66. Blue Ocean

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Naya dan Ghina mencari tempat mengerjakan tugas kekinian yang tidak begitu jauh dari kampus. Mereka tiba di Ruang Kerja Coffee & Collaboration. Zaman sekarang sih lagi trend anak muda belajar di cafe. Sekalian cari tempat yang Instagramable.

"Naya, mau lihat gambar PA yang ini dong," ucap Ghina yang telah mengeluarkan berlembar-lembar kertas laporan lab patologi anatomi dan satu set pensil warna.

Naya memberikan tugasnya yang sudah selesai. Gadis itu handal dalam hal menggambar. Kayaknya baru kali ini Naya semangat mengerjakan laporan praktikum. Biasanya sih H-30 menit deadline Naya baru selesai.

Sambil menyeruput vanilla latte miliknya, Naya membuka tablet yang dibawanya. Ia ingin menggambar. Selama liburan hanya di rumah saja, gadis itu jadi menemukan hobi baru. Naya baru sadar kalau dirinya cukup berbakat dalam hal tersebut. Ia bahkan iseng sedang coba membuat komik strip.

Naya fokus merancang outline. Sesekali bibirnya bersenandung mengikuti lagu yang diputar ke seluruh penjuru kafe. Gadis itu bahkan mencari beberapa judul lagu yang menurutnya enak untuk di-cover Hechan. Lumayan jadi bahan konten baru.

"Kamu kok tega kayak gini sama aku?"

"Dari awal gue memang nggak tertarik sama lo. Jangan terlalu percaya diri."

"Jadi kamu anggap aku ini apa?"

"Pelarian. Bukan cuma lo satu-satunya cewek yang gue punya."

Byur!

Naya dan Ghina otomatis menonton kejadian yang diciptakan oleh dua pengunjung di salah satu sudut kafe. Hampir semua orang disana menjadi saksi mata kejadian memalukan tersebut. Pertengkaran kecil diakhiri dengan si cewek menyiram minumannya ke muka cowok. Si cewek kemudian pergi meninggalkan meja sambil menghentakkan kakinya. Naya kira kejadian seperti itu hanya terjadi di sinetron saja.

Si cowok yang ditinggalkan berusaha tetap cool. Salah seorang pelayan mendatanginya dan memberikan tisu. Ia mengangguk berterima kasih dan melepaskan kacamatanya yang kotor.

"Kak Jeno?" cicit Naya tak yakin.

Ghina menoleh. "Itu Kak Jeno?" pertanyaannya tidak dijawab Naya. "Eh, bener. Mirip sama orang yang ada di foto kamu."

Naya diam saja mengamati. Setelah selesai membersihkan kacamata dan wajahnya yang tersiram minuman, cowok itu melangkah santai meninggalkan meja. Ia bahkan tidak terganggu dengan tatapan para pengunjung kafe lain. Cowok itu bertindak seolah tak terjadi apa-apa.

Naya buru-buru memasukkan tablet ke dalam tasnya. "Aku pergi dulu ya, Ghin."

"Eh, Naya? Mau kemana?" panggil Ghina berusaha menghentikan langkah sahabatnya.

"Aku cabut kelas siang," balas Naya. Ia melambai kecil sambil meringis ke arah Ghina sebelum mengejar langkah Jeno.

Naya mengedarkan pandangannya ke kanan dan kiri. Beruntung Jeno belum pergi. Cowok itu baru akan mengenakan helm.

"Kak Jeno," panggil Naya. Gadis itu setengah berlari menghampiri Jeno.

Jeno terkejut melihat kehadiran Naya. Ia segera merubah raut wajahnya menjadi kembali datar. Cowok itu hanya memandangi Naya yang masih sibuk mengatur napas.

Naya menghela napas panjang. Tangan cewek itu bergerak menggali isi tasnya. Ia mengeluarkan satu pak tissue basah khusus wajah yang selalu ada di setiap tasnya. Gadis itu mengelap rambut bagian depan Jeno yang tampak lengket oleh minuman. Jeno tetap terdiam.

"Kenapa nggak cuci muka dulu, Kak?" tanya Naya lembut. "Lengket kayak gini lho. Kotor kemana-mana."

Jeno meraih satu helm tambahan yang ia bawa karena tadi berangkat bersama ceweknya. Ralat, sudah jadi mantan. Cowok itu memasangkannya di kepala Naya.

"Eh?" pekik Naya heran.

"Ikut gue," perintah Jeno. Cowok itu memakai helm miliknya sendiri.

Naya hanya mengangguk. Mood Jeno terlihat sedang sangat hancur. Naya tidak berani bertanya lebih jauh. Jadi ia menurut.

Jeno melajukan motornya ke arah selatan. Naya tidak tahu dirinya dibawa kemana. Gadis itu lama-lama menyadari bahwa mereka sedang meninggalkan kota. Tak ada tanda-tanda bahwa Jeno akan segera berhenti. Ia bahkan makin menambah kecepatan motornya.

Jeno nyaris tidak ingat bahwa dia saat ini sedang membawa penumpang. Ia baru sadar ketika merasakan cengkeraman kedua tangan Naya di jaketnya. Gadis itu mulai takut dan merasa mual dengan jalanan yang berliku dan naik turun.

Tujuan mereka saat ini adalah Wonosari. Jeno melambatkan laju motornya, menghindari begitu banyak bus yang berlalu lalang membawa penumpang Jogja-Wonosari, begitu pun sebaliknya. Mereka melaju mengikuti jalanan berkelok menuju deretan pantai.

Naya dapat merasakan angin laut yang menerpa wajah. Ia memejamkan mata, menikmati semilir angin yang memainkan anak-anak rambutnya. Sudah lama Naya tidak berlibur menyatu dengan alam. Hanya satu hal yang Naya sesali. Saat ini matahari masih terik, masih pukul setengah tiga.

Jeno mengambil dompet dan membayar biaya akomodasi masuk pantai. Ia tidak serta-merta berhenti di pantai pertama yang ia lihat. Cowok itu masih melajukan kendaraannya sekitar lima menit kemudian, sebelum akhirnya berhenti di tempat parkir. Jeno memilih pantai yang tidak terlalu ramai, pantai Wedi Ombo.

Naya turun dari boncengan motor Jeno. Pantatnya terasa kebas. Lebih dari dua jam ia duduk, sudah begitu medan perjalanannya tidak terlalu enak, ditambah jok motor Jeno yang tinggi.

Jeno menangkap tubuh Naya yang oleng. Jujur, kaki Naya lemes banget. Daritadi Naya berasa lagi senam kegel karena cara Jeno membawa motor yang sangat menyeramkan.

"Lo nggak papa?" tanya Jeno khawatir. Kedua tangannya masih berada di pinggang Naya, gadis itu pun berpegangan di lengan Jeno.

Naya mengangguk sambil meringis. Gadis itu kini berdiri tegak. Tangannya melepas helm dari kepala dan meletakkannya di atas motor Jeno.

Cowok itu menarik diri. Raut wajahnya kembali datar, namun sudah tidak terlalu menyeramkan seperti saat di kafe tadi. Jeno ikut melepas helm dan berjalan menuruni tangga batu menuju pantai di bawah. Ia sengaja tidak terlalu cepat agar Naya dapat mengikuti langkahnya.

"Huah, keren!" puji Naya begitu kakinya menginjak pasir pantai. Ia tersenyum lebar sambil membenahi rambutnya yang terbang tertiup angin.

Jeno menoleh. Ia tersenyum kecil. Rencananya dia mau kemari seorang diri, tanpa disangka Naya justru muncul di hadapannya. Ya sudah, sekalian saja Jeno bawa.

"Kak Jeno tungguin!"

Jeno berhenti melangkah. Ia melihat Naya berjalan dengan hati-hati. Gadis itu masih mengenakan sneakers favoritnya. Tentu saja hal itu membuat kakinya langsung tenggelam masuk ke dalam pasir.

Jeno balik menghampiri gadis itu. Ia berjongkok di depan Naya. Tanpa izin, tangan cowok itu melepas tali sepatunya.

"Eh, mau ngapain?" protes Naya.

"Lepas sepatu lo," jawab Jeno. "Lebih mudah nggak pakai sepatu."

Tangan Jeno kembali meneruskan pekerjaannya. Naya hanya menurut. Ia berpegangan pada dua bahu Jeno yang sekalian ikut melepas kaus kakinya. Naya jadi malu diperlakukan seperti putri begini.

"Sudah." Jeno berdiri. Cowok itu kembali melanjutkan langkahnya mendekati bibir pantai.

Naya mendengus kesal. Nggak jadi melting. Gadis itu menenteng masing-masing sepatunya dengan dua tangan. Naya menyusul langkah Jeno dengan terburu.

Jeno berjalan lebih ke kanan. Ia berhenti ketika yakin bahwa tempat yang ia pilih cukup jauh dari rombongan para anak muda yang sedang bermain air di bagian kiri. Cowok itu melepas sandalnya dan duduk begitu saja di atas pasir.

Naya berdiri di balik punggung Jeno. Walaupun birunya air di depan sana tampak sangat indah, mata gadis itu terpaku pada Jeno. Cowok itu terlihat sangat kesepian.

Naya menarik napas panjang. Ia duduk di sebelah Jeno. Biar saja celananya kotor, Naya sudah tidak peduli.

Suasana begitu hening. Kedua orang itu menikmati hembusan angin dan bunyi deburan ombak. Bahkan karena tidak ada sinyal, percuma saja Naya berusaha keras mengirim pesan pada sang kakak. Ibarat kata, mereka sedang terisolasi dari kehidupan yang sesungguhnya.

"Kak Jeno mau main air?" tanya Naya ketika mendapati Jeno yang memperhatikan rombongan anak muda sedang berenang di sisi pantai lain. Tawa mereka terbawa angin hingga terdengar ke tempat Jeno dan Naya.

"Nggak," jawab Jeno. Ia melayangkan pandangannya kembali ke depan. "Gue cuma heran. Cara bersenang-senang setiap orang itu berbeda. Gue disini malah masih belum menemukan cara yang cocok buat diri gue sendiri."

Naya memperhatikan profil wajah Jeno dari samping. Garis rahang cowok itu terlihat makin tegas dari hari ke hari. Jeno kurusan.

"Aku nggak tahu definisi kata bahagia yang Kak Jeno maksud," ucap Naya menimpali. "Tapi, ngeliatin laut kayak gini, ada rasa menyenangkan tersendiri. Sesuatu yang bikin kita tenang dan nyaman."

Jeno tersenyum miring. "Tenang. Bener kata lo."

"Kak Jeno lagi sedih ya?" tanya Naya dengan mimik luka lucu. "Tadi kan baru putus sama mbak pacar."

Jeno menoleh. Kejadiannya kayak deja vu gini. Tiap habis putus dari pacar, Naya selalu ada di sampingnya. Gadis ini juga selalu berusaha keras perhatian dan sok ingin menyembuhkan rasa sakitnya. Padahal Jeno sendiri tidak pernah merasa kehilangan. Pacar-pacarnya selama ini hanyalah aksesoris semu dalam kehidupannya.

Sejak sadar bahwa dirinya sayang pada Naya, hati Jeno selalu menjadi milik gadis itu. Bahkan selama ini ia sudah berusaha sekuat tenaga untuk melenyapkan Naya dari dalam pikirannya, namun tidak ada cara yang ampuh. Gonta-ganti pacar nggak ada efeknya bagi Jeno. Cuma menguras tenaga dan isi dompet.

"Kok malah ngeliatin aku kayak gitu, sih?" tanya Naya ketika Jeno tidak kunjung menjawab. Ia akhirnya membuang wajah melihat laut. "Iya deh, iya. Aku nggak bakal bahas kejadian tadi."

Jeno tersenyum miring. Ia sadar bahwa dirinya terlalu pengecut untuk memiliki gadis itu. Hingga kini hatinya selalu berperang dengan akal sehat.

"Naya," panggil Jeno.

Naya menoleh. Sudah lama ia tidak mendengar namanya dipanggil seperti itu oleh Jeno. Apalagi hingga saat ini belum ada kata maaf terucap diantara mereka sejak kejadian tengah malam itu.

"Kenapa lo masih perhatian sama gue? Bukannya gue udah sakitin hati lo?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro