There I Found You, Amaya, Grup E

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

raininmind

Halo! Saya biasa dipanggil Amaya, atau Kim, dan saya tidak pandai bercerita tentang diri sendiri. Tapi, saya juga ingin bikin pe-er seperti yang lain. Jadi yaa, saya mencoba untuk menuliskan saja apa yang bisa saya tuliskan.

Saya akan memulai cerita ini dari perkataan Stephen King, yang kemudian menjadi kutipan favorit saya (saya tidak yakin pernah membacanya di mana. Mungkin dari buku On Writing, atau dari kutipan yang tampil secara acak di situs Goodreads). Bunyinya kurang lebih seperti ini:

Kalau kau tidak punya waktu untuk membaca, maka kau tidak punya waktu (atau perkakas) untuk menulis.

Setelah meyakinkan diri untuk serius menulis, saya sangat merasakan, betapa pentingnya (buku) bacaan sebagai amunisi dalam menulis. Banyak membaca akan menajamkan kepekaan kita pada estetika berbahasa. Setidaknya, itulah yang saya dapatkan dari aktivitas membaca. Karena itulah, saya selalu menyempatkan diri untuk membaca, minimal 10 halaman dalam sehari (jika sedang sangat sibuk) dan maksimal 100 halaman per hari. Dan agar keseruan membaca saya bisa dinikmati orang lain, saya mencoba bergabung dengan komunitas Blogger Buku Indonesia sejak tahun 2013. Komunitas ini aktif dalam mengkampanyekan membaca sebagai rutinitas positif, dan aktif mengulas buku-buku yang dibaca para anggota komunitasnya di blog pribadi masing-masing. Sayangnya, komunitas ini tidak lagi aktif, tetapi saya masih mengulas buku-buku bacaan saya (meski intensitasnya sangat jauh berkurang) di blog buku saya: . Saya percaya, buku bagus tidak seharusnya dinikmati sendirian J

Bagi saya, buku lebih dari sekadar pelarian dari penatnya keseharian dan beratnya realitas hidup. Lebih dari itu, buku sudah mengantarkan saya bepergian ke tempat-tempat yang jauh dan belum pernah saya datangi sebelumnya, dan membawa saya melihat sisi lain dari dunia saya yang nyaman dan monoton. Secara tidak sengaja, di tahun 2008, saya membeli buku karya Khaled Hossaini, yang berjudul The Kite Runner. Buku ini mengusik saya dalam waktu yang lama sekali. Bahkan setelah membacanya berulang-ulang, saya masih saja merasakan kesan yang sama: kesedihan yang sama, kemarahan yang sama, jatuh cinta dan patah hati yang sama. Saya pun mulai bercita-cita bisa menuliskan buku saya sendiri. Sebuah buku yang akan dibuka oleh seseorang setiap kali dia ingin menemukan kekuatan dan harapan dan senyumnya kembali. Saya pun kembali menulis—setelah beberapa kali menulis dan membuatnya terlupakan begitu saja—dan akhirnya aktif mencari komunitas daring yang juga bergiat di penulisan fiksi.

Beberapa cerita pendek saya, kemudian, beberapa kali memenangkan kompetisi, meski dalam skala kecil dan tidak sampai memenangkan tempat utama. Beberapa di antaranya dimuat di harian lokal kota saya. Saya juga mulai aktif di komunitas sastra lokal dan beberapa kali teribat dalam kegiatan yang diselenggarakan Kantor Bahasa Provinsi Sulawesi Tenggara. Sementara itu, saya juga mencoba mengikuti beberapa kompetisi menulis cerita pendek di universitas. Di tahun 2008, cerita pendek saya yang berjudul "Siluet Jingga" menjadi pemenang harapan kompetisi menulis cerpen Anti Narkoba tingkat provinsi Sulawesi Tenggara. Apresiasi itu terasa besar sekali untuk saya yang saat baru mulai menulis. Hal itu kemudian mendorong saya untuk giat menulis. Di tahun yang sama, cerita pendek saya "Lelaki Bermata Bening", menjadi pemenang kedua lomba penulisan cerita pendek se-universitas. Saya pun semakin rajin berburu kompetisi menulis. Di tahun 2009, cerita pendek saya yang berjudul "Epilog Samson-Bill Clinton", menjadi pemenang kompetisi cerita pendek tingkat universitas. Cerpen yang sama, saya kirimkan bertahun-tahun kemudian, bersama beberapa cerita pendek lainnya (salah satunya berjudul "Perempuan Lereng", yang menjadi pemenang harapan kompetisi LMCR [Lomba Menulis Cerita Pendek Rohto] 2011), ke ajang MIWF (Makassar International Writers Festival) 2014. Karya saya kemudian dinyatakan lulus uji kurasi, sehingga saya diundang menjadi satu dari enam Emerging Writers asal Indonesia Timur yang diundang ke MIWF 2014. Di sana kami diberi kesempatan untuk memperkenalkan karya kami ke khalayak pembaca yang lebih luas, serta mendapat akses untuk belajar dari sastrawan-sastrawan terkemuka tanah air.

Ajang MIWF 2014 menjadi kesempatan saya untuk melihat sendiri geliat sastra di Indonesia Timur. Melihat antusiasme anak-anak muda terhadap sastra, membuat saya, untuk pertama kalinya berpikir, "Akhirnya saya punya teman. Dan ternyata banyak sekali!" J Ajang MIWF 2014 adalah medium pertama saya untuk berjejaring dengan banyak penulis-penulis muda berbakat yang hebat-hebat, dan belajar dari mereka, baik secara langung maupun tidak langsung. Sayangnya, karena suatu hal (yang teramat personal sehingga tidak bisa saya ungkapkan di sini), saya vakum menulis selama beberapa tahun. Dan ketika akhirnya memulai kembali, rasanya seperti memulai segalanya dari nol.

Tepat setahun yang lalu, secara tidak terduga, saya diundang oleh Komunitas Salihara untuk menghadiri Forum Penulis Muda di ajang LIFEs (Literature and Ideas Festival) 2017. Duduk di lingkaran yang sama dengan sastrawan muda yang luar biasa berbakat seperti Sabda Armandio Alif, Dias Novita Wuri, Christian Dicky Senda, dan Heru Joni Putra, membuat saya merasa sangat kecil sekaligus sangat antusias. Saking kecilnya, saya sampai tidak bisa berkata apa-apa ketika berada di sekeliling mereka. Dan saking antusiasnya, saya selalu memperhatikan semua orang yang berbicara dan diam-diam mencatat dalam hati hal-hal penting yang mereka obrolkan. Di sepanjang waktu itu juga, saya bertanya-tanya, "Buku apa sih yang mereka baca sampai mereka bisa secerdas ini?". Lagi-lagi soal buku. Sangat jelas, 24 Jam Bersama Gaspar (novel karya Sabda Armandio Alif yang menjadi pemenang ketiga Sayembara Dewan Kesenian Jakarta 2016) jelas tidak ditulis oleh seseorang yang malas membaca. Begitu juga dengan Makramé (kumpulan cerita pendek karya Dias Novita Wuri). Di ajang yang sama, saya membacakan cerita pendek "Perempuan Lereng" (yang juga saya bacakan di panggung MIWF 2014) di malam peringatan hari jadi ke-30 Lontar Foundation. Tangan saya bergetar, lutut saya juga. Demam panggung adalah penyakit kronis yang tidak kunjung hilang dari saya (sepertinya memang akan sulit disembuhkan). Tapi, lebih dari itu, membacakan karya amatiran saya di hadapan Goenawan Mohamad dan Ayu Utami serta John McGlynn (yang sudah menerjemahkan karya saya tersebut ke dalam bahasa Inggris di MIWF 2014 silam), jelas terasa seperti uji nyali yang tidak pernah saya bayangkan akan terjadi pada saya. Sekali lagi, semua pengalaman mewah ini berawal dari buku. Malam itu saya berjanji, akan belajar menulis lebih giat lagi, dan tentu saja, membaca lebih banyak lagi.

Hari ini, saya memilih Wattpad sebagai upaya sederhana saya untuk membangun kembali kedisiplinan menulis saya yang kacau selama beberapa tahun terakhir. Dan saya percaya, komunitas adalah ruang yang efektif untuk menyusun lagi semangat saya yang pernah retak. Selama kurang lebih dua minggu berada di RAWS, komunitas ini sudah menunjukkan semangat-semangat positif yang lahir dari anak-anak muda berbakat yang mendorong diri mereka untuk berkembang dan tidak pernah lelah belajar. Dan hal ini sangat menginspirasi saya. Saya berharap, semangat ini juga akan menulari saya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro