Tiga... Tiga...

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Penulis : Queen Nakey

Mengandung unsur kekerasan yang sangat sadis. Ditulis oleh penulis yang dalam mood kesyeeeeel lagi.

Unsur gore yang sedikit frontal, author tidak bisa menahan diri jiwa sadisnya saat memikirkan sesuatu hal yang dibenci. Berdarah-darah, penganiayaan sedikit kejam.

Diedit berulang buat ngurangin sedikit unsur sadisnya walau gak banyak perubahan yang spesifik.

Bisa membuat perut pembaca mual. Author tidak bertanggung jawab untuk readers yang nekad nabrak warning.

***

Tiga... Tiga...

Hari rabu, adalah jadwalku kembali kontrol ke rumah sakit bulan ini. Aku adalah seorang pasien di rumah sakit jiwa Cisarua. Memutuskan rawat jalan karena memang sakitku dianggap belum terlalu parah.

Aku bisa menjalani hidupku dengan normal.

Walau sesekali emosiku meledak membuat semua anggota keluargaku mengkhawatirkanku.

Aku punya pacar yang benar-benar sempurna. Aldo memang selalu kujadikan prioritas utama. Dia ganteng, dia tinggi, dia putih, dia kaya, dia sangat menyayangiku. Dia bilang, dia mencintaiku melebihi segalanya. Dia bahkan tidak ada niat meninggalkanku sekali pun sudah tahu kalau aku merupakan seseorang yang mengalami gangguan jiwa.

Kami akan bersama selamanya.

Hari ini, sengaja Aldo mengambil cuti. Aku tidak tahu kenapa dia tiba-tiba marah saat mengetahui dokter Gio, pria paruh baya yang selalu menanganiku digantikan Dokter Frans. Usianya memang masih sangat muda, lebih tua setahun dari Aldo yang tahun ini menginjak usia ke dua puluh enam.

Dokter Frans orangnya sangat ramah. Dia punya senyum yang besahabat, dia selalu mendengarkan semua yang kukeluhkan tanpa menyela. Setiap kali kontrol, pulangnya aku pasti akan diberikan kue atau cokelat.

Dokter Frans bilang, aku adalah pasiennya yang paling muda juga cantik. Dia akan berusaha membantuku agar sembuh dari sakitku.

Aku sangat senang mendengarnya.

Aku suka dokter Frans dan semua sikap baiknya.

Tapi sepertinya Aldo justru tidak menyukainya. Dia marah saat aku baru mengatakan kemarin sore kalau dokter yang menanganiku saat ini masih muda. Dia bilang hari ini dia akan ambil cuti, dia sendiri yang akan mengantarku check up jam sembilan pagi.

Sesampainya di rumah sakit. Seperti biasa, aku mendaftar di lobi kemudian melakukancheck tensi darah. Setelahnya, aku hanya tinggal menunggu dipanggil saja. Mama hari ini tidak ikut, Aldo di sampingku berpangku tangan dengan kacamata bening yang membingkai wajah gantengnya, raut wajahnya begitu dingin, kakinya menyilang membuat banyak orang sesekali curi pandang ke arahnya.

Beberapa suster tersenyum manis pada pacarku. Aku hanya mendelik sesekali kemudian menyandarkan kepalaku ke pundaknya. Sebuah elusan di kepalaku membuatku terbuai dan nyaris saja terlelap.

Ivan, sahabat dekat Aldo bilang, 'Aldo itu sudah tahu cara menjinakkan seorang Key dengan mudah.'

"Mbak Key. Silahkan."

Seorang suster memanggilku. Membuka ruang dokter mempersilahkan aku masuk. Aku segera berdiri, saat melangkah, mendadak terhenti begitu Aldo mencengkeram pergelangan tanganku. Dia menatapku tajam sambil bilang, "Aku ikut kamu."

Hah?

Ikut?

Biasanya, Mama saja menunggu di sini. Apa yang akan kubicarakan dengan dokter nanti itu privasi.

"Gak boleh, Al..." aku menggeleng. Tidak habis pikir pada sikapnya yang aneh sejak kemarin sore. "Kamu gak bisa ikut."

"Kenapa aku gak bisa ikut?" Aldo bertanya sinis. Sikapnya yang seringkali membuatku merasa terintimidasi dan tidak mampu membantah keputusan absolute-nya. "Aku udah tau semuanya, Dokter boleh tau apa yang kamu rasain. Kenapa aku gak boleh?"

"Itu karena setiap orang butuh privasi."

Aku dan Aldo menoleh ke ambang pintu ruangan Dokter Frans. Dokter tersenyum manis pada kami. Sepertinya, kami memang sudah membuat keributan.

"Tolong tunggu di luar sebentar, Pak. Hanya setengah jam. Saya akan menge-check perkembangan kesehatan Mbak Key."

Aldo melemparkan tatapan sinis. Giginya bergemelatuk. Cengkeramannya di pergelangan tanganku menguat. Aku meringis kesakitan, hanya beberapa saat, sebelum akhirnya dia melepaskanku kemudian tersenyum hampa.

Dia duduk santai lagi di kursi.

"Aku tunggu kamu di sini..."

Suaranya sangat datar. Nyaris tanpa riak sama sekali. Tapi aku yang sudah beberapa tahun mengenalnya tentu tahu ada emosi tak terbendung yang sedang dia tahan. Pacarku itu, bukanlah seseorang yang bisa dibantah kalau sudah ada maunya.

Tapi Aldo hanya menyorongkan kepalanya, mengecup pergelangan tanganku yang sedikit biru akibat sikap kasarnya, kemudian mendongak dan menatapku hangat.

"Aku bakalan beresin semuanya."

Aku tidak mengerti apa yang dia maksud?

Yang jelas, satu bulan berikutnya, saat aku diantar lagi oleh Aldo untuk check up, lagi-lagi aku berganti dokter. Saat ini, dokterku adalah seorang wanita.

Dan saat aku bertanya pada Suster ke mana perginya Dokter Frans sebenarnya?

Suster hanya menjawab sejak satu bulan yang lalu, disaat hari terakhir aku check up bulan itu, besoknya dokter Frans tidak menampakkan diri lagi di rumah sakit.

Cowok ramah itu mendadak hilang tanpa jejak. Dan polisi pun, benar-benar kehilangan arah tidak bisa menemukan keberadaannya.

Hilang secara misterius.

Benar-benar aneh, ya?

***

Dokter Fina. Dia sangat cantik dan juga baik. Memakai riasan make up yang tipis dengan rambut digerai rapi. Saat pertama kali bertemu dengannya, kesanku cukup baik. Dia orang yang menyenangkan juga bisa mengerti kondisiku.

Saat akan menebus obat, dokter Fina yang baru saja keluar dari toilet menghampiriku. Dia menanyakan bagaimana perasaanku?

Aku bilang kondisiku memang sedikit membaik. Dokter itu curi-curi pandang ke belakangku, dia menatap Aldo yang tampak duduk sambil menggenggam tangan kiriku erat sementara tangan bebasnya sibuk memainkan ponsel.

Dokter Fina bertanya siapa dia?

Aku bilang dia pacarku yang kuceritakan tadi pagi.

Pacarku tersayang, yang memiliki sikap misterius juga sedikit temperamen.

"Hallo..."

Aldo tersentak. Dia mengangkat kepalanya dan mendongak. Dokter Fina kini berdiri sejajar denganku. Dia memberikan senyuman yang amat menawan, aku mulai gelisah tidak nyaman.

"Ya?"

"Anda pasti Mas Aldo? Mbak Key cerita banyak soal anda pada saya. Senang bertemu langsung dengan anda."

Mereka berjabat tangan. Aldo melepaskan genggaman tangannya padaku. Aku diam saja, membiarkan mereka yang mulai sibuk berbincang.

Aku benci setiap kali seperti ini.

Para cewek di sekitarku banyak yang selalu bersikap genit pada pacarku. Cowok ganteng, tinggi, dan kaya memang jarang benar-benar ada di dunia nyata. Mendengar ceritaku Aldo merupakan seorang pewaris sebuah perusahaan besar, mereka mulai tebar pesona berusaha merebutnya dariku.

Aldo tampak nyaman-nyaman saja bicara dengan Dokter Fina.

Padahal, dengan Dokter Frans sikapnya sangat-sangat berbeda.

Hari itu, keberadaanku seolah mendadak berubah transparan. Aku mendiamkan tidak mau ditelan rasa salah paham.

Bulan depannya, saat kontrol lagi. Dokter Fina menyarankan agar aku putus dari Aldo. Dia bilang, Aldo bukan cowok yang cocok menjadi pendamping hidupku. Dia bisa menilai kalau pacarku itu memiliki sisi gelap yang bisa menghambat kesembuhanku.

Aldo bukan orang baik. Aldo itu orang jahat.

Malamnya, aku mengirisi punggung tanganku dengan silet.

Tanganku sakit, hatiku lebih sakit lagi.

Dokter bilang kalau mau sembuh aku harus putus dengan Aldo. Dan besoknya, lewat telepon aku memutuskan mengakhiri hubungan kami yang sudah terjalin selama empat tahun lebih.

Aldo menelepon ulang.

Ponsel kunonaktifkan.

***

"Aku punya kejutan buat kamu, Sayang." Suaranya amat serak. Penampilannya begitu kusut. Sore itu, Aldo datang ke rumahku dengan senyuman getir yang bibirnya ukirkan. Aku bergetar tidak tahan.

Aku mau sembuh.

Dan Dokter bilang hanya dengan putus dari Aldo, baru aku bisa hidup untuk masa depanku.

Dokter memintaku memilih, pacarku, atau keluargaku?

"Dokter bilang kita gak boleh ketemu lagi." Aku terisak. Mendorong-dorong dada lebarnya agar mundur namun dia sama sekali tidak beranjak. Perbedaan kekuatan di antara kami kentara sekali. Aku tidak mau melihatnya lagi. "Kamu pulang sana."

"Tau apa Dokter soal kita?" Aldo mendesis. Dia menangkup kedua pipiku dengan dua telapak tangan besarnya. Mengecup hidungku sebelum akhirnya menempelkan kening kami berdua. "Apa kamu ngerasa selama ini aku jadi beban buat kamu, hm?"

"Aku gak pernah mikir kayak gitu."

"Terus kenapa kamu tetep mau putus?" Aldo bertanya lagi. Kedua kakinya sedikit menekuk demi menyamakan tinggi kami. "Aku cinta sama kamu ngelebihin segalanya. Kenapa kamu nyakitin aku kayak gini?"

Aku tidak punya maksud sejahat itu. aku tidak berpikir kalau keputusanku akan membuat Aldo sebegini lemahnya. Aldo terlihat amat rapuh dan putus asa. Kemeja biru dongker yang dipakainya berbau wangi. Aku meletakkan kepalaku di dadanya, memeluknya, dan terisak.

"Aku sayang kamu..."

"Kamu tau walau aku gak bilang, sesayang apa aku sama kamu, kan?" Aldo berbisik lirih. Dia memeluk kepalaku, meraih tangan kiriku, kemudian mengecupi setiap bekas sayatan silet yang kuukir tadi malam. "Liat? Justru gara-gara mikirin putus ma aku tadi malem kamu kayak gini lagi, kan?"

Mata kelamnya menenggelamkanku. Tubuh kecilku terasa pas dalam dekapannya. Aku mengangguk. Aku tidak akan memikirkan untuk putus dari Aldo lagi.

Karena justru ketika aku berpikir untuk meninggalkannya, aku berani menyakiti diriku sendiri lagi seperti dulu.

Aku sayang Aldo, dan dia adalah segalanya untukku, duniaku.

"Aku punya kejutan. Kamu ikut aku, ya?"

Aku mengangguk. Perbincangan kami diakhiri sebuah kecupan singkat di pipi kiriku. Aku naik ke punggung pacarku kemudian menuju mobilnya untuk pergi ke suatu tempat.

Aldo bilang, dia punya kejutan yang sangat menarik untukku.

Dan, sungguh, aku tidak sabar lagi untuk melihat semuanya dengan mataku sendiri.

***

Rumah besar di tengah hutan. Rumah ini sudah beberapa kali kukunjungi, hutan lindung seluas lima hektar ini, adalah milik keluarga Giofardo yang tidak tersentuh tangan jahil sama sekali.

Setiap harinya selalu ada petugas patroli, berkeliling di sisi hutan, memastikan tidak ada penebang kayu liar yang mengurangi intensitas kehijauannya.

Rumah ini di bangun tepat di tengah. Aku sama sekali tidak mengerti apa alasannya? Apa keluarga Aldo tidak takut membangun rumah sebesar ini di tengah hutan belantara yang tidak dihuni manusia?

Aldo bercerita, kalau rumah ini dibangun sejak dua puluh tahun yang lalu. Ayahnya yang membangun rumah itu untuknya karena tahu persis 'kebiasaan' anak semata wayangnya yang sudah menunjukkan bakat yang Aldo punya sejak masih kanak-kanak.

Keluarga Aldo senang bermain aman.

tato bintang kaki enam dalam sebuah lingkaran dan angka '666' terdapat di punggung mereka atau pun tangan.

Aku tidak pernah mengerti, apa yang dimaksud 'aman' oleh Giofardo dan keluarga? Keluarganya begitu hangat juga baik. Orangtuanya menyambutku dengan tangan terbuka, mungkin karena mereka tidak tahu kalau aku sakit jiwa.

Mobil Lexus metalik itu berhenti di depan rumah. Seorang pria tinggi berwajah suram menyambut kami dengan senyuman transparan. Aku tahu namanya Gupi. Pria botak paruh baya itu yang diperkenalkan pacarku merupakan orang yang melatihnya belajar bela diri.

Gupi tinggal di rumah ini berdua dengan istrinya. Mereka tidak punya anak. Keduanya selalu bersikap sopan dan hangat setiap kali Aldo mengajakku berkunjung ke rumah ini.

Mereka bilang aku dan Aldo itu sangat serasi.

Kami berdua saling melengkapi.

Malam mulai beranjak, aku sudah mengabarkan Mama kalau hari ini pasti pulang terlambat. Mama sudah mempercayakan aku pada Aldo sepenuhnya. Aku memang anak bungsu dari dua bersaudara yang sedikit ngotot kalau sudah ada maunya.

Bunyi hewan malam kini bersahutan, kegelapan yang mencekam dari halaman rumah memang sedikit menakutkan. Digandeng mesra olehnya, aku mulai memasukki rumah. Cichi, istrinya Gupi menawarkan aku minuman hangat.

Aku minta susu cokelat.

"Dingin, hm? Harusnya tadi kamu pake jaket."

Aldo memang pacar yang sangaaaaat perhatian. Tau aku kedinginan, dia mengambil jaket yang ada di mobilnya kemudian memakaikannya padaku. Kebesaran memang, tapi setidaknya ini lebih baik daripada tidak memakai sama sekali.

Padahal, di rumah ini ada selimut kok.

"Dia udah bangun?" Aldo bertanya dingin. Gupi yang berjalan di belakangnya mengangguk.

"Sudah sejak jam lima sore tadi, Tuan."

"Udah dikasih makan?"

"Sudah." Gupi mengangguk lagi. Dia sopan sekali. "Sesuai dengan perintah Tuan."

Berkedip beberapa kali, mungkin hanya aku saja yang tidak tahu siapa yang mereka maksud, ya?

Aldo mengulas senyum. Aku menelengkan kepala ke kanan, lalu mendongak ke atas tangga. Mataku terpaku saat melihat sosok tanpa kepala kini berjalan menyusuri tangga. Kedua kakinya tidak menapak, lolongan kesakitan terdengar cukup mengganggu pendengaran.

Rumah ini memang banyak setannya.

Sayangnya, aku sama sekali tidak takut pada makhluk astral semacam itu.

Aldo mengajakku berjalan lagi. Kami berdua menyusuri lorong gelap sambil bergandengan tangan. Ketukkan sepatu terdengar keras menimbulkan gema yang cukup bising. Aku menoleh kanan-kiri, tersenyum pada seorang gadis yang merayap di sampingku dengan posisi kepala terbalik.

Darah menceceri pakaian putihnya. Tulang kakinya menembus kulit, membuatku bisa melihat potongan tidak benar di betis kanannya. Kedua tangannya terikat, sehingga dia hanya bisa merayap mengandalkan kepala juga dua kakinya. Dia merintih, meminta tolong, memanggil namaku begitu lirih.

"Dia ngikutin kita." Tunjukku. Aldo menoleh ke arah yang kutunjuk. Dia hanya tersenyum tipis tanpa menjawab apa pun. Kecupan singkat lagi-lagi aku dapatkan di pelipis kiri. "Setannya makin banyak aja."

"Kamu takut?"

"Aku lebih takut sama kamu." Aku menjawab polos. Berhenti membuat dia ikut menghentikan langkahnya, menoleh padaku dengan tatapan bertanya. Aku memiringkan kepala ke kiri. "Setan gak bisa bunuh aku. Kamu bisa."

"Aku bakalan bunuh kamu kalo kamu berani ngelirik cowok lain." Aldo berkata ringan. Dia mengusap pipiku pelan. "Setelah itu, aku bakalan mati sama kamu."

"Kita masuk neraka barengan?"

"Apa salahnya, kan?"

Kami berdua terkekeh. Melanjutkan lagi perjalanan yang sempat tertunda menuju ruang bawah tanah. Lampu-lampu mulai dinyalakan. Dulu, tempat ini tidak memiliki lampu sama sekali. Mata hitam Aldo seolah sudah terbiasa di kegelapan dan menyesuaikan. Tapi saat pertama kali datang ke tempat ini, aku tersandung dan terjatuh. Kepalaku membentur dinding.

Aldo marah.

Dia tidak suka melihat darah yang keluar dari tubuhku.

Kunjungan kedua, tempat ini langsung dipenuhi lampu.

Dinding putih di sekitar kami ternoda. Darah kering terciprat di mana-mana. Sepertinya, bukan satu dua orang saja yang hidupnya berakhir naas di tempat ini.

Aldo bilang, delapan tahun lalu, saat pacarnya di SMU selingkuh dengan sahabatnya sendiri. Dua orang itu Aldo eksekusi di tempat ini.

Mereka berlarian mencari jalan keluar dengan dua kaki patah yang sulit digerakkan. Merayap menyusuri jalan, dengan Aldo yang membuntuti sambil membawa gergaji mesin.

Saat itu, Aldo bilang adalah saat-saat yang sangat menyenangkan.

Membelah kepala mantannya dengan gergaji mesin, membuat otaknya muncrat terburai adalah suatu kesenangan yang tidak tergantikan. Dia ingin tahu, di pikiran cewek itu, masih kah mengingat namanya saat tengah bercumbu dengan sahabatnya?

Sahabat prianya lebih sadis lagi. Aldo memotong tangan dan kakinya lebih dulu, membuat pria itu merasakan sakit yang luar biasa dengan darah muncrat ke mana-mana. Jeritannya sama sekali tidak Aldo dengarkan.

Permohonan maafnya tidak ada gunanya.

Sebelum akhirnya dalam satu sabetan kepalanya terlempar dari badannya.

Perutnya Aldo robek, lalu usus-ususnya dia tarik keluar kemudian dia jadikan makanan singa peliharaannya.

Oh, iya. Di rumah ini Aldo memelihara dua singa dan dua harimau.

Hebat, kan?

Aku menyesal karena saat itu kami belum saling mengenal.

Aku tidak bisa melihat aksi hebat yang pacarku lakukan.

Dia benar-benar sempurna. Aku semakin jatuh cinta padanya.

Kami sampai di depan sebuah pintu. Entah bagaimana caranya dia bisa membedakan satu pintu dengan puluhan pintu yang lain? Sepanjang lorong, memang terdapat banyak sekali pintu yang dibiarkan tertutup.

Aldo membuka pintunya.

Mataku melebar saat melihat apa yang ada di dalamnya?

"Dokter... Fina?"

Aldo mengajakku masuk. Mataku terpaku pada sosok yang kini duduk di atas bangku. Dililit kawat kecil yang tajam sehingga aku bisa melihat darah yang mengalir dari setiap goresan yang dalam di sekujur tubuhnya.

Cewek itu Dokter Fina, walau penampilannya memang sedikit berbeda. Tapi aku sudah sangat mengenalinya. Dia menggunakan gaun satin ungu dengan tali spagetti yang melingkari lehernya, belahan dada gaunnya rendah, memamerkan payudaranya yang besar juga indah.

Rambutnya ditata apik, wajahnya yang sudah sedikit memar terlihat tetap cantik dengan make-up yang lebih tebal.

Aku menoleh dan mendongak, Aldo tersenyum tipis, merangkul bahuku kemudian memeluk punggungku.

"Kamu kenapa nyulik Dokter Fina?" aku bertanya menuntut. Walau aku selalu mendukung semua hal yang Aldo lakukan, aku tidak suka kalau dia menyiksa seseorang yang tidak punya salah padanya.

Mama bilang itu dosa.

Kita tidak boleh menyakiti orang yang tidak berbuat salah pada kita sebelumnya.

"Aku gak nyulik, dia sendiri yang dateng sama aku." Aldo meletakkan dagunya di puncak kepalaku, aku mengernyit tidak mengerti. "Dia ngajak aku kencan."

Mataku melebar. Aku melotot pada cewek yang tengah menangis terisak di depanku itu. apa maksudnya dia mengajak Aldo kencan? Bukan kah dia bilang Aldo bukan cowok baik-baik?

Aku sama sekali tidak mengerti pada jalan pemikiran semua orang.

Pusing.

"Dia boneka cantik, kan?" Aldo bertanya lembut. Aku memperhatikannya menelisik. Sedetik kemudian aku mengangguk. "Bagian mana yang paling kamu suka?"

"Kukunya." Aku menatap kuku-kuku Dokter Fina. Cantik dan terawat. Bentuknya juga sangat indah. "Aku mau kukunya. Tapi dia bukan orang jahat."

"Dia jahat." Aldo menampik tegas. Tangannya mencengkeram daguku, menarikku sampai mendongak sehingga kami saling menatap. "Dia nyuruh kamu putus sama aku biar dia sendiri yang bisa deketin aku."

Mataku melebar. Aku baru tahu niat busuknya.

"Dia gak beda sama Carel."

Aldo melepaskan cengkeramannya, aku menatap Dokter Fina kesal. Cewek itu menggeleng cepat, mulutnya disumpal.

"Kamu nyumpal mulutnya pake apa?"

"Aku suruh Cichi nyumpal dia pake celana dalemnya sendiri." Aldo tersenyum menghina. "Cewek murahan, pantes diperlakuin murahan juga."

Aku terdiam. Seumur hidup, Aldo tidak pernah sekali pun bersikap kasar padaku. Jangankan sikap, dia bahkan sangat jarang membentakku. Aldo begitu tenang dan pendiam, walau di depan orang lain seringkali mendadak temperamen membuat bising.

Mama tidak pernah melihat sisi lainnya. Mama percaya dengan Aldo, aku bisa hidup normal seperti orang lainnya.

"Ayo kita ambil kukunya." Aldo berjalan mendahuluiku. Dia berjongkok di depan Dokter Fina kemudian mengambil sebuah tang yang tergeletak di bawa kakinya. Ada paku, obeng, gunting, palu, dan kapak.

Lengkap sekali.

Aku melompat ke punggungnya, memeluk punggung lebar itu dan melingkarkan tangan di sekitar leher. Aldo terkekeh.

"Mana dulu yang mau kamu ambil?" Aldo bertanya lembut. Jari-jari besarnya membelai jemari lentik berkulit susu cewek yang terus meronta memohon di lepaskan di depan kami. Wajahnya begitu tenang, terlihat semakin ganteng. Aku curi-curi mengecup pipinya. Bergerak gelisah, membuat dia terdorong dan nyaris jatuh. "Hei, hati-hati."

Aku mengabaikan tegurannya. Tubuhku semakin bergetar, -antusias. Dia menumpu tangannya yang bebas ke lantai agar kami tidak jatuh. Aku sibuk memilih-milih. Kuku-kuku panjang dipoles kutek ungu dan stiker hello kitty itu lucu sekali. Aku menatap kuku-kukuku sendiri.

Tidak bagus.

Jelek.

"Aku mau semuanya." Aku menjawab excited. Senyumku melebar. Aldo mesem-mesem dan mengangguk. "semuanya-semuanya-semuanya. Kukunya cantik-cantik. Aku suka semuanya."

"Iya-iya." Dia menjawab santai. Dia mendongak, menatap wajah Dokter Fina yang begitu sembab dengan airmata meleleh menyusuri pipi. Tubuh ramping itu gemetar terisak. "Dokter, sebagai seorang Dokter, anda tidak berhak mencampuri masalah pribadi pasien anda sendiri. Key, juga butuh privasi."

Aldo memberi jeda. Wajahnya amat serius mengguratkan ekspresi kesal juga kecewa.

"Dia minta putus dari saya. Hubungan empat tahun yang kami pertahankan, nyaris berakhir cuma karena saran gak masuk akal yang Dokter saranin." Aldo bicara dengan nada yang amat datar. Tanpa riak, atau pun emosi yang terselip dalam setiap tutur kata sopannya. Aku mengangguk, pelukkanku di leher pacarku kian mengerat.

"Anak nakal harus dihukum..." Aldo mendesis. Dia mengambil ibu jari Dokter Fina, mengelus kuku panjangnya kemudian menariknya menggunakan tang sekaligus.

Jeritan kesakitan menggema.

Mata cantik Dokter Fina melotot. Tubuhnya bergerak-gerak tidak terima.

Dia sangat berisik.

Aku mendesis sebal.

Darah mengalir dari kulit ibu jarinya yang tidak berkuku lagi, Aldo memberikan kuku yang masih diselimuti cairan pekat warna merah itu padaku. Aku menerimanya semangat, kutempelkan kuku itu ke kukuku sendiri.

Tidak menempel.

Kenapa tidak mau menempel?

"Aldo... gak mau nempel." Aku mengunyah bibir. Mataku panas. Dulu, kupingnya Carel juga tidak mau menempel di kupingku. Sekarang, kuku Dokter Fina juga tidak bisa menempel di jariku.

Ini menyedihkan...

Apa aku tidak cocok mendapatkan sesuatu yang cantik?

"Mungkin, kuku aku juga harus dicabut dulu." Aku mendapatkan ide brilian. "tolong cabutin kuku jari aku juga."

Raut wajah Aldo yang tenang mengeras. Dia menarik lenganku lalu membantingku ke lantai. Sedetik sebelum kepalaku menghantam keramik, tangan kanannya melindungi kepalaku lalu cowok itu kini menindih tubuhku.

Aku tidak mengerti. Kenapa Aldo terlihat marah sekali?

Apa aku berbuat salah lagi?

"Jangan coba-coba ngeluarin setetes darah pun di tubuh kamu, inget?" Aldo mendesis galak. Aku mengangguk sekali. "Kalo kukunya gak mau nempel, berarti kurang bagus. Atau kita bisa pake lem. Tapi kalo ampe kamu nyakitin diri kamu sendiri lagi. Aku bakalan bunuh Mama kamu, Papa kamu, sama kakak perempuan kamu. Ngerti kamu?"

"Maaf..."

"Jangan diulang." Aldo beranjak dari tubuhku. Dia memasang wajah datarnya lagi. Ekspresi marahnya berangsur menghilang. Aku beringsut duduk, berjongkok di samping kanannya kemudian mengambil gunting.

Sebal.

Aku menggambar boneka bulat di kaki putih Dokter Fina.

Cewek itu mulai merintih kesakitan tidak mau diam.

Ujung guntingku jadi bergerak tidak beraturan. Kesal, kutusuk saja betisnya sekaligus. Darahnya muncrat, aku manyun begitu noda merah itu mengenai pipiku.

Guntingku menancap di betisnya.

Aldo terkekeh.

"Jangan ngambek." Aldo mengelus pipiku. Aku menoleh padanya masih cemberut. "Aku ngelakuin ini semua demi kebaikan kamu."

"Bidadari terluka emang cantik, tapi bakalan lebih sempurna lagi kalo gak punya luka, kan?" dia menggombal. Pipiku memanas, aku membuang muka ke arah lain. "Ayo, kamu mau cabut kukunya yang lain sendiri?"

Aku mengangguk, mengambil alih tang yang dia pegang. Saat aku akan mencabut kuku telunjuknya. Tangan Dokter Fina yang tidak mau diam benar-benar menyulitkanku. Aku mendengus.

"Dokter tangannya diem dong. Aku susah nyabutnya." Rengekku sebal. Dokter Fina tidak mendengarkan.

Ish!

Aku menunduk, menatap paku. Aldo membiarkanku duduk di pangkuannya, aku menoleh dan menatapnya memohon, "Boleh aku paku aja tangannya?"

"Apa pun. Selama itu bikin kamu seneng."

Aku bersorak senang. Aldo memang pacarku yang sangat perhatian. Aku meletakkan tang dan mengambil paku juga palu. Tangan Dokter Fina kutusuk sekaligus dengan paku, kutarik paksa dan kuletakkan di atas pahanya. Lalu paku itu kupukul beberapa kali dengan palu. Dia menjerit tertahan lagi.

Tangan kanannya gepeng. Paku besar itu menembus ke pahanya. Darah mengalir semakin banyak, aku tertawa bahagia.

"Pakunya masuk ke pahanya." Aku mengadu. Aldo mengelus rambutku.

"Kamu bakat jadi tukang kayaknya."

"Enak aja." Kami tetap bisa bercanda santai. Boneka tidak dimintai pendapat karena hanya akan kami jadikan objek mainan. Tubuh Dokter Fina semakin gemetaran, raung tangisnya kian keras. Aku memutuskan untuk mencabut celana dalam yang menyumpal mulutnya.

"LEPASKAN SAYA!!!" Dokter Fina berteriak histeris. Dia menangis sesenggukkan. "Saya minta maaf, saya mohon lepaskan saya."

Aku berkedip beberapa kali. Wajahku seketika itu juga murung.

Kenapa setiap orang yang bermain denganku selalu memohon untuk dilepaskan?

Apa aku teman bermain yang membosankan?

Apa bermain denganku itu tidak menyenangkan?

Aku mengunyah bibir. Tang yang sudah kugenggam lagi kulepaskan, kepalaku tertunduk dalam.

"Kok murung?" Aldo mencabut lagi gunting yang tertancap di betis Dokter Fina. Darah lagi-lagi muncrat, menciprat ke pakaian kami berdua. Lolongan kesakitan memecah kesunyian malam. "Kamu gak suka?"

"Aku suka, tapi Dokter Finanya gak mau main sama aku. Dia minta dilepasin." Aku berkata serak. Mataku lagi-lagi panas. "Dia gak seneng main sama aku."

"Gak seneng?" Aldo membeo. Dia diam beberapa saat sebelum akhirnya mengukir senyum. "Kalo dia gak seneng ya terus kamu paksa. Setiap dia jerit kesakitan, itu justru hiburan buat kita. Aku udah ngajarin ini dari dulu, kan?"

Aldo memberiku semangat. Aku manyun.

"Liat ini!" Aldo mengambil kapak, dia mengayunkannya sekuat tenaga. Sekali tebasan, tangan kanannya yang sudah kupaku langsung buntung. Kapaknya menancap kuat di tulang pahanya yang nyaris ikut putus.

Jeritan nyeri menjadi.

Aldo tertawa saat darah muncrat ke wajah kami.

"See? Justru di sini kesenangannya."

Aku semangat lagi. Bicara dengan Aldo, memang selalu memberiku rasa percaya diri. Tubuhku bergoyang kesenangan, aku mengambil lagi palu kemudian menghantamkannya ke perut cewek itu.

Dokter Fina muntah darah. Dia terlihat sangat lemas. Aku lagi-lagi mendapat pujian.

Tidak menyerah. Aku tetap memaksa mengajak Dokter Fina bermain. Kupukulkan palu itu ke dagunya membuat beberapa giginya terlempar rontok. Hidungnya sampai berdarah dan juga bengkok, matanya, dan langsung muncrat membuat Aldo bersorak bertepuk tangan.

"Sugooooi... dia gak tidur-tidur, ih." Aku memuji takjub. Wajahku banjir darah, pakaianku dibasahi cairan merah. Paluku berlumur cairan amis berbau besi itu. Dokter Fina terus saja menangis mengandalkan sebelah mata kirinya yang tersisa.

Sementara matanya yang lain sudah tidak berupa, mengalirkan cairan kental bercampur putih.

Aldo menjilat pipiku seduktif. Aku kegelian.

"Ampuni saya..." suara itu kian serak. Menginterupsi kemesraan intim di antara aku dan pacarku itu. kami menoleh menatapnya sekilas. Aku berkedip beberapa kali. "Bunuh saja saya sekaligus. Tapi jangan siksa saya seperti ini terus." Dia memohon. Aku berkedip lagi.

Dia mau mati, ya?

Yah... wajar saja, sih. Dia nyaris jadi pihak ketiga di antara kami. Aku sangat membenci orang ketiga. Mereka selalu merusak semuanya.

Tapi... mungkin sebenarnya Dokter Fina tidak bermaksud, kan? Tidak seharusnya dia bersikap putus asa. Dia harus punya niat untuk melanjutkan hidupnya.

"Dokter... Dokter gak boleh nyerah, ya?" aku tersenyum manis. Tetap memberinya semangat hidup. "Dokter harus kuat sampai akhir." Aku mulai memalu jari-jari kakinya sampai gepeng. Darahnya banyak sekali. Tulangnya langsung remuk dalam satu pukulan.

Jeritannya seperti nyanyian yang amat menawan. Suara yang amat merdu, menyanyikan seriosa pengantarp lelap. Kapan aku bisa punya suara semerdu itu?

"Kita sebagai manusia gak boleh putus asa."

Aku berharap, dengan mendengar ini Dokter Fina kembali mendapatkan lagi semangatnya. Kutusuk punggung kakinya dengan obeng terus kugunakan palu agar menancap lebih dalam menembus lantai. Aldo membiarkan aku bersenang-senang.

Pacarku memang cowok yang sangat perhatian.

"Dokter punya wajah yang cantik, kaki yang putih dan panjang. Saya selalu iri sama cewek-cewek model kalian." Aku mengambil kapak. Meminta Aldo untuk memegangi kaki kanannya, aku mulai menghantamkan kapak itu ke lututnya. Berkali-kali.

Sebanyak mungkin sampai putus.

Bajuku semakin basah saja.

"Jadi Dokter gak boleh nyerah sama keadaan, oke? Kan, Dokter sendiri yang bilang kayak gitu ke saya? Biar bisa sembuh." Aku tersenyum menenangkan. "Kaki yang satunya saya ambil lagi, ya? Biar sama."

Dia menggeleng. Aku merasa dejavu. Kejadian ini mengingatkan aku pada Carel. Carel juga menolak memberikan kakinya sukarela. Sehingga aku harus memaksa. Beruntung sekarang ini Aldo mau memegangi kakinya, jadi pekerjaanku tidak terlalu susah. Walau pun, kakinya yang satunya kali ini memang sudah menempel dengan lantai. Aku memakunya dengan tepat dan benar.

Aldo menjilati pipiku yang terciprat darah. Kadang, aku merasa dia itu keturunan vampire.

Edward Cullen. Tokoh ganteng favoriteku yang bagiku, tetap saja Aldo lebih ganteng dan segalanya.

Vampire itu tidak ada.

Lagian, Edward itu kan suaminya Bella.

Aku menyandarkan punggungku ke dada bidangnya. Capek. Napasku putus-putus.

Bermain seperti ini ternyata melelahkan sekali.

"Udahan, ah. Bebasin dia gih, Bi." Aku mendongak. Dia tersenyum dan mengangguk. Begini-begini, aku tidak pernah mengajak orang bermain sampai mati. Yah, hanya dulu sekali. Aku pernah membunuh Loki. Teman sekelasku yang berkelakuan bejad dan nyaris memperkosaku di toilet siswi sekolah.

Aku berdiri, memutuskan keluar dari tempat ini dan mandi. "Aku duluan, ya?"

"Kamu hapal jalan?"

"Tau, tinggal lurus aja, kan?"

Aldo mengangguk. Aku menghela napas, mengusap baju dan jaket Aldo yang kugunakan kini benar-benar kotor. Darahnya bahkan membasahi sampai rambutku.

Ya ampun.

Aku kotor sekali.

"Kamu cantik." Aldo memuji. Aku tersenyum senang. "Bersihin baju kamu gih. Mama kamu pasti udah nunggu kamu dari tadi."

"Oke." Aku melangkah keluar ruangan. Begitu menutup pintu lagi, sebuah jeritan panjang Dokter Fina lagi-lagi kudengar, menggema beberapa kali membuatku menggeleng kepala heran.

Aldo selalu saja bersikap jahat.

Orang sudah seperti itu, masih dibunuhnya juga. Ck!

Kasihan.

Tidak mau ikut campur, aku memutuskan berjalan lurus hendak pergi ke lantai utama. Panggilan suara aneh di sekelilingku kuabaikan. Wajar rumah ini banyak setan gentayangan. Yang mati tidak wajar di rumah ini pasti bukan cuma satu atau dua orang.

Di pertengahan lorong. Aku menghentikan langkah kakiku. Aku seperti mendengar suara yang cukup aku kenal dari balik pintu tempatku berdiri saat ini.

Aku sangat mengenalinya.

Menoleh kanan-kiri, aku memutuskan untuk membukanya dan masuk ke dalamnya. Mataku melebar saat melihat sosok yang tengah dipasung dan dalam kondisi mengenaskan di dalam ruangan dengan penerangan minim ini.

Jantungku nyaris berhenti berdegup.

Aku menelan ludah susah payah.

"Dokter Frans?" aku memanggil tidak percaya. Pria itu mendongakkan kepalanya, wajahnya babak belur sekali pun aku masih mengenalinya. Pakaiannya sudah tidak berbentuk, sekujur tubuhnya masih utuh.

Namun, beberapa sayatan bisa kulitan ada di sepanjang kulitnya.

Aroma darah dan air jeruk nipis juga garam menyengat.

Ini...

"Dokter Frans ngapain di sini?" aku menghampirinya. Walau bagaimana pun dia orang baik. Mata sayunya menatapku lemas. Aku semakin mengkhawatirkannya. "Saya bantu lepas, ya?"

Aku mulai mencari cara, kedua tangannya diikat menggunakan kawat berpaku. Aku menariknya, jari dan telapak tanganku tertusuk cukup dalam. Perih, tapi aku tidak berhenti mencoba.

Darah mengalir dari kedua tanganku. Aldo pasti akan marah kalau tahu tanganku terluka. Ahh, saat ini bukan waktunya mengingat Aldo. Dokter Frans benar-benar dalam kondisi yang sangat mengkhawatirkan.

"Per-gih, Key..." Dokter Frans berbisik lirih. Memintaku meninggalkannya di tempat ini. "Di sinih baha-yah. Panghil polis-sih."

Aku tidak mendengarkan, merasa usahaku melepaskan kawat yang melilit pergelangan tangannya tidak berhasil. Aku mulai berusaha membuka kayu besar yang memasung kedua kakinya.

Tidak bergerak sama sekali.

Kenapa aku lemah sekali, sih?

Mataku panas lagi.

Aku tidak suka orang baik dijahati seperti ini.

Dokter Frans sering memberiku cokelat. Dia juga tidak pernah menyuruhku putus dengan Aldo seperti Dokter Fina.

Kenapa dia ada di sini?

"Key..."

Panggilan itu... aku menoleh, segera berdiri dan berbalik menatap Aldo dengan penampilan kacaunya di ambang pintu. Kapak yang digunakan untuk bermain dengan Dokter Fina kini dia pikul di bahu kanannya.

Matanya menatapku tajam.

Aku balas menatapnya sengit.

"Jadi, kamu emang selingkuh sama Dokter itu?" Aldo mendesis. Dia tersenyum kosong dan kepalanya bergerak miring. "Kamu berani nyelingkuhin aku, heh?"

"AKU GAK TAKUT SAMA KAMU! KALO MAU BUNUH AKU YA BUNUH AJA! TAPI SEJAK AWAL AKU UDAH BILANG KAMU GAK BOLEH NYAKITIN ORANG BAIIIIIK! KAMU JAHAAAAT!!!"

"KEY!!!"

The end

Saya gak tau ini lebih soft atau justru lebih kejam dari prekuelnya. Hanya kalian yang bisa menilai.

Terima kasih karena sudah menyempatkan diri untuk membaca. terima kasih juga untuk sambutan yang cukup excited untuk part pertamanya.

Salam

Queen Nakey

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro