Masokis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Judul : Masokis

Penulis : Queen Nakey

Tadinya... ini mau dibikin judul sendiri. Tapi gara2 cerpen penulis udah kebanyakan, makanya sengaja disatuin aja.

yang berharap potong-potongan silahkan menyingkir. Kali ini hanya menceritakan soal gangguan psikologis Key sama kesanggupan Aldo buat nyakitin ceweknya sendiri.

Oh iya. Dari sini full storynya dilanjut ke judul yang lain. Judulnya Satu ...

***

Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan?

Bersembunyi dari Aldo, tentu bukan hal yang bisa dilakukan dengan mudah.

Ini pertama kalinya kami tidak sepaham dan satu tujuan. Ini akan menjadi awal dari sebuah keretakkan yang tidak mungkin diperbaiki dengan mudah.

Tadi, di ruangan tempat menyekap dokter Frans, Aldo menghampiriku dengan gegabah kemudian mengarahkan kapaknya ke samping telingaku. Nyaris mengenai kalau saja aku tidak memiringkan kepala refleks. Dia sendiri, terlihat masih diliputi rasa ragu.

Dia tidak akan sanggup benar-benar membunuhku.

Aku pun tidak akan mati di tangan Aldo dengan cara seperti ini.

Lebih dari orang lain, aku tahu kematianku akan menjadi awal kehancurannya. Dia sedang ditelan emosi, dikuasai amarah, rasa cemburu yang sama sekali tidak berdasar.

"Key..."

Dia memanggilku dengan begitu lembut. Nada membunuh tersirat jelas dari setiap bait yang dia suarakan. Ketukan langkahnya yang teratur begitu waspada, aku tetap berjongkok di balik meja pantry, sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara sama sekali.

Langkahnya semakin dekat. Sebelum akhirnya, dia berhenti. Aku menebak-nebak kira-kira apa yang sedang dia pikirkan?

"Sayang... kamu mau sembunyi dari aku sampe kapan? Kamu tau gak bakalan bisa keluar dari rumah ini sendiri, kan? Di luar itu hutan. Banyak hewan buasnya loh." Dia terkekeh. Menggema di kesunyian lantai satu ketika malam kian menjulang. Menelan segala cahaya yang ada di sekitar rumah dengan kegelapan.

Aku menahan napas. Tahu dia sedang berusaha membuatku keluar. Dia pasti sudah tahu di mana aku bersembunyi? Cowok itu hanya ingin aku menyerahkan diri.

Percikkan darah di wajahku kususut dengan baju basahku. Jaket miliknya yang tadi sempat menyelimuti tubuhku, kubuang sembarangan di jalan dalam pelarian menuju lantai dasar. Itu merepotkan, saat ini aku hanya dibalut sebuah gaun basah yang warna putihnya berganti merah dengan tali selebar tiga jari saja.

Cukup mengganggu, udara di rumah ini bukan main dinginnya ketika hari menginjak malam. Tubuh menggigil, gigi bergemelatuk, aku tetap diam tidak mengeluarkan sepatah kata pun.

Dia sedang dalam kondisi berbahaya...

"KAMU MAU SEMBUNYI SAMPE KAPAN?!!"

Suara meja dihantam cukup mengejutkan. Begitu dekat, sampai aku tahu benda yang menjadi sasarannya adalah meja pantry. Dia tepat ada di depanku, kami hanya terhalang jarak satu meter saja. Mungkin dia melihatku, dia membiarkan hanya sebatas ingin tahu...

Selama apa aku bisa bersembunyi darinya?

Berlari dari kenyataan yang tersuguh di depan mata?

Aku tidak menghindari kematian. Hanya berharap, dia sedikit mendapat kewarasannya sebelum benar-benar membunuhku dengan kedua tangannya.

Sebisa mungkin untuk tidak terluka.

Karena dia juga tahu, segila apa aku jika sudah merasakan nyeri di salah satu bagian tubuhku? Se-excited apa ketika aku melihat darah yang mengalir menembus kulit-kulitku?

"Kamu mau sembunyi sampe kapan Sayang?" bisiknya lirih. Aku tetap tidak menjawab. "Kamu berani ngelawan aku kayak gini?"

"..."

"Sayang, aku gak ngomong sama angin loh." Dia terkekeh. Bisikkannya terdengar semakin berbahaya. Sebuah kepala tanpa badan menggelinding ke depan kakiku, matanya melotot, lidahnya terjulur, bibirnya mengukir seringaian jahat. Aku menendang potongan kepala itu. menggelinding jauh kemudian menghilang menembus dinding.

Ini sudah bukan lagi waktunya bermain, kan?

"Kamu yakin gak mau keluar?" dia lagi-lagi bicara. Memberi sejenak jeda, kemudian dapat kudengar kalau cowok yang sudah menjalin hubungan empat tahun denganku itu kini menghela napas. "Gimana kalo keluarga kamu aja yang jadi gantinya?"

Aku tertegun.

"Mama-Papa, sama Kakak pasti seneng aku undang 'main' ke sini, kan?" dia tertawa maniak. Aku mengepalkan kedua tangan. "Aku bisa nyuruh orang buat jemput mere- ah, akhirnya kamu keluar juga."

Dia menatapku antusias. Mata kelabunya semakin menggelap. Aku berdiri tanpa rasa takut, tersenyum lebar, kemudian merentangkan kedua tanganku sambil memiringkan kepala.

"Kamu kangen sama aku, ya?"

Aku tahu ini sudah di luar batas toleransi. Aku belum sempat minum obat sejak tadi pagi. Aku sudah tidak bisa lagi mengandalkan diri untuk mengendalikanya. Terutama jika dalam hubungan kami memang selama ini akulah yang bergantung padanya.

Aldo tidak butuh obat dan dokter untuk menolerir semua hal yang dia lakukan.

Dia berbeda denganku.

"Sini... pacar aku yang cantik pasti mau aku peluk, kan?" Aldo ikut merentangkan tangannya, aku berjalan melewati meja pantry, mendekapnya, meletakkan kepalaku di dada bidangnya. Dia balas memelukku, mengecup singkat puncak kepalaku, lalu-

"Ugh..." aku meringis, kepalaku mendongak paksa. Jambakan di rambutku bukan main sakitnya. Bibirku mengukir senyum, dia menyeringai.

"Kita liat, pacarnya siapa yang lagi nakal?" Aldo mengelus bahuku dengan tangannya yang bebas, menyusuri lengan, lalu tangan kananku dia pelintir dengan sangat kasar.

Aku menjerit.

Bunyi tulang patah terdengar jelas. Mataku melebar, air menyusuri pipi menahan sakit yang bukan main.

Sakit... Aldo...

Ini sangat sakit...

Sangat-sangat sakit...

Sakit yang~ menyenangkan...

Aku tidak pernah merasakan hal sesakit ini. Bibirku tanpa sadar kembali mengukir senyum, Aldo sedikit menekuk kakinya, mengecup bibirku, sebelum akhirnya menggigitnya sampai berdarah.

Aku kembali meringis.

Aroma amis yang kurindukan kembali menguar dari tubuhku.

Kenikmatan dalam setiap kenyerian yang kurasakan membuat jantungku berdebar. Aldo melepaskan pelukannya, aku ditampar sampai terbanting beberapa meter.

Kepalaku menghantam lantai.

Nyeri lagi-lagi menjalar. Sebisa mungkin aku kembali beringsut duduk, menatap tangan kanan yang sudah tidak bisa kugunakan lagi. Tanganku yang bebas mengelusnya, betapa aku mengagumi segala yang dimiliki pacarku dengan semua sikap kejamnya.

Dia benar-benar sempurna.

Dia... adalah si pemuja iblisku yang manis.

Kedua langkah kakinya kembali berderap, aku mendongak. Menatap dia yang mulai melepas ikat pinggangnya. Dia tersenyum manis. Aku kembali memiringkan kepala menunggu. Menunggunya...

"Kamu udah sadar sama kesalahan yang kamu buat?" Aldo bertanya sarkastis. Aku tetap diam dan patuh. Duduk melipat kaki, terus mendongak saat dia melecutkan sabuknya berkali-kali. "Ayo kita main sama dia... dan aku bakalan lupain semua yang terjadi."

Lupain?

Lupain apa?

Sebenarnya Aldo bicara apa?

"Dokter Frans... harus mati."

Oh, Dokter Frans, ya? Dia orang baik. Dia orang baik yang Aldo kurung dan siksa di rumah ini. Dia adalah akar dari pertengkaran antara aku dan Aldo saat ini.

Dia orang baik...

Orang baik tidak boleh dihukum.

"Orang baik gak boleh dihukum." Aku menolak. "Aku gak~ Ugh!"

Satu cambukan.

Dua.

Tiga.

Empat.

Lima.

Terus. Aldo terus mencambukku membabi buta. Jeritan kesakitanku menjadi lullaby malam pengantar tidur. Dia terus saja menorehkan luka di punggung, tangan, paha, juga betisku. Perutku sesekali tersengat. Rasa dari cambukkan itu begitu menempel seperti sengatan listrik tiada matinya.

Perutku ditendang. Telapak tangan kiriku yang utuh dia injak-injak sampai remuk. Beberapa bagian tubuhku tidak bisa kurasakan lagi. Nyeri... sangat-sangat nyeri.

Aku muntah darah saat dia melemparkan tendangan terakhir ke punggung.

Kepalaku berkunang.

Tapi ini belum cukup. Aldo masih senang bermain denganku, aku juga sangat bahagia karena pada akhirnya bisa menjadi mainannya seperti ini. Posisiku terbaring miring, kepalaku dia injak, ditekan serapat mungkin.

Sakit...

Sakit...

Ini sangat sakit...

"Terus... Aldo..." aku berbisik, meliriknya menggunakan ekor mata, kuberi dia senyuman mendukung. Matanya menatapku tajam, bibirnya merapat, membentuk sebuah garis tipis. Dia semakin marah.

Dan aku yang membuatnya marah.

Ini... mungkin akan menjadi terakhir kalinya aku bisa menatapnya seperti ini.

Rasa sakit ini begitu nikmat, menusuk sampai ke tulang-belulang menghantarkan nyeri tiada akhir.

Nyeri yang selalu kurindukan.

Rasa sakit yang membuatku melupakan segala penderitaan yang sudah kurasakan.

Aku menangis terharu.

Akhirnya, aku bisa merasakan ini...

"Jangan karena aku cinta mati sama kamu, kamu pikir aku gak berani bunuh kamu." Aldo menggeram. Dia melepaskan injakkannya, berjongkok di sampingku, kemudian menjambak rambutku agar segera bangun dan balas menatapnya. "Bilang kamu nyerah. Aku janji kamu bakalan baik-baik aja."

Baik-baik aja?

Memangnya sekarang aku kenapa?

Aku sangat merasa baik dengan kondisiku yang seperti ini. Rasa sakit ini membuatku sadar bahwa aku bukanlah makhluk mati.

Aldo itu bicara apa, sih?

Aku tidak mengerti.

Aku sudah tidak bisa menggerakkan tubuhku, kujadikan tangan besarnya yang menyentuh pipiku sebagai sandaran, aku menatapnya hangat.

"Kita bunuh Dokter Frans, oke?"

"Aku gak mau." Aku menolak tegas. Dengan ini, dia pasti akan semakin bersikap liar. Aku ingin tahu seberapa hebatnya dia dalam menyiksa orang yang dia anggap belahan jiwanya. Sosok yang dia katakan bahkan lebih penting dari nyawanya.

Aldo terdiam. Mungkin dia semakin tersulut emosi karena aku terus membantah, ya?

Dia merogoh sakunya, mengambil sebuah cutter, kemudian menggoreskan ujung tajamnya ke lengan kiriku.

Perih...

Aku meringis. Darahku mengalir, menyusuri tangan jatuh ke lantai.

Aku kembali balas menatap Aldo, tersenyum lebar dan menjatuhkan kepalaku di dadanya.

Bisa kurasakan tangannya bergetar. Saat setiap sayatan mulai dia torehkan memberi goresan demi goresan di punggungku.

Rasa perih menusuk tulang. Sesekali aku berteriak nyaring menyuarakan kesakitan.

Dia iblis tampanku yang manis...

Dia yang paling sempurna di antara segalanya...

Semuanya dia sayat begitu rapi. Punggung, tangan, perut, paha, betis, kecuali wajah. Dia memberikan kenang-kenangan yang cukup dalam.

Darahku mengalir semakin banyak.

Aku berteriak kesenangan.

Apa ini juga bisa mengobati lukanya?

Walau bagaimana pun aku sudah menyakiti perasaannya.

Aku bersikap seolah tidak setia, dan inilah hukumannya...

Dia Aldoku tersayang...

Dia adalah cinta pertama dan terakhirku sampai mati.

"Apa kamu udah nyerah?" suara Aldo bergetar. Dia meletakkan dagunya di pundakku. Andai saja aku bisa menggerakkan kedua tanganku, sudah pasti saat ini aku balas memeluknya dan mengatakan kalau aku baik-baik saja.

Tidak perlu ada yang dia khawatirkan.

Rasa sakit ini, adalah hukuman yang sangat aku syukuri. Sungguh.

"Aku gak mau nyakitin orang baik, Bi..." aku menjawab serak. Suaraku sedikit parau karena terlalu banyak berteriak. Darahku berceceran mengotori lantai, pakaianku sudah terkoyak, tapi tidak sedikit pun aku berpikir untuk meninggalkannya...

Meninggalkan sosok orang yang begitu berharga juga kupuja.

Dia meringis. Melemparkan cutternya sembarang arah, dia memberi dua tamparan di masing-masing pipi. Rambutku dijambak, dia seret aku berjalan sesuka hati sementara dua kakiku nyaris tidak bisa digunakan lagi untuk berdiri.

Ini sakit...

Dua kakiku tetap melangkah seperti berjalan di atas duri.

Aku merasa kagum dengan kemampuanku. Bagaimana caranya aku masih bisa berjalan setelah terluka parah seperti ini?

Darah menjadi jejak setiap langkah kami. Mengalir dari betis dan paha juga telapak kaki.

Kami memasukki kamar mandi, dia melemparkan aku ke dalam bath tub. Keran dibuka, air mulai memenuhi bak menenggelamkanku sampai sebatas leher. Mata pacarku mengkilat, warnanya kini berubah merah.

Kenapa Aldo terlihat begitu sedih?

Kenapa dia meringis seolah dirinya sendiri yang terluka?

Apa Aldo sedang ada masalah?

Kenapa dia tidak mau bercerita?

Dia pergi sebentar. Aku tidak tahu dia ke mana dan hanya bisa menunggu. Setiap sayatan di tubuhku yang masih mengalirkan darah mencemari air bening ini menjadi merah. Merah yang benar-benar cantik, merah yang sangat luar biasa indah.

Sayangnya, luka di tubuhku tidak terlalu banyak. Sehingga merah air ini tidaklah sempurna. Mungkin, dibantu darah dokter Fina yang melekat di bajuku juga yang menyebabkan warna oranye kini begitu terlihat memanja mata.

Aldo kembali masuk. Dia membawa sebuah toples yang diisi penuh benda pasir putih.

Aku menatapnya heran.

Aldo membawa gula?

"Kamu tetep gak mau nyerah, Key?" Aldo bertanya lagi. Suaranya semakin tremor, tangannya sedikit gemetar. Dia kian ragu-ragu. Aku tesenyum meyakinkan.

"Aku tetep gak mau ngehukum orang baik."

"Frans bukan orang baik." Aldo mendesis. Dia membuka tutup toplesnya, semakin mendekatiku menyingkirkan jarak di antara kami. "Dia mau ngerebut kamu dari aku."

"Dokter Frans gak kayak gitu." Aku menggeleng tidak setuju. Tidak sekali pun Dokter Frans memberiku saran untuk menjauh dari Aldo. Kenapa pacarku berburuk sangka pada orang lain?

Mama bilang berburuk sangka itu tidak baik.

Tidak seharusnya dia menuduh orang lain tanpa bukti seperti ini.

"Dan kamu terus aja ngebelain dia." Aldo berucap sinis. Dia mendekatkan toples itu ke atas kepalaku, memiringkannya, hendak menumpahkan isinya. "Ini, hukuman karena sikap keras kepala kamu."

Toples itu dibalikkan.

Benda putih itu langsung jatuh mengenai kepala juga bahuku. Perut, punggung, bahkan bercampur dengan air yang kugunakan berendam.

Aku menjerit.

Ini benar-benar sakit.

Aldo menaburiku dengan garam. Butir-butir kecil itu banyak yang langsung menempel dengan kulitku, menembus bagian tubuhku yang memiliki banyak luka. Mengirimkan gelenyar rasa perih yang nyaris membuatku gila.

"SAKIIIIIITTT!!!" aku berteriak kesetanan. Air garam yang yang merendamku memberikan rasa sakit ke sekujur badan. Mataku melotot, air mata tumpah semakin banyak. Aku terus meneriakkan kata sakit berulang-ulang.

Tapi-

Tidak sekali pun aku bergerak walau seinchi untuk meninggalkan bath tub.

Sakit...

Sakit...

Sakit...

"Sakit..." lirihku, sebelum akhirnya tertawa kesenangan.

Ini luar biasa sakit. Aldo memang sangat tahu cara yang benar untuk menyiksa orang. Wajahku panas. Kulitku berubah merah. Merah yang begitu cantik, merah yang luar biasa indah.

"Sakit..."

"Aku tau, ini udah jadi batas toleransi kamu buat nahan rasa sakit." Suaranya semakin parau. Dia berjongkok di depanku, mengelus pelan pipiku, memberi penawar kasat mata yang begitu menenangkan. Aku masih sesenggukkan, balas menatapnya dan tetap berusaha mengukir senyum. Sebuah kecupan kudapatkan di kening.

Aku mengerti perasaannya...

Lebih dari orang lain, aku tahu saat ini dia pun sama hancurnya. Saat dia memukulku, dia seolah sedang memukul dirinya sendiri. Saat dia mematahkan tanganku, hatinya ikut patah tidak terobati. Saat dia menggoresiku dengan pisaunya, dia pun merasakan perihnya seolah luka itu dia dapatkan juga di sekujur tubuhnya.

Dan saat aku direndam di dalam air asin ini. Dia pun bisa merasakan kesengsaraan yang aku rasakan.

Aku dipukul dia yang nyeri, tanganku yang patah dia yang hancur, tubuhku babak belur dia yang tidak akan bisa tidur, dan saat aku sekarat~

Dia yang akan mati.

Aldo... akan mati.

Semuanya sudah terlanjur.  Apa yang sudah terjadi tidak bisa lagi diundur.

Aku mau merasakan yang lebih.

Lebih.

"Cuma sebatas ini aja kemampuan kamu, Bi?" aku berbisik lirih. Kami saling menatap untuk sejenak. "Kamu yakin dengan ini aja bisa bikin aku nurut sama kamu?

"Aku... nakal, loh."

Aku terkekeh. Dia terlihat begitu pucat. Wajah sedihnya kembali berubah murka. Dia tersenyum menghina, berdiri, dan lagi-lagi  menjambak rambutku menyeretku keluar dari bath tub.

"Kamu emang mau mati, heh?"

Tubuh basahku dia dekap. Mata elangnya nyaris membuatku tidak bisa bergerak. Cahayaku... dia terlihat begitu berkilau dan juga indah.

Dia adalah cahayaku...

Napasku...

Segalanya untukku...

"Boleh." Aku menganggukkannya. Penasaran, apa yang akan dia lakukan selanjutnya? "Sekarang, kamu mau ngapain aku? Kamu mau potong tangan aku? Kaki aku? Atau, kamu mau coba cabut kuku-kuku jari aku?"

Aku menunduk, walau tangan kiriku sampai pergelangan tulangnya seperti hancur, tetap bisa aku gerakkan pelan-pelan. Aku menyodorkannya, mengangkat tangan itu sampai depan wajahnya.

"Aku, juga mau tau rasa sakit akibat kuku dicabut paksa atau tangan dipotong kayak Dokter Fina." Memberi senyuman hangat, kusandarkan kepalaku yang berdenyut ke dadanya. "Kamu mau, kan, bantuin aku potong tangan ma kaki aku?"

Dia menelan ludah. Jakunnya bergerak naik-turun. Dia terlihat akan menyerah, tapi ego menguasainya. Kekalahan bukanlah suatu pilihan. Segala perintahnya adalah absolute, dan dia tidak akan mengalah sekali pun dia bilang sangat mencintaiku.

"Aku punya hukuman yang lebih bagus. Gak ada gunanya kalo kamu udah gak punya tangan sama kaki." Dia tersenyum ragu-ragu. Jelas, dia terlihat sedikit takut. "Ayo!"

Dia menyeretku lagi. Terseok-seok dengan dua kakiku yang semakin lumpuh. Aku terjatuh berkali-kali, tapi dia tidak memedulikannya. Dia terus menyeretku ke lantai dua sekali pun aku tidak bisa berdiri.

Dalam posisi duduk, tangan kiriku dia tarik ke balkon kamar. Hujan turun semakin deras. Hewan malam dari hutan saling bersahutan. Hembusan angin kencang membawa rintik hujan mengenai tubuhku yang sejak awal sudah basah.

Dia... akan melakukan apa?

Dia memeluk perutku, mengangkatku dan menyorongkanku ke luar pagar. Kepalaku terguyur hujan. Aldo memelukku terlalu erat.

Kenapa dia bersikap seolah takut aku terjatuh?

"Jarak dari lantai dua ke tanah itu delapan meter!" Aldo berteriak. Aku mengangguk mendengarkan. Memang sangat tinggi, aku bahkan sedikit kesulitan melihat dasar akibat denyutan nyeri di kepalaku sejak tadi.

Semuanya terlihat samar.

"Kalo kamu jatuh dalem posisi kayak gini, kamu pasti mati!" Aldo menambahkan. Kurasakan dia mengecup belakang kepalaku, mendekatkan bibirnya ke telingaku. "Mendingan kamu nyerah aja. Setelah ini, kamu gak bakalan bisa ngerasain sakit lagi. Kita gak perlu main sama Dokter Frans, cukup bunuh dia sekali hantam. Oke?"

Dia memohon. Jelas kudengar nada suaranya begitu memohon.

Dia takut...

Aldoku tersayang bisa merasakan rasa takut?

Aku tidak mengenalinya.

Sekali pun tidak pernah aku melihat dia ragu-ragu dalam menghabisi lawannya.

"Aku... mau juga rasain jatuh dari tempat tinggi..." aku balas berbisik. Bisa kurasakan dia menahan napas untuk beberapa saat. "Tolong jatuhin aku, Bi. Aku juga mau rasain jatuh dari tempat setinggi ini."

"KEY!"

"Pasti sakit..." aku mengulum senyum. "Itu pasti bener-bener sakit, kan?"

"Kamu-" dia menggantungkan kalimatnya, dia dudukkan lagi aku di sisi pagar. Ponselnya berdering, dia segera merogoh sakunya dan mengangkat telepon. "Kamu diem di sini."

Perintahnya.

Aku mengangguk, dia berjalan beberapa meter masuk ke dalam rumah. Hujan turun terlalu deras, dia pasti tidak akan bisa menjawab telepon dalam keadaan bising, kan?

Aku menoleh lagi, menatap dasar tanah di bawah sana. Aku penasaran, bagaimana rasanya jatuh dari tempat tinggi? Apa tulang-tulangku akan remuk? Apa kepalaku akan bocor? Apa aku akan semakin berdarah-darah?

Kenapa banyak orang yang mati kalau loncat dari tempat yang sangat tinggi?

Apa tarikan gravitasi sekuat itu? sampai seseorang tidak bisa melawan kehendak alam?

Sebisa mungkin aku berusaha berdiri. Aku menoleh lagi ke dalam kamar, Aldo tampak sibuk marah-marah pada seseorang.

Kalau Aldo tidak mau menjatuhkanku, kenapa aku tidak mencobanya sendiri, kan?

Ini pengalaman. Pengalaman yang tidak akan terlupakan.

Aku terkikik. Dua tanganku membuat susah karena tidak bisa digerakkan, kakiku juga nyaris tidak bisa berpindah. Susah payah, aku bisa menaikkan kaki melewati pagar. Kaki kanan sudah melayang tanpa pijakkan.

Tinggal satu kaki lagi.

Aku memekik, saat akhirnya kaki kiri pun bisa kunaikan melewati pagar. Aku duduk manis bersiap-siap, mengambil napas.

Ini adalah rasa sakit yang selama ini kuimpikan.

Di mana dalam satu hantaman tulang-belulangku akan patah juga remuk.

Ini pasti akan sangat menyenangkan...

"KEY!!!"

Aldo memanggilku, aku sudah terlanjur menyorongkan tubuhku untuk melompat saat menoleh mendapatinya terbelalak berlari ke arahku.

Tubuhku melayang di udara. Aku mendongak.

Napas Aldo terdengar memburu, dia bisa meraih lengan bajuku. Dia membungkuk, mengulurkan tangannya yang lain berusaha meraih pundakku. Matanya merah, wajahnya semakin pucat. Dia terlihat sangat ketakutan.

"Pegang tangan aku sayang... aku nyerah. Kita bebasin dia. Ayo pegang tangan aku..."

Aku mengerutkan kening tidak mengerti. Dua tanganku, kucoba gerakkan, tapi tidak bisa. Tubuhku terlanjur mati rasa.

"Tanganku gak bisa gerak." Aku menjawab pelan, melirik tangannya yang menarik bajuku yang robek kian lebar. "Aldo, nanti baju aku sobek..."

"KEY AKU MOHON!!!" dia menjerit. Sudah seperti kesurupan saja. Aku menyipitkan mata berusaha balas menatapnya disaat air hujan menjatuhiku tepat ke mata, wajahnya terlihat semakin tidak jelas.

Dia itu apa-apaan, sih?

Bukannya tadi dia yang mau menjatuhkanku?

"Aldo... aku mau ngerasain jatuh dari tempat tinggi..." sobekannya kian melebar. Aldo terus berusaha menggapai pundakku dengan tangannya yang lain. "Kalo aku mati, kamu cari cewek lain aja, ya?"

Memberi senyuman hangat, aku menggerakkan tangan kiri susah payah, pelan-pelan naik dan Aldo terlihat kesetanan berusaha meraihnya. Tangan itu kugoyangkan, memberinya isyarat selamat tinggal.

"Bye!"

"KEEEY!!!"

Sobek.

Bajuku yang digenggamnya sobek. Tubuhku melayang di udara untuk beberapa detik. Setelah sekian lama, baru kali ini aku mengerti rasanya terbang.

Rasanya benar-benar menyenangkan.

Sebelum akhirnya tubuhku sampai di tanah menghantamnya amat keras. Bisa kurasakan tulang-tulangku patah dan remuk. Kepalaku mendapatkan sengatan sakit yang paling menyakitkan.

Apa ini rasanya kepala bocor?

Dadaku sesak. Seperti ada sesuatu yang menyumbat paru-paruku. Terbatuk beberapa kali, cairan merah kental yang lebih banyak keluar dari mulutku.

Aku terkekeh.

Ini sakit...

Sangat-sangat sakit...

Sensasi sakit yang untuk pertama dan mungkin terakhir aku rasakan. Hantaran nyeri menusuk setiap inchi tulang nyaris membuatku kehilangan kesadaran.

Merah darah yang indah, kini berbaur dengan hujan malam di tengah hutan.

Ini cara mati yang benar-benar elegan.

"KEY!!!" langkah lari seseorang mendekat, suaranya begitu dekat karena telinga kananku yang menempel dengan tanah. Itu pacarku tersayang, Aldoku yang manis kini sampai di samping kananku dengan napas terengah. Dia mengangkat kepalaku hati-hati, menarikku dalam dekapannya. "Key..."

"Arghhhmmm..." aku ingin menyebut namanya. Tapi tidak ada satu kata pun yang bisa kusuarakan. Rintihanku seperti domba sekarat yang tidak jelas. Aldo sesenggukkan.

Cairan basah dari wajahnya, memberi beberapa tetes kehangatan begitu sampai di kulit wajahku. Dia meraung, terus menjeritkan namaku berkali-kali.

Dia tidak pernah menangis. Kenapa dia harus menangis? Aldoku yang sempurna adalah makhluk Tuhan yang paling kuat. Dia menjalin kontrak darah dengan iblis agar bisa menjadi manusia tangguh yang tidak pernah kalah.

Dia menangisiku...

Dia menangis gara-gara aku.

"Key..."

Aku akan mati, ya?

Setidaknya, aku mati dalam dekapan hangat seseorang yang begitu aku cintai. Aldo memanggil Gupi sebegitu kasarnya. Dia memangku tubuhku, terus memberiku kalimat-kalimat menenangkan agar tetap mempertahankan kesadaran.

"Kamu gak boleh mati, kamu gak boleh mati."

Kenapa aku tidak boleh mati?

Aku sudah berbuat nakal. Aku tidak menuruti semua yang Aldo perintahkan. Aku sudah sewajarnya mendapat hukuman. Dan hukuman menurut Aldo adalah mutlak kematian.

Kenapa, dia tidak mau aku mati?

"Aku gak bisa kalo gak ada kamu. Aku janji bakalan ngikutin semua mau kamu. Tapi kamu gak boleh mati. Gak boleh mati."

Dia terus saja mengatakan itu. disaat kesadaranku sudah mulai menguap nyaris menemukan titik gelap.

Suaranya semakin samar.

Wajah tampannya berganti kegelapan.

Rasa sakit di tubuhku, semakin lama berangsur-angsur menghilang.

Ini kah kematian?

Tidak lama lagi aku akan menghadap Tuhan.

"Aku sayang banget sama kamu..."

Hanya kalimat itu. kalimat terakhir yang bisa kudengar sebelum akhirnya tidak tahu apa-apa lagi. Kegelapan kini mengambil alih ragaku, mengistirahatkan jiwaku, menukar segala rasa nyeri yang kurasakan dengan ketenangan.

Ini... keabadian?

***

Hangat...

Tangannya begitu hangat...

Siapa yang menggenggam tanganku dengan amat hangat?

Aku ingin membuka mata, tapi kelopak mataku benar-benar berat sehingga aku hanya bisa diam saja. Sekujur tubuhku terasa nyeri, aku tidak bisa menggerakkan tubuh walau untuk seujung jari.

"Tuan, ini pakaian gantinya. Saya juga membawakan makan siang dari rumah. Udah hampir sebulan Tuan nungguin Non Key di rumah sakit. Tuan gak sempat istirahat cukup sama ke kantor. Makan juga asal-asalan. Kalo Non Key tau, dia pasti sedih."

Tuan?

Siapa yang mereka maksud?

Aldo kah?

Dia menungguiku katanya. Sebulan? Jadi aku sudah ada di rumah sakit selama sebulan? Lalu, ke mana orangtuaku?

"Aku bakalan jagain dia sampe dia sadar."

Itu suara Aldo. Terdengar begitu serak juga rapuh. Genggaman di tangan kananku terlepas. Kudengar helaan napas dari seseorang.

"Kalo sampe bulan depan Key masih gak sadar juga. Aku bakalan ngadain ritual itu."

Ritual itu? ritual apa?

"Membunuh sekaligus seratus gadis perawan dan mengambil darah mereka melakukan pemujaan? Itu terlalu beresiko."

Apa maksudnya?

"Gak ada cara lain buat ngambil roh seseorang yang udah nyaris mati kayak gini."

"Tapi sekali pun raganya hidup Tuan tau sendiri yang ngisi tubuh itu bukan jiwa Non Key yang sebenernya, kan? Raganya diisi iblis. Kita harus ngasih dia darah segar setiap seminggu sekali."

Mereka diam. Aku semakin tidak mengerti dengan arah pembicaraan mereka. Apa maksudnya? Aldo mau menggantikanku dengan siapa?

Hei? Jadi aku belum mati?

"Aku gak peduli..." Aldo terdengar mendesis. Bahkan, tanpa melihatnya pun aku seolah bisa melihat saat ini dia sedang menyeringai sinis. "Aku bakalan bunuh siapa pun asal dia bisa hidup lagi."

Pembicaraan usai. Aku kembali tidak bisa mendengar apa-apa lagi.

***

Aku tidak tahu berapa lama aku tertidur?

Yang jelas, begitu terjaga, aku sudah ada di sebuah tempat yang bergoyang seperti mobil. Kedua kelopak mataku lagi-lagi berat. Sebisa mungkin aku berusaha membukanya. Aku tidak pernah lelah untuk mencoba. Aku akan membuka mata untuk si pemuja iblisku yang manis.

Dia yang sempurna dan bagiku adalah segalanya.

Mata terbuka...

Cahaya menyilaukan membuatku terpaksa berkedip lama beberapa kali.

Aku masih belum terbiasa membiaskan cahaya.

Dan begitu tersadar sepenuhnya, aku tahu saat ini memang sedang duduk di dalam mobil.

Mobil siapa?

"Kamu udah sadar?"

Suara itu...

Aku menoleh pelan-pelan, sedikit sulit menggerakkan leherku yang sepertinya saat itu patah. Mataku melebar, seorang cowok yang sudah cukup familiar kini tengah menyetir mobil.

Dia menoleh padaku dan memberi senyuman tipis.

"Udah lama kita gak ketemu, ya, Key?"

"Ngapain kamu di sini?"

"Jemput kamu." Dia berdehem. Aku masih menatapnya bingung. Kupikir, Arby Marric Giofardo itu sudah mati sejak dua tahun lalu. Jelas-jelas aku melihatnya sendiri saat Aldo menghunuskan pedang ke perut adik kandungnya sendiri.

Adik yang dianggapnya hanya pengganggu dia eksekusi di rumah itu.

Rumah yang menjadi tempat penyiksaanku.

"Dia makin gila." Marric berdehem lagi. Aku hanya menyimak. "Aku butuh bantuan kamu buat nyingkirin dia."

Perang saudara...

Mereka berusaha saling membunuh dan menyingkirkan.

Sejak awal, kehadiranku hanya menjadi alat rebutan yang sama sekali tidak diperlukan.

Marric tahu Aldo sangat mencintaiku. Dan dia, melakukan tindakkan konyol seperti memanfaatkanku untuk tahu sisi lemah kakaknya.

Makhluk yang mengikat kontrak darah dengan iblis tidak akan mudah mati. Itu juga alasan kenapa dia tetap bisa berkeliaran bebas di luar rumah sekali pun sering menjadi penyebab seseorang mati. Iblis melindunginya, sebagai gantinya... setelah mati roh mereka akan diambil dan dipaksa menjadi budak untuk iblis.

Sebelum akhirnya... mereka akan menjadi makhluk abadi di Neraka.

Marric lebih memilih berjalan meninggalkan kegelapan. Menghapus nama Giofardo dalam namanya dan ingin mengakhiri keturunan terkutuk yang sudah ada sejak nenek moyang. Satu turunan yang mencapai kesepakatan dengan setan. Menumbalkan banyak nyawa hanya demi kejayaan diri sendiri mencapai puncak.

Marric membencinya...

Sementara Aldo menikmatinya...

Dua sisi yang berbeda dalam satu keluarga. Untuk pertama kalinya ada keturunan Giofardo yang membelot tidak menerima garisan takdir.

Sedikit-banyak aku mengerti tentang kronologis pertikaian antara dua keturunan terakhir dalam silsilah keluarga mereka.

"Aldo... pasti sekarang lagi marah-marah." Aku menggumam, menatap lurus ke depan.

Jalanan malam kian sepi, kami melewati kawasan perkebunan teh. Mobil Marric terhenti, seseorang berdiri di tengah jalan menghalau perjalanan kami.

Marric menggertakkan diri.

Aku mendengus tidak peduli.

Dia pasti tahu...

Dia selalu bisa menemukan di mana pun keberadaanku...

Karena kami adalah satu...

"Kamu udah sadar, Key?!" Aldo berteriak. Tubuhnya disorot lampu mobil. Penampilannya sedikit kacau. Dia memberiku senyuman hangat. Aku balas mengulum senyum, melirik sosok di sisiku saat ini sekilas.

"Kali ini... gue gak bakalan kalah." Marric mendesis.

Pertikaian kedua dimulai...

Aku tidak sabar menunggu lagi...

Melihat salah satu dari mereka akan mati-

Pasti akan memberi rasa sakit tersendiri, kan?

Bagaimana, ya, rasanya melihat Aldo mati di depan kedua mataku sendiri?

Pasti sangat sakit...

Sangat-sangat sakit...

The end

Sebenernya cerita ini udah beres dari minggu yang lalu. Cuma karena ngerasa banyak yang kurang makanya disimpen dulu. Tadinya sempet nyaris gagal posting. Tapi dipost aja deh. sekalian minta saran ma kritiknya. penulis masih lemah di genre-genre kayak gini.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro