AIR DI SELA-SELA KAKIKU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Plaak ...!

Tangan ibu mendarat di pantatku. Rasanya sakit sekali. Aku mulai menangis, tak mampu menahan perih.

"Kenapa, sih, kamu kok nggak ngerti-ngerti?" Ibu meninggikan suara.

Akhir-akhir ini, Ibu jadi sering marah-marah ketika air mengalir di sela-sela kakiku. Ibu jadi sering marah-marah ketika air mengalir dari sela-sela kakiku, padahal dulu air itu tidak mengalir seperti itu.

Kucoba mengulurkan tangan, hendak meraih sosok yang membuatku merasa tentram. Namun, ia malah menghalauku. Menahanku di tempat semula, tanpa bisa mengurangi jarak.

'Ibu, aku ingin memelukmu. Karena pelukanmu bisa meredakan sakit apapun di diriku.' Aku berkata dalam hati. Namun, sepertinya Ibu tak mengerti.

"Jangan dekat-dekat Ibu! Celanamu basah. Nanti baju Ibu ikutan basah."

Aku menatap wajah cantiknya, dengan perasaan bingung. Kata Ibu, celanaku basah. Namun, kenapa bisa bajunya juga basah?

Tangis senduku semakin menjadi. Bukan, bukan karena perih di pantat. Namun, karena ibu tidak mau memelukku. Pada siapa aku harus mengadu?

"Ratih ... Diemin Dea! Aku lagi teleponan sama Pak Heru, nih. Ini masalah proyek besar. Jangan sampai batal."

Kudengar suara Ayah menggelegar. Entah apa yang ia katakan. Namun yang pasti, ada namaku disebutkan. Terbesit niat untuk menghampirinya. Mungkin, ayah mau memelukku, untuk menghilangkan rasa sedih di hatiku.

Sementara Ibu pergi ke belakang, aku pun berlari menghampiri ayah. Dengan pipi dan hidung yang basah, aku memeluknya dari belakang. Sepertinya ayah terkejut. Ia tiba-tiba berbalik dan menghindariku. Aku kembali tersentak.

"Ratih! Kamu dimana?"

Suara Ayah menggelegar. Aku begitu terkejut, hingga isakku tiba-tiba terhenti.

"Ada apa, sih, Mas?"

Aku menoleh pada Ibu yang telah datang membawa tongkat panjang bersumbu.

"Kamu darimana aja, sih? Anak ngompol kok dibiarin?" Ayah berbisik pelan.

"A-aku lagi ngambil pel-an, Mas." Ibu terbata. Namun, Ayah mengabaikannya.

"Iya, Pak Heru. Mohon maaf, ada kecelakaan domestik. Baiklah. Setengah jam lagi, saya telepon kembali." Ayah berbicara dengan benda di telinganya. Tapi, aku tidak paham. Ayah juga tidak menyebut namaku.

"Dea! Kamu tuh, kok malah lari-larian? Pipisnya kan jadi kemana-mana."

Suara Ibu memekakkan telingaku. Padahal, seingatku, suara Ibu sangat merdu. Suara itulah yang membuat tidurku nyaman di rimba amniotik. Suara itu pula yang menenangkanku saat memulai kehidupan baru di dunia penuh cahaya.

"Sudah, sudah. Cepat bawa Dea ke kamar mandi. Terus bersihkan bekas pipisnya."

Ayah kembali menyebut namaku, meski aku tak tahu arti kata-katanya yang lain.

"Mas nggak bisa nolongin buat ngepel?"

"Aku mau nelpon Pak Heru."

"Bukannya ... Mas neleponnya setengah jam lagi?"

"Kamu cerewet banget, sih. Ngepel itu kan tugas kamu. Kenapa harus aku yang ngerjain?"

"Mas, aku capek. Hari ini, aku udah lima kali bolak-balik ngepel. Gantian sekali kan nggak apa-apa."

Aku mulai melihat tirta mengalir di pipi Ibu. Suaranya pun terdengar parau, penuh kesedihan. Aku ingin memeluknya, seperti dulu ia sering memelukku saat aku menangis.

"Ya udah, kalo kamu emang belum siap, toilet training Dea ditunda aja dulu!"

Ayah menyebut namaku. Namun, lagi-lagi aku tak paham ia berkata apa. Yang kutahu, Ayah terlihat marah. Persis seperti saat aku mematahkan mainan Ayah. Mainan yang memiliki dua sisi itu, sangat bagus. Sisi satunya bisa mengeluarkan suara, gambar, dan simbol-simbol. Sementara di sisi lainnya, terdapat lusinan tombol. Kedua sisi itu bisa ditutup dan dibuka. Aku ingin tahu, sejauh mana sisi-sisi itu bisa saling membuka. Tiba-tiba terdengar bunyi 'krak'. Namun, yang membuatku kaget adalah teriakan Ayah. Ia lalu berbicara banyak dengan nada marah. Aku ketakutan dan menangis hebat.

"Mau ditunda sampai kapan, Mas?"

"Sampai kamu sudah siap."

"Ta-tapi ... Mas tahu, aku capek dengar ocehan Mama. Setiap aku ke rumahnya, Mama selalu bercerita bahwa anak-anaknya, termasuk Mas, sudah bisa pipis di kamar mandi sejak usia satu setengah tahun."

Ibu mulai menangis. Aku tidak tahu kenapa. Apakah ada yang mengambil mainannya?

"Aku juga capek diomongin sama tetangga. Katanya aku terlalu manjain Dea. Udah mau tiga tahun, tapi belum lepas popok."

"Kalo memang gitu, kamu harus siap, dong."

"Tapi, Mas. Ketika Mas di rumah, tak bisakah membantuku sekali dua kali?"

"Aku sibuk. Kamu jangan kebanyakan ngomong. Cepetan bawa Dea. Nanti seluruh rumah bisa bau pesing."

Yeay! Ayah kembali menyebut namaku. Dia memang ayah terbaik. Aku menyayanginya. Dengan gerakan cepat aku mulai merangsek hendak memeluknya. Namun, Ayah malah menghindar jauh.

"Ratih, cepat bawa Dea!"

Ah, kenapa Ayah tidak mau memelukku? Apakah karena air di sela-sela kakiku?

💦👣💦👣💦👣💦👣

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro