21

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


___

Rumor tentang Kaisar yang merupakan saudara protektif menyebar. Aku tak tahu pasti apa yang membuat orang-orang berpikir bahwa Kaisar adalah saudara yang protektif, tetapi aku hanya menduga jawabannya adalah hubungan pacaran kami yang pura-pura sebelumnya.

Saat aku lewat di koridor, aku mendengar beberapa cowok berbincang dan salah satu dari mereka berkata, "kalian kalau berani deketin Tiara, berarti harus lewatin Kaisar dulu."

Inti dari pembicaraan mereka adalah tak ada yang berani mendekatiku karena takut pada Kaisar. Haa! Aku sekarang tak peduli persoalan cowok lagi. Satu-satunya kebahagiaanku kini telah hancur karena status saudara di antara aku dan Kaisar telah diketahui banyak warga sekolah, membuatku entah kenapa jadi merasa berjarak dengan Kaisar lagi.

Aku tak sengaja melihat cewek yang pernah melabrakku. Dia mendekatiku sambil menyengir tak tahu malu, tetapi aku langsung membuang pandanganku darinya. Awas saja jika dia masih berani mendekatiku setelah aku terang-terangan menolak untuk didekati. Dia pasti terkejut mendengar kabar bahwa aku dan Kaisar saudara.

Aku tiba di kelas dan terkejut melihat Ivy yang sudah duduk di bangkunya. "Tumbeeen?"

"Habis, Dena bikin gue kaget!" serunya.

"Kaget kenapa?" Aku duduk di bangkuku.

"Dena mutusin Kak Juno!"

Gerakan tubuhku terhenti.

"Iya, lo nggak salah denger. Dena mutusin Kak Juno! Menurut lo karena apa coba? Walaupun dia belum ngasih tahu alasannya, tapi nggak tahu kenapa gue mikirnya itu karena Kaisar."

Ah.... Kepalaku terasa berdenyut.

"Halo, guys." Dena muncul, membuatku membelalak melihat penampilannya yang lebih rapi dari biasanya. Rambutnya dicatok hingga berbentuk gelombang, seragamnya rapi dan tak asal-asalan lagi, dia juga memakai make up tipis tak lupa dengan liptint merah maroon yang melumasi bibirnya, bulu matanya lentik walau tak memakai maskara, wangi dari parfum yang dia pakai mampu mengalihkan perhatian orang-orang yang dia lewati padanya.

"Dena... lo!" teriak Ivy. Dia pasti juga tak menyangka dengan apa yang dia lihat sekarang.

Dena, cewek itu jadi terlihat jauh lebih baik dibanding sebelumnya yang asal-asalan.

"Kenapa?" Dena bertopang dagu, menatapku dan Ivy bergantian. "Terpana sama kecantikan yang tersembunyi dari gue selama ini?"

"Kenapa lo berubah sedrastis ini...?" tanya Ivy. "HEI! Lo bilang semalam lo mutusin Kak Juno!"

"Iya, kami udah putus. Sebenarnya, udah lama gue nyadar kalau gue dan Kak Juno nggak cocok karena beda prinsip hidup. Kalau dipertahanin yang ada nggak baik buat kami berdua," balasnya, lalu menatap mataku. "Dan jujur gue pengiiin banget jadi ipar Tiara! Hehe."

Aku tak tahu mengapa hatiku tak rela saat Dena berkata seperti itu.

Penampilan Dena yang jauh lebih baik ini pasti akan membuat semua cowok terpana termasuk Kaisar.

"Pasti seru kalau lo jadi ipar gue!" serunya sambil merangkul lenganku dan menyandarkan kepalanya di pundakku. Aku hanya tersenyum menahan rasa sesak di dada.

Kenapa aku merasa sesak begini? Seharusnya bagus kan memiliki ipar yang merupakan teman.... Ah, entahlah. Aku merasa frustrasi.

"Heiii, nggak belajar dari cewek lain, ya? Secantik siapa tuh yang dulu nembak Kaisar, ditolak mentah-mentah. Apalagi lo yang malas mandi!" seru Ivy sambil menggetok kepala Dena.

Dena mengaduh pelan. "Kalian ini percaya banget sih gue malas mandi? Gue ngomong gitu dulu karena gue udah punya cowok. Kalau gue terlalu cantik, nanti banyak yang deketin gue. Males dikejar-kejar cowok nggak jelas tahu."

"Alasan!"

"Serius, Ivyyy!" seru Dena. "Kalau gue malas mandi nggak mungkin badan gue bersih, nggak ada daki setitik."

"Bilang aja lo mau terlihat baik di depan Tiara."

"Terserah lo mau mikir apa, Vy." Dena memelukku erat. "Nanti istirahat kita ke kantin yang biasa dipakai sama Kaisar!"

"Lo mau ngapain di sana?" tanyaku heran sekaligus waswas.

Perasaanku tidak enak.

"Apalagi?" Dena menjauh dan menatapku dengan mata berbinar-binar. "Deketin Kaisar, lah! Lo sebagai saudarinya bantuin gue buat deket sama Kaisar, ya? Ya?"

"Gue nggak bisa," balasku dengan tegas.

"Kenapa?"

"Lo tahu sendiri kan Kaisar orangnya gimana?"

"Kalau lo nggak mau, ya udah gue sendiri aja. Ada yang namanya usaha. Berjuang tanpa kenal menyerah."

"Idih, ngebet banget sih buat jadi ipar Tiara?" tanya Ivy di belakang. Dia yang lebih sering mengajak Dena bicara.

Sementara aku merasa tidak punya semangat untuk bicara walau hanya satu huruf saja.

***

Aku tidak menyangka harus memasuki kantin ini setelah paksaan dari Dena. Meskipun aku sudah bersikeras untuk tidak ikut, tetapi Dena menarikku sekuat tenaga. Tubuh Dena lebih kuat dariku bahkan dia lebih tinggi juga dariku, makanya aku tak bisa melawan dan berakhir pasrah seperti sekarang. Sementara Ivy berhasil lolos karena Dena hanya mampu menahan satu orang, makanya hanya aku yang datang bersamanya.

Wajar bila Dena menjadi perhatian karena dasarnya memang tak pernah memasuki kantin ini, tetapi bukan hanya karena itu yang membuatnya jadi perhatian. Tak hanya para cowok, cewek-cewek pun terpana dengan penampilan Dena sekarang. Dengan perubahan mendadak itu, dia mampu menjadi primadona sekolah.

Aku jadi menduga bahwa candaan Dena dulu—tentang dia yang merupakan primadona di SMP-nya dan sifat aslinya yang tak banyak tingkah, tetapi sengaja mengubah diri karena malas berurusan dengan cowok yang akan mengejar-ngejarnya—adalah kebenaran. Cara Dena berjalan sekarang terlihat normal. Dibanding sejak pertama kali aku mengenalnya, dia seolah berusaha untuk bersikap barbar dan tak tahu malu. Aku pikir sudah dari lahir seperti itu, tetapi sekarang aku kembali pada pemikiran awalku saat mengenalnya pertama kali.

"Itu Kaisar!" seru Dena, membuatku akhirnya melirik lokasi meja yang biasanya Kaisar tempati di kantin ini.

Ck! Di situasi sekarang kenapa Kaisar harus bersama temen basketnya, sih? Aku dan Kak Davi saling pandang. Dia tersenyum ke arahku. Harusnya dia melihat Dena saja! Pasti cowok itu sedang merencanakan sesuatu. Padahal aku malas berpapasan dengannya. Salahku juga yang berurusan dengan orang yang salah.

Aku merasakan seseorang yang memandangku dengan tajam. Kulirik arah yang terasa menusuk itu. Tentu saja Kaisar. Dia menatapku penuh peringatan. Aku memasang tampang sedih sambil menunjuk Dena yang berjalan di depanku tanpa mau melepas genggamannya.

"Haiii, boleh gabung nggak?" Dena tersenyum manis pada cowok-cowok tim basket itu dan membuat cowok-cowok tersebut jadi heboh.

"Oh, ternyata mau ke sini?"

"Silakan duduk!"

"Sini, sini. Di samping Kakak."

"Nama lo siapa?"

Dena disambut cowok-cowok tim basket itu. Kursi yang penuh membuat salah satu dari mereka mengambil kursi dan menaruhnya tepat di samping Kaisar karena memang ada ruang yang cukup di sana. Mereka juga mengambilkan kursi untukku, tetapi aku langsung kabur setelah berhasil lepas dari Dena dan memilih untuk duduk di meja yang baru saja kosong tak jauh dari mereka.

Dari sini aku bisa melihat Kaisar dengan jelas. Aku sejujurnya ingin pergi, tapi aku tetap di sini karena ingin lihat reaksi Kaisar terhadap Dena. Apakah dia juga akan menunjukkan ketertarikannya pada Dena atau tidak.

Kaisar tak beraksi sama sekali terhadap Dena yang mengajaknya mengobrol sejak tadi. Pandangan Kaisar justru tertuju padaku dan aku tak kuat untuk membalas tatapannya itu. Namun, aku memberanikan diri dan melihat Dena mendekatkan tubuhnya pada Kaisar.

"Kaisar! Tahu nggak Tiara tadi nggak mau ke sini, tapi gue paksa jadinya ikut, deh." Dena menatapku. "Ngapain lo di situ? Sini. Duduk di sini."

Aku memalingkan wajah, mengambil gorengan, dan memakannya. Suasana hatiku buruk sekarang. Malas bicara apalagi diajak bicara.

"Hai." Seseorang baru saja duduk di dekatku. Aku menoleh dan terkejut melihat kedatangan Kak Davi.

Aku bersikap biasa saja, tetapi terasa ada yang menusukku dari suatu tempat. Kupandangi arah itu dan melihat Kaisar. Apa? Kenapa dia mengernyitkan dahi dan ekspresinya seperti orang marah begitu? Apa karena kedatangan Kak Davi? Harusnya tak perlu marah lagi kan karena status saudara di antara kami sudah terlanjur diketahui semua orang, termasuk Kak Davi. Kenapa sikapnya masih saja sama? Bodo, ah. Aku malas untuk pusing.

"Gue pusing banget," kata Kak Davi, membuatku menoleh padanya, "sama hubungan kalian yang banyak plot twist."

"Memangnya lo siapa sampai capek-capek musingin hubungan orang lain?" gumamku, menyomot satu gorengan lagi. Eh, ini harus bayar dulu apa nanti?

Kak Davi berpindah tempat. Kini dia duduk di sampingku sampai lengannya bersentuhan dengan lenganku. Aku terkejut padanya dan refleks mendongak ke samping. Dia hanya memasang senyum bodoh.

"Apa?" gumamku, heran. Cowok itu bertopang dagu sambil memiringkan kepala.

"Haha." Dia malah tertawa tak jelas. Kulirik Kaisar yang sedang diganggu oleh Dena. Dena sampai memaksa Kaisar untuk tetap di sisinya. "Dulu gue pikir Kaisar marah kalau gue deketin lo karena nggak mau ceweknya diganggu, tapi ternyata dia itu tipe saudara over protective. Nggak sister complex kan dia?"

"Hah? Apaan tuh sister complex?"

"Hm, gimana ya jabarinnya?" Kak Davi mengernyit. "Kalau gue nggak salah, sister complex itu sikap protektif berlebihan dari kakak atau adik ke saudara kandungnya. Kalau udah parah banget bisa berptensi punya fantasi seksual ke saudaranya itu."

"Fantasi..."

"Iya, fantasi seksual." Kak Davi berkata tanpa beban. "Bisa sampai *****."

"Uhhuk!" Aku tersedak dan untung saja cepat pulih. Bajingan ini ... kenapa bicara begitu! Dasar tak tahu malu. "Gila! Nggak punya otak."

Kak Davi malah terbahak-bahak. Benar-benar cowok gila. Otaknya pasti sudah rusak karena pornografi. Aku tak menyangka Ketua Tim Basker sekolah bicara seperti itu kepada orang—aku—yang tak akrab dengannya.

Aku berdiri dari kursi dan mendekati Bu Kantin. Kulewati Dena yang masih terus mengajak Kaisar bicara, tetapi tak dipedulikan cowok itu. Aku membayar makanan dan membeli air mineral, lalu buru-buru pergi dari sana untuk menghampiri Ivy.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro