58. Dalam Benak Naya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

"Ghina!" panggil Naya lumayan keras. Ia melambaikan tangan agar Ghina dapat mudah menemukan dirinya.

Julian melihat ke arah Ghina sekilas, cowok itu kembali menoleh ke arah gadis yang duduk di seberangnya. Ia menyeruput es teh miliknya yang masih tersisa setengah gelas. Setelah itu Julian asyik melihat interaksi dua orang gadis yang bicara di depannya.

"Halo, Kak Julian!" sapa Ghina setelah selesai cipika-cipiki dengan Naya. Julian balas tersenyum.

"Kalau gitu aku duluan ya, Naya," kata Julian sambil membawa tas ransel di punggungnya. Ia kemudian pamit pergi pada Ghina juga.

Setelah Julian benar-benar pergi dari kantin, Ghina mulai memberondong Naya dengan pertanyaan. Naya sampai harus menutup telinga untuk menangkal suara sahabatnya itu. Bikin kuping panas.

"Kok bisa makan siang sama Kak Julian sih, Ya?"

Sudah Naya duga. Ghina akan bereaksi seperti itu.

"Diam-diam kalian pacaran ya?"

Mata Naya melebar. Ia memukul lengan Ghina pelan agar mengecilkan suaranya. Pasalnya, Julian itu senior idaman. Kalau ada yang dengar ucapan Ghina tadi, kan bisa jadi gosip.

"Cuma minta ditemenin makan aja. Kita ngobrol-ngobrol biasa kok," jawab Naya santai.

Ghina memicingkan matanya curiga. "Ngaku. Kalian mulai dekat sejak kapan?"

Naya tampak berpikir sejenak. "Semester kemarin, mungkin?"

Kini gantian Ghina yang melotot. "Aku kira kamu cuma terlibat cinta rumit sama cogan di rumah, ternyata di kampus juga ada simpanan?!"

Naya menutup mulut temannya dengan cepat. Ia menyuruh Ghina diam.

"Jangan melantur gitu dong, Ghina. Aku sama Kak Julian nggak ada apa-apa. Bener."

"Tapi Kak Julian ke kamu ada apa-apa?" tembak Ghina.

Naya diam. Ia mengangkat kedua bahunya ke atas.

"Nggak tahu, aku nggak tanya. Kak Julian pernah tanya sih aku udah punya pacar atau belum, soalnya dia bingung sama kelakuan kakak-kakak di rumah," jawab Naya jujur.

Ghina melipat kedua tangannya di atas meja. Wajahnya terlihat serius, lebih serius daripada saat mendengarkan kuliah dosen.

"Terus, kamu jawab apa?"

Naya menelengkan kepala. "Aku jawab jujur aja. Aku nggak dibolehin Kakak pacaran sampai umur dua puluh tahun."

Ghina terlihat gemas sendiri. Ia meraih gelas Naya dan meminum isinya. Setidaknya es jeruk itu bisa membuat kepalanya sedikit mendingin.

"Kakak kamu kok kolot banget, sih. Zaman sekarang tuh anak SD aja udah saling panggil Ayah-Bunda tahu," komentar Ghina.

Naya terkekeh geli mendengar ucapan Ghina yang geregetan seperti itu. Yah, kalau Mark sudah berkata begitu, Naya tidak ingin bandel. Bisa repot urusannya kalau ketahuan melanggar larangan kakaknya itu.

"Aku manggil kamu ke sini tuh mau cerita sebenernya," lanjut Naya. Gadis itu memainkan sedotan minumannya.

"Oh, iya. Lanjutan cerita yang kemarin, ya?" Naya mengangguk mengiyakan.

"Kak Jevin sempat masuk rumah sakit hari Kamis yang lalu. Aku yang bikin dia kayak gitu," ucap Naya memulai cerita.

"Maksudnya?"

"Dia alergi rajungan, tapi aku maksa dia untuk makan tanpa tahu kondisinya. Waktu itu, di pikiran aku cuma mau cepet baikan aja. Siapa tahu kalau makan bareng, bisa kembali kayak dulu lagi," jelas Naya. Ia kemudian cemberut. "Ternyata malah Kak Jevin jadi masuk rumah sakit."

"Syok anafilaktik?" pekik Ghina kaget.

Naya mengangguk pelan. "Untung jalur napasnya masih selamat. Jadi nggak perlu diintubasi. Ih, kalau inget kondisi Kak Jevin waktu itu, aku jadi merinding lagi nih."

Ghina tersenyum simpati. Ia mengelus lengan Naya pelan. Gadis itu menunggu kelanjutan cerita Naya.

"Orang di rumah yang waktunya kosong cuma aku. Angkatan kita kan habis ujian tuh paginya. Jadi, aku menawarkan diri untuk jagain Kak Jevin nginep semalam di rumah sakit," lanjut Naya. "Tapi, aku malah jadi berantem sama Kak Jeno."

"Kok bisa?"

Naya mengangkat kedua bahunya. "Nggak tahu. Waktu di IGD dia tuh masih kalem. Malah nenangin aku yang gemetaran karena Kak Jevin nggak bangun-bangun."

"Waktu Kak Jevin sudah dipindah ke ruang rawat, Kak Mark sama Kak Hechan dateng nyusul. Ya kita rapat, nentuin siapa yang paling selow jadwalnya. Pas banget, yang lainnya punya jadwal kuliah untuk besok pagi. Waktu aku mengajukan diri, Kak Jeno malah bentak aku. Bilang katanya aku cuma merasa bersalah lah, sudah bikin saudaranya celaka lah. Bikin sakit hati, deh."

Ghina ikut sedih. Ia menyodorkan gelas minum Naya agar sahabatnya itu tenang. Naya kembali bercerita setelah minum dua teguk.

"Bisa tiba-tiba marah gitu, ya?" komentar Ghina.

"Aku kira, aku sudah cukup kenal sama Kak Jeno. Ternyata bener kata Kak Hechan sama Kak Rendra waktu awal ketemu. Kak Jeno kalau marah serem banget. Bisa marah tiba-tiba gitu, aneh. Memang sih, aku hampir bikin Kak Jevin celaka. Tapi, cara ngomongnya itu lho yang bikin aku kesel."

"Ngambekan, ya?" tanya Ghina. "Atau jangan-jangan kamu bikin kesalahan lain? Tapi dia pakai alasan Kak Jevin gitu."

Naya menghela napas panjang. "Nggak tahu ah. Pusing mikirnya. Sampai sekarang aku belum baikan sama Kak Jeno. Pergi mulu, nggak pernah di rumah."

Ghina ikut geleng-geleng kepala. "Ya udah jangan mikirin Kak Jeno, deh. Sekarang kamu sama Kak Jevin gimana?"

Naya terdiam. Ia malah terlihat bingung. Gadis itu memajukan tubuhnya.

"Nah, ini aku minta pendapat kamu, Ghin," ucapnya penuh kesan misteri. "Kemarin waktu di rumah sakit, kita sudah baikan. Tapi Kak Jevin ajuin pertanyaan aneh gitu. Aku nggak tahu maksudnya."

"Tanya apa?"

"Kak Jevin tanya, kalau aku ada di dekat dia, aku deg-degan gitu atau nggak. Terus aku ngangguk aja."

Ghina hanya mengulum senyum. "Terus gimana lagi?"

"Kak Jevin juga tanya gini nih. Aku sering blushing atau perutnya mules kalau ada dia. Aku iya-in. Bilang juga ada perasaan nggak nyaman yang aneh banget."

Ghina tertawa kecil. Ia geleng-geleng melihat kepolosan sahabatnya. Bener kata Mark, Naya belum boleh pacaran. Langsung nikahin aja ini sih biar aman.

"Itu tanda-tanda kamu suka sama orang."

"Hah, masa sih, Ghin?" tanya Naya tak percaya. "Bawaan kalau lihat Kak Jevin tuh aku pengin menghindar. Nggak nyaman banget. Berdebar terus kayak orang punya penyakit jantung."

"Nggak nyaman bukan berarti nggak seneng, kan?" pancing Ghina. "Kamu nggak benci kalau dia berusaha deketin kamu, kan?"

Naya hanya diam. Dia berpikir.

"Tapi Ghin, aku ke Kak Julian juga gitu. Berdebar nggak karuan, perut mules kalau dibaikin. Bedanya, aku bisa senyum-senyum sendiri sampai tengah malam."

Ghina kini bingung. Ia belum pernah mendengar kasus seperti ini sebelumnya.

"Kalau gitu aku juga suka sama Kak Julian?" tanya Naya.

Kini giliran Ghina yang diam. Ia berpikir keras.

"Memang, diantara mereka berdua, siapa yang paling bikin nyaman?" tanya Ghina.

Mendengar kata nyaman, hanya ada satu nama yang langsung terbersit di benaknya. Naya tersenyum malu-malu. Ia meraih ponselnya dan membuka galeri foto.

"Kok aku dicuekin?" protes Ghina.

Naya menggeleng. Ia kemudian melihat ke dalam mata Ghina. Senyum lebar terpampang di wajahnya.

"Jangan ketawa tapi sama jawaban aku," ucap Naya memberi peringatan.

Ghina mengangguk semangat. Wajahnya tampak sangat penasaran.

Naya menyerahkan ponsel di tangan pada Ghina. Ia menunjukkan satu foto yang ada di galeri ponselnya. Mata Ghina membulat sempurna.

"Kok, ini sih?" komentar Ghina tak percaya.

Naya tertawa kecil. Ia kembali menyimpan ponselnya di saku.

"Nggak tahu juga. Nyaman aja rasanya sama dia, nggak ada yang aku tutupin. Mau marah pun nggak bisa, paling mentok ya kesel doang. Aku malah merasa bersalah kalau marah, soalnya aku jadi bikin dia tambah banyak pikiran."

Ghina geleng-geleng kepala. Ia tidak percaya dengan pilihan Naya. Ghina tidak pernah berpikir bahwa orang yang dipilih Naya ada di dalam pikiran sahabatnya. Nggak terlalu banyak cerita tentang cowok itu soalnya.

"Tapi... kamu deg-degan kalau di samping si Kakak? Kayak yang kamu rasain kalau sama Kak Jevin atau Kak Julian?" desak Ghina.

Naya menggeleng. "Dibandingkan deg-degan, kayaknya pilihan kata hangat lebih tepat. Ya, itu. Nyaman dan hangat."

Ghina menarik napas panjang. Ia meraih gelas es jeruk Naya dan menghabiskan sisanya. Kalau kayak gini sih, bukan Naya saja yang bingung, Ghina juga iya. Mendengar curhatan Naya justru bikin Ghina emosi.

"Kok dihabisin, Ghin?" protes Naya.

"Aku beliin lagi," jawab Ghina. Ia berdiri dari kursinya. "Tapi kamu harus cerita lebih lengkap."

"Cerita apa? Sudah semua kok," ucap Naya bingung.

"Belum!" tukas Ghina semangat. Ia mengedikkan dagu ke arah saku baju Naya tempat ponselnya tersimpan. "Kamu belum cerita gimana caranya kalian bisa foto bareng kayak gitu."

"Wajar kan kalau aku foto sama semua kakak-kakak di rumah. Ada semua kok. Nggak cuma itu doang," bela Naya.

Ghina menggeleng tegas. "Aku beliin es jeruk dulu. Kamu siap-siap aku interogasi lagi."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro