75. Jeno Sakit

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Naya meletakkan kunci motornya dengan sembarangan di atas meja dekat pintu. Untung saja hari ini kelas Naya selesai cepat. Gadis itu bahkan menolak ajakan Ghina untuk makan siang di luar. Naya terlalu khawatir karena masih tidak ada kabar dari Jeno.

Benar saja, begitu sampai di rumah. Mobil Mark, motor Rendra, maupun motor Hechan belum terlihat. Bahkan mobil Jevin yang jarang sekali keluar dari garasi kini telah meninggalkan kandangnya. Naya bergerak cepat menuju halaman belakang. Motor Jeno masih ada di sana.

Naya mengetuk pintu kamar Jeno, tidak ada jawaban. Gadis itu berjalan memutar. Ia berjinjit, berusaha mengintip ke dalam melalui jendela yang masih tertutup gorden. Tidak terlihat apapun.

Naya menekan nomor Jeno dan mencoba menghubunginya lagi. Masih tidak aktif. Naya jadi makin khawatir.

Gadis itu membuka pintu kamar Jeno pelan. Tidak dikunci.

"Permisi, Kak Jeno," ucap Naya lirih.

Mata gadis itu berusaha menyesuaikan cahaya. Kamar Jeno terlalu gelap dan pengap. Tercium bau tembakau terbakar. Padahal setahu Naya, Jeno sudah lama meninggalkan rokok konvensional.

Naya melangkah lebih ke dalam. Ia menangkap bayangan gelap di atas kasur sedang tidur meringkuk. Sudah pasti itu Jeno.

"Kak Jeno," panggil Naya ragu-ragu. Soalnya posisi Jeno sama sekali tidak berubah sejak Naya izin masuk tadi.

Memberanikan diri, Naya menghampiri kasur Jeno. Ia menepuk bahu cowok itu pelan. Tidak bergerak sama sekali. Naya malah mendapati Jeno sedang berusaha menahan badannya yang menggigil.

"Kak Jeno," panggil Naya lagi, kali ini dengan suara lebih keras. Ia menaikkan rambut Jeno yang sedikit basah oleh keringat. Dahi Jeno panas. He is burning like hell.

"Naya?" panggil Jeno dengan suara serak. Ia masih memejamkan mata menahan rasa pusing.

"Iya, Kak. Ini aku," jawab Naya sambil tersenyum miris. Ia melihat wajah babak-belur Jeno. Gadis itu berusaha sekuat tenaga menahan air matanya agar tidak menetes. "Kak Jeno sakit. Bentar ya, aku cariin obat dulu di rumah."

"Jangan pergi," lirih Jeno. Bahkan untuk bicara saja Jeno kesusahan.

"Cuma sebentar, Kak. Aku bakal balik lagi," ucap Naya sambil mengelus pelan pipi kiri Jeno yang membiru.

Gadis itu berdiri. Ia melihat nasi kotak menu makan malam kemarin di atas meja. Naya membukanya. Masih utuh dan sudah basi. Berarti Jeno dari kemarin malam belum makan.

Sambil membawa kotak makan itu untuk dibuang, Naya segera berlalu menuju rumah utama. Ia mengemas seluruh obat yang ada. Naya mampir sebentar ke dapur. Masih ada nasi di rice cooker, entah siapa yang masak. Akhirnya Naya mengambil satu butir telur dari kulkas dan menggorengnya. Walau hanya dengan nasi dan telur, setidaknya Jeno harus makan.

"Kak Jeno," panggil Naya. Jeno masih bergeming. Ia menurunkan nampan berisi makanan, air minum, dan obat ke atas meja belajar.

Gadis itu membuka jendela kamar hingga udara segar dapat masuk. Bau asap rokok yang terperangkap pun jadi lebih berkurang. Naya memungut kaus Jeno yang dilempar begitu saja ke lantai dan menaruhkan ke dalam keranjang laundry di pojok kamar.

Naya menghampiri Jeno yang masih tidur diam. Dengan bantuan cahaya matahari yang menerangi kamar, Naya jadi dapat melihat lebih jelas seberapa banyak luka yang didapat Jeno. Hati gadis itu ikut tercubit.

"Kak Jeno badannya panas banget. Minum obat dulu yuk," bujuk Naya lembut.

"Sakit," lirih Jeno.

"Iya, biar gak sakit, minum obat ya," ulang Naya sambil menyisir rambut cowok itu ke belakang dengan jarinya. "Aku bantu duduk yuk."

Selimut yang sedari tadi menutupi tubuh atas Jeno turun. Naya melotot. Bukan karena barisan roti sobek di perut Jeno, tapi karena ternyata banyak luka lebam yang sedari tadi tersembunyi.

Setetes air mata Naya turun. Gadis itu buru-buru mengelapnya sebelum berubah menjadi tangisan. Ia membantu Jeno untuk duduk bersandar di headboard.

Naya menyuapi Jeno dengan perlahan. Sembari menunggu Jeno yang pelan sekali mengunyah makanan, gadis itu meneliti tiap luka di wajah dan tubuh Jeno. Untuk saat ini warnanya masih merah. Namun esok atau lusa pasti sudah menjadi biru lebam.

"Kakak berantem sama siapa?" tanya Naya pelan.

Tentu saja Naya tahu kalau Jeno habis bertengkar. Dia bukan gadis idiot yang percaya begitu saja jika Jeno bilang bahwa dirinya baru saja jatuh atau kecelakaan. Lukanya sudah terlalu jelas.

"Berantem di klub," bohong Jeno.

Naya mengerutkan kening. Ia tahu Jeno bohong, namun ia urung memarahinya. Cowok itu tidak ke klub selama akhir minggu ini. Kemarin pun Jeno selalu di rumah seharian penuh, bilangnya di line, dia sudah tidak sabar akan segera bertemu dengan Naya.

"Sudah kenyang," ucap Jeno sambil mendorong tangan Naya menjauh.

Naya melihat ke dalam isi piring yang masih ada di tangannya. Lumayan lah, sudah habis setengah. Takutnya kalau dipaksa Jeno malah muntah. Naya meletakkan piring di atas nampan dan mengangsurkan gelas berisi air mineral pada cowok itu. Naya membantu Jeno minum.

"Ke rumah sakit aja yuk, Kak. Kayaknya sakit banget," ucap Naya sambil meringis ketika Jeno berdesis ngilu.

Jeno menggeleng pelan. "Mana obatnya?"

"Tunggu bentar. Tunggu tiga puluh menit habis makan," ucap Naya. "Kakak keringetan, mau aku bantu lap?"

Jeno menatap ke dalam mata Naya. Pandangannya tidak jelas tanpa kacamata. Namun ia tahu kalau gadisnya itu sangat khawatir. Suara Naya bergetar.

"Handuk ada di lemari paling kanan," ucap Jeno singkat.

Naya bergerak membuka lemari Jeno. Tidak ada rasa malu sedikit pun. Naya sudah biasa melihat isi lemari Mark.

Naya melenguh kecil ketika hanya menemukan handuk besar. Ia menoleh ke arah Jeno yang masih duduk bersandar dengan kedua mata terpejam.

"Tunggu sebentar ya, Kak," pamit Naya sambil setengah berlari menuju kamarnya sendiri.

Tak lama kemudian, gadis itu sudah kembali. Ia membawa serta dua buah handuk kecil dan sebuah baskom berisi air hangat. Naya meletakkan wadah air di nakas samping tempat tidur. Ia duduk di sisi Jeno yang posisinya belum berubah.

"Aku lap ya, Kak," ucap Naya meminta izin. Jeno hanya mengangguk.

Naya bekerja dalam diam. Ia mulai membersihkan keringat dari wajah Jeno dengan hati-hati. Gadis itu dengan cepat membersihkan bagian dada, perut, dan punggung Jeno. Cowok itu tidak protes. Badannya sudah terlalu remuk untuk mampu merasa malu diperlakukan seperti bayi. Yah, setidaknya dengan bantuan Naya, tubuhnya kini merasa lebih baik. Tidak terlalu lengket oleh keringat.

"Minum obat dulu ya, Kak." Jeno mengangguk. Lagi-lagi Naya membantunya.

Naya berdiri menuju lemari Jeno dan mengambil handuk serta selimut bersih. Sprei Jeno terlalu basah oleh keringat. Karena tidak mungkin mengangkat tubuh besar Jeno sendiri untuk pindah, Naya hanya melapisinya dengan handuk. Gadis itu juga mengganti bed cover Jeno yang lembab oleh keringat. Kini Jeno telah berbaring di tempat yang kering.

Naya keluar. Ia kembali dengan air untuk kompres. Dengan telaten Naya meletakkan handuk di dahi Jeno. Gadis itu duduk di pinggir kasur sembari mengamati Jeno yang tampak jauh lebih nyaman daripada sebelumnya. Setidaknya Jeno sudah tidak menggigil.

"Tidur aja, Kak," ucap Naya sambil menepuk-nepuk punggung tangan kiri Jeno.

Jeno mengangguk. Ia menggenggam tangan Naya dengan kedua tangannya.

"Jangan pergi."

Naya tersenyum. Tangannya yang lain bergerak mengelus rambut Jeno yang kembali jatuh menutupi dahi.

"Iya, aku tungguin sampai Kak Jeno tidur."

Akhirnya Jeno dapat tidur dengan nyenyak. Naya menungguinya hingga Jeno benar-benar terlelap. Soalnya, Jeno entah bagaimana jadi terbangun saat Naya berusaha melepaskan tangan dari genggaman Jeno.

Tanpa keduanya sadari, Jevin diam saja memandangi Naya dan Jeno dari celah pintu kamar yang dibiarkan terbuka. Gadis itu terus duduk memandangi Jeno walaupun Jeno sudah tidur. Hati Jevin sakit. Namun ia hanya bisa menahannya sendiri. Perlahan, cowok itu balik badan. Ia butuh menginap di tempat lain malam ini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro