ZIDAN, SAHABATKU

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jika kau bertanya apa yang paling aku senangi, tanpa ragu aku akan menjawab: saat Zidan bermain di tubuhku. Ia akan berlompatan dengan riang. Sesekali ia melakukan salto, lalu terjatuh. Terkadang, bocah itu berguling dan menghempaskan tubuh mungilnya padaku. Ah, itu adalah momen-momen indah dalam hidupku.

Tak sekedar bermain, Zidan pernah menumpahkan susu bahkan air dari dalam tubuhnya ke tubuhku. Hal terakhir sudah jarang terjadi sejak ibu menaruh seekor serangga di tengah perut gendut itu. Konon, serangga itu bisa membuat Zidan berhenti menumpahkan air tubuhnya di malam hari. Itulah yang mereka percayai. Namun, menurutku bukan lantaran serangga itu. Omelan sang ibu sangat mungkin menjadi penyebabnya.

Sejujurnya, aku sungguh senang dengan perubahan itu. Saat Zidan menumpahkan air di malam hari, tubuhku akan menguarkan bau tak sedap. Maka aku terpaksa berjumpa dengan sinar matahari agar cairan itu menghilang ke udara. Bukan! Bukannya aku tidak suka sinar matahari. Hanya saja, siang itu aku jadi tidak bisa bermain bersama Zidan.

***

Di pagi itu, aku sudah bersiap main dengan Zidan. Namun, sepertinya ibu belum mengijinkan. Alih-alih membiarkan anaknya berlompatan, ibu malah mendirikan tubuhku. Memang, ini bukan kali pertama. Beberapa waktu sekali, ibu akan membersihkan kotoran yang ada di bawahku. Debu-debu akan disapu. Kemudian ibu akan mengepel hingga lantai tempatku berbaring terlihat berkilau dan wangi. Sayangnya, bahkan setelah lantai bersih, aku tidak boleh langsung kembali ke posisi.

Setelah memurnakan tugas, ibu lalu mengajak Zidan bermain di sampingku. Sebuah rangkaian kereta dirakit. Keduanya menjalin lokomotif dan empat buah gerbong warna-warni. Anak-beranak itu juga merakit rel cokelat berbentuk oval. Setelah selesai, kereta pun diletakkan di rel dan mulai melaju sesuai dengan keterangan di buku manual.

Bisa kudengar Zidan tertawa riang. Bocah empat tahun itu terlihat bahagia karena telah menyelesaikan proyek bersama sang ibu. Ia menikmati dengan bangga hasil jerih payah yang telah dibuat. Sang ibu lalu memutarkan lagu Kereta Api dari ponsel di nakas. Lagu itu terus berulang, bersama dengan suara cempreng Zidan yang sesekali ikut bernyanyi.

“Zidan main sendiri dulu, ya,” ucap sang ibu sembari meletakkan beberapa orang-orangan di sekitar rel kereta.

Sendiri? Huh! Seandainya sang ibu tahu bahwa aku selalu menemani Zidan, mungkin dia tidak akan merasa bersalah meninggalkan anaknya bermain di kamar.

“Ibu mau ngapain?” tanya Zidan.

Aku hafal dialog mereka. Biasanya memang seperti itu. Setelah menemani Zidan bermain, ibu akan pergi, entah kemana, entah melakukan apa. Namun, aku sering mendengar suara berdenting di tempat yang mereka namai dapur. Atau suara air mengalir di ruang sebelah.

“Ibu mau nyuci dulu. Tapi, agak lama. Soalnya mesin cuci kita lagi rusak.”

“Oh, oke.” Zidan mengangguk sambil melanjutkan aktivitas menyusun biji-bijian di dalam gerbong kereta.

Setelah mengelus kepala anaknya, ibu pun beranjak. Aku sempat melihat punggungnya di balik kusen pintu berwarna putih.

Aku tidak peduli dengan kepergian ibu karena sosok yang membuatku bahagia sedang duduk manis di samping. Walau bocah berambut ikal itu tidak mengajakku bermain bersama, diri ini cukup puas melihatnya dari dekat. Ditambah lagi ia terus menerus berdendang. Dalam hati, aku pun turut bernyanyi bersama. Lirik-lirik yang terus berulang membuatku menghapal lagu itu di luar kepala. Meskipun aku tidak punya kepala.

Hingga entah bagaimana, tubuh Zidan menyenggol tubuhku yang memang tidak dalam posisi kokoh. Aku limbung dan terjatuh. Tubuhku yang besar menimpa tubuh mungilnya. Selama beberapa detik, aku terkejut, mencoba menyadari apa yang telah terjadi.

Di bawahku, alih-alih terkejut, Zidan justru tertawa terbahak. Hal itu membuatku kaget sekaligus bingung. Dan sedikit senang. Ya! Aku senang karena bisa bermain bersamanya.

Selama beberapa menit Zidan terkekeh sambil menggerak-gerakkan tubuhnya. Mungkin ia hendak lari dari pelukanku. Pernah satu ketika aku melihatnya dan sang ayah saling berpelukan di atasku. Mereka berguling dan terbahak. Hingga akhirnya, sang ayah berteriak bahwa Zidan menang karena berhasil duduk di atas perut buncitnya. Kali ini, aku bisa merasakan perasaan bocah itu. Aku merasa senang sekaligus menang.

Aku terus terkekeh di dalam hati. Biarpun aku tidak memiliki organ itu. Hingga kurasa sesuatu yang janggal. Tidak lagi kudengar tawa Zidan, bahkan gerak dari tubuh mungilnya. Apa yang terjadi? Apakah ia tertidur seperti biasa? Seperti setiap kali lelah menghampirinya.

“Zidan, Zidan,” panggil ibu dari balik pintu. Wanita itu hanya melirik sekilas, lalu segera melangkah pergi.

Aku hendak menjawab, tapi apa daya bibirku tertutup rapat. Tepatnya, aku tidak memilikinya.

Menit demi menit terus berlalu. Namun, suara dan gerakan di balik tubuhku tak jua hadir. Aku semakin panik. Baru kali ini aku merasakan suasana hening yang mencekam. Padahal Zidan tepat berada di pelukanku. Aku tahu ada yang salah.

“ZIDAN! ZIDAAN!”

Kudengar suara serak ibu memanggil putra tunggalnya. Kali ini diiringi isakan sendu. Dari sudut pintu, kulihat wanita itu berlarian di luar kamar. Saat itu aku menyesal karena tercipta tanpa suara. Aku hanya berharap, ibu segera berpaling pada kami. Pada kasur busa berukuran ‘king size’ yang menimpa tubuh putra tersayangnya.

Hingga, detik itu akhirnya datang. Ibu kembali ke kamar dan terperanjat melihat tubuhku yang terhampar di lantai. Mungkin, wanita itu baru menyadari bahwa hari itu dia belum merebahkan tubuh besarku di lantai. Ibu segera berlari menghampiri. Dengan sisa-sisa energi yang sudah dikuras untuk menangis, dia berusaha mengangkat tubuhku.

Aku ingat sekali saat ibu meraih tubuh anaknya yang terkulai. Wanita itu lalu menyentuh bagian di bawah hidung putranya. Kemudian dia tertegun beberapa saat, lalu meraung-raung memanggil nama Zidan, memintanya agar tidak pergi. Bagaimana mungkin anak itu pergi? Bukankah tubuhnya berada dalam pelukan sang ibu.

***

Itu adalah kali terakhir aku melihat Zidan. Sahabat terbaik yang tak letih berlompatan di tubuhku. Sejak hari itu, aku tidak pernah lagi mendengar tawa riangnya. Pun suara cempreng saat melantunkan lagu Kereta Api. Hari-hariku sekarang diisi oleh isakan sepasang suami istri, sepanjang siang dan malam.

Zidan, kamu pergi ke mana?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro