilang pembantu. "ya, lebih baik diandra dari pada seorang monyet sepertimu yang tidak bisa memberikan manfaat pada Birata"

adji menganguk, "aku setuju perkataan cezka"

"AKU MEMBANTU KOK?!" ajun membelak membela diri.

abim memutarkan matanya, "selain ikut menghabiskan persediaan makanan, kau tidak banyak membantu"

menurutku tidak begitu, Ajun banyak membantu terlebih untuk alat alat komunikasi seperti pager atau radio, tugasnya di dalam rumah markas ini seperti ahli logistik, yang mengerti teknologi walau anehnya jurusan kuliahnya adalah filsafat, abim juga menjulukinya filsafat gila yang selalu mengeluh dan mempertanyakan semuanya. sifatnya ini berbanding terbalik dengan abim yang terkesan cuek tidak mau tahu kecuali hal itu menarik fikiranya, jika tidak penting ia malas sekali memikirkanya seakan otaknya hanya untuk di pakai hal hal penting saja, sisanya buat apa difikirkan.

Aku menyuap makanan paling terakhir, sejujurnya aku hendak melihat respon teman-temanku dahulu, takut tiba-tiba aku terlalu banyak memberi air jeruk nipis pada kuah soto, atau terlalu banyak menakar bihun di dalamnya. Tetapi respon Yogi yang seakan ini adalah makanan paling nikmat yang pernah ia makan, aku menjadi lega.

Hening, percakpaan diskusi selama berjam-jam itu akhirnya lengang diisi suara lidah mendecak makanan atau gesekan sendok pada piring, semuanya berfous pada makanan dihadapanya.

"Kamu beli ini dimana, ra?" di sela-sela menyantap sotonya adji yang duduknya disebelahku mengajukan pertanyaan.

"Pak selamet, depan komplek rumahku" jawabku, tentu saja adji tidak akan tahu siapa pak selamet dan dimana komplek tempat tinggal rumahku.

"ohh, masakanya memang selalu enak seperti ini?" tanya adji lagi.

aku menganguk, mengambil selembar tisu untuk digelar disekitar piringku, risih lihat tetesan makanku kemana-mana, terbayang tatapan galak ibu jika makanku tidak rapih seperti ini. "iya selalu enak, akhir pekan ia selalu menjadi juru masak dirumah"

adji menolehkan wajahnya, membiarkan pandangan mata kami bertemu. "juru masak?" tanya nya bingung, aku lebih bingung melihat reaksinya seperti itu.

"ibumu kemana memang? tidak pandai memasak?" tanya Ajun ikut dalam obrolan

Ibu? ibuku? ibuku tidak pernah memasak, untuk apa juga ibuku memasak?, pernah sekali ibuku memasak bubur ketika tengah malam adik bungsuku sakit dan kami tidak tega untuk membangunkan pelayan, jadi ibuku nekat menuuju dapur untuk memasak, keren sekali saat itu aku melihatnya, demi anaknya tangan lentik ibu rela menyentuh wajan kompor dan berkutat dengan api. karena itu juga aku merasa seperti keren dan bangga saat berhadapan pada masak memasak.

"ibuku ada" balasku singkat. setelah itu tatapan bingung adji menghilang, diganti oleh angukan mengertinya. mungkin ia mengira ibuku sudah meninggal.

setelah kami semua menghabiskan soto sokaraja milik pak selamet itu, semua masih diam membiarkan makanan benar benar turun pada perut mereka, Cezka dan Yogi menuju dapur untuk membuat es teh manis, sisanya menunggu dengan tenang di meja.

"bagian cuci piring kali ini siapa?" celetuk ajun tiba-tiba,

dari arah dapur yang memang jaraknya dekat kami, yogi bersuara, "Aku kemarin sudah!"

memang diisni memiliki jadwalnya tersendiri untuk mencuci bekas piring kotor makan kami, urutanya asal hasil undian, saat aku masuk aku pun mendapat nomer urut paling akhir untuk mencuci piring, kadang jika ada kesempatan untuk kabur maka aku akan kabur, aku senang memasak di dapur ini mengambil segala macam alat alat untuk pendukung masaku, namun untuk mencuci aku tidak suka.

"Adji, jangan kabur kamu" abim menoleh pada adji dengan tatapan galaknya.

adji tertawa pelan sambil mengusap wajahnya, "iya iyaa"

tentu saja ide kabur saat kedapatan piket mencuci piring bukan muncul pada otaku saja, hampir semuanya--kecuali abim--akan kabur jika ada kesempatan.

Es teh dalam teko bunga bunga akhirnya datang, cukup untuk menghilangkan dahaga kami semua dengan satu gelasnya, sambil berceloteh ringan kami menyantap buah jeruk pemberikan kak dimas tadi pagi dan adji bergegas kedapur untuk melaksanakan piketnya.

sejujurnya obrolan itu mengenai Marava dan kelompoknya yang kedapatan memakai narkoba, namun entah mengapa pihak kampus menutup-nutupinya. wajahku berusaha tenang walau tanganku bergerak gusar di bawah meja, tentu saja, aku hadir dalam kelompok marava, diantara teman teman nya yang bermalam pada clubing, aku hadir disana ikut menikmati.

teman teman barata memberi komentar pedas, terlebih abim dan cezka yang menyingungnya calon-calon bajingan para kaum atas, katanya jika diberi kesempatan untuk membunuhnya abim tidak segan segan membunuh mereka semua.

ajun sesekali meliriku, pria ini yang sadar gelagatku aneh, diam tidak seperti biasanya, jadi sebelum pria ini benar benar membuka mulutnya bertanya padaku, aku berdiri menyusul adji ke dapur beralasan mengambil gelas gelas mereka untuk aku serahkan pada adji.

melihat pungungnya dari belakang, aku segera menghampirinya dan berdiri disebelahnya, menaruh setumpuk gelas didalam sana. adji meliriku sekilas sebelum melanjutkan membilas piring piring yang sudah dilumuri sabun. "terima kasih" katanya

aku menganguk, namun tidak beranjak pergi dari posisiku. aduh, aku malas sekali jika harus kembali ke meja itu dengan topik diskusi seperti itu, rasanya seperti ditampar realita.

"bagus, kamu terlihat mau membantu saya ya?" tanya adji

"butuh bantuan?" tanyaku balik

"boleh"

"gelung lengan bajumu terlebih dahulu"

aku menurutinya, mengulung lengan blouse biru mudaku sampai sesiku sebelum tanganku mulai terkucur air keran, tugasku membilas dan adji menuci piring dan mangkok dengan sabun. tidak ada obrolan disana, aku fokus menerima estafet piring dari adji dan segera membilasnya dengan air keran, membilas bagian bawahnya lalu sampingnya dan mengosoknya memastikan sabun benar benar terangkat dari permukaan.

jika berdiri bersandingan seperti ini, tinggku hanya sebatas pundaknya, semua teman barata hampir memiliki tinggi seperti tiang, apalagi ajun yang tampak harus menunduk jika memasuki pintu rumah ini. sedangkan tinggiku normal pada wanita seperti biasanya, terlihat kecil saja karena sekitarku manusia yang terlalu banyak meminum susu saat kecil. jangan tanya soal cezka, kalian pasti mengerti alasan dia di panggil 'bocah' oleh teman teman barata, tubuh nya mungil kecil seperti anak-anak.

menatap jari-jariku yang teroles kutek merah muda, aku jadi memperhatikan tangan adji yang--apa ya bahasanya--maskulinnya sangat terlihat walau kulit adji memang putih, putih bersih seperti orang surabaya kebanyakan. dibandingkan kulitku yang kuning langsat, kulit putih milik adji tampak kemerahan yang membuat syaraf syarafnya jelas terlihat.

estafet gelas terakhir adji sodorkan padaku yang diam saja menunggu gelas tu tertutup sabun dengan sempurna, lalu saat aku hendak mengambilnya--tampa sengaja jariku malah mengengam permukaan gelas sepenuhnya yang mana jari adji ikut masuk dalam gengamanku.

Reflek terkejut, aku melepaskan jariku dari gelas. Bersamaan juga dengan teriakan abim,

"ADJII SINI KAMI PUNYA IDEEEE UNTUK PROTES LUSA!"

badanku sudah cukup dibuat terkejut dengan jariku yang ikut mengengam sebagian jari adji kini harus ditambah terkejut oleh teriakan melengking abim. nyaris saja aku menjatuhkan gelas kaca ini jika adji tidak buru-buru menagkapnya sigap, tampaknya kami berdua sama sama terkejut bukan main.

"ABIM JANGAN BERTERIAK!" adji membentak galak dengan volume yang tidak kalah tinggi.

benar! marahi saja si abim sialan itu adji! jantungku hampir copot turun ke usus!

Dan begitulah pertemuan barata,

Kami terlihat seperti remaja normal lainya bukan? iya benar, kami mahasiswa normal yang gemar berkumpul dan mendiskusikan sesuatu, tampa senjata tampa pikiran pikiran membunuh,

Dan sekedar informasi, Barata selalu menjadi buronan oleh orang orang atas yang gemas sekali ingin menculik kami dan menghabisi nyawa kami.

katanya kami ancaman mereka, benar, mahasiswa yang hanya berdiskusi dan berteriak bertanya menuntut hak hak rakyat adalah ancaman bagi negara.

silahkan tertawa, karena memang negara ini sangat lucu.





__________

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro