DRAMA BERULANG (tahun)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Rupanya kalian di sini!"

Kami tersentak mendengar suara Bu Ratih. Ternyata, wanita paruh baya itu telah menemukan tempat persembunyian kami. Aku melirik pada si kecil Jinan yang menenggelamkan kepalanya di dadaku. Enam anak lain yang usianya lebih besar, segera bergerombol, mengambil posisi di balik punggungku. Hal apalagi yang menakutkan mereka, selain amarah sang kepala panti.

"Ayo! Kita segera ke aula!"

Bu Ratih segera membalikkan badan, dan melenggang hendak keluar ruangan. Satu langkah, dua langkah, hingga langkah ketiga, ia berhenti. Rupa-rupanya wanita itu menyadari, bahwa kami masih bergeming, tak turut mengekor.

Ia menghela napas panjang, berkali-kali, kemudian berjalan mendekat. Wanita itu lalu mengambil tempat di hadapan kami. Matanya tajam menatap kami yang bergerombol, layaknya buah Jamblang.

"Saras, ayo ajak adik-adikmu ke aula! Pak Dirja dan keluarganya sudah menunggu." Bu Ratih tetap mempertahankan ketegasan, meski intonasinya telah turun satu oktaf.

"Tak ... tak bisakah kami di sini saja, Bun?" Aku terbata.

Sejujurnya, aku pun takut pada amarahnya. Terakhir kali ia murka, adalah saat aku ketahuan menggelapkan uang SPP, demi menikmati lintingan nikotin. Selama tiga minggu, tak ada sepatah kata pun yang terucap untukku. Berkali-kali ia merutuki dirinya sebagai ibu yang gagal, hingga aku terus tersedu, dan berjanji berulang-ulang untuk memperbaiki diri.

"Kalau kalian tidak hadir, akan ada delapan kursi yang kosong. Ruangan akan lenggang. Dan acaranya tidak terlihat ramai."

Kubelai rambut hitam Jinan, berusaha mencari kekuatan untuk melontarkan kata-kata negosiasi.

"Kenapa sih, Pak Dirja harus merayakan ulang tahun anaknya di panti?"

"Saras, keluarga Pak Dirja hanya ingin berbagi kebahagiaan."

"Bohong!" teriakku.

Aku tidak mampu mengendalikan amarah. Jinan mengeratkan pelukannya. Bocah empat tahun itu pasti ketakutan mendengar jeritan tadi.

"Mereka hanya datang untuk berbagi makanan dan bingkisan. Mereka bukan datang untuk berbagi kebahagiaan."

"Apa maksud kamu, Nak?"

"Bun, saat mereka mempertontonkan kebahagian keluarga kecil mereka, pernahkah mereka mempertimbangkan perasaan kami? Tahukah mereka perasan iri kami? Saat melihat senyum anak mereka, saat tiup lilin, potong kue, dan ritual lainnya."

Air muka Bu Ratih berangsur berubah. Rahangnya mengeras. Aku tahu, ia bersusah payah menahan amarah. Namun, semua terlanjur basah. Lebih baik kuurai segala keluh yang menyesakkan dada. Belasan tahun menikmati drama ulang tahun di panti, kali ini muakku berada pada titik paling jenuh.

"Saras, mereka hanya ingin mensyukuri pertambahan usia anak mereka."

"Dan mensyukuri keberadaan kami sebagai pelengkap?"

"Sar-."

"Bun, kalau mereka memang berniat berbagi kebahagiaan, kenapa tidak mengumpulkan semua anak panti yang berulang tahun di bulan ini? Sekalian rayakan ulang tahun mereka. Tak perlu belikan baju baru, cukup baju bekas yang masih bagus dan layak. Lalu bawakan kue bertulis nama mereka."

Napasku tersengal. Seolah sebuah bongkah tercerabut dari dada, disusul butiran bening yang mulai berdesakkan keluar dari waduk netraku.

"Kami pun berharap bisa merasakan hal serupa. Melihat kegembiraan mereka hanya mengingatkan kami, bahwa momen bahagia itu adalah hal mustahil bagi kami. Sudahlah cukup bahwa kami memang yatim-piatu, tak perlu diingatkan selalu," lirihku.

Samar-samar terdengar bocah-bocah di balik punggungku mulai tergugu. Beberapa mulai menarik ingus, dan membersihkannya dengan lengan kaos yang sudah buluk. Kaos kuningku pun mulai terasa basah karena air mata Jinan yang tumpah ruah.

Aku mendongak. Mencari pemakluman dari wanita yang telah mengasuhku bertahun-tahun. Wanita yang tidak pernah mengandung dan melahirkanku. Namun, hanya dialah yang kupanggil dengan sebutan bunda.
Matanya pun mulai memerah. Dengan tergesa, ia menyeka kedua sudut netra.

"Saras," ujarnya pelan. Kalimatnya menggantung lama, seolah mencari kosakata yang tepat untuk melanjutkan wicara. Hening menyelimuti atmosfer di ruangan. Hingga setelah sekian menit berlalu, wanita itu pun mulai berkata pelan.

"Lekas ajak adik-adikmu ke aula. Pak Dirja adalah salah satu donatur kita. Kau paham betul bagaimana kelanjutan panti ini tanpa uluran tangan para donatur. Kesampingkan hatimu, hati kalian. Bunda tunggu di sana!"

Bu Ratih segera beranjak, menutup ruang untuk negosiasi.

🥀🥀🥀🥀

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro