22

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Aku tidak pernah punya kehidupan sekolah yang tidak menyenangkan sampai akhirnya hari ini datang.

"Please, bantuin gue yaaa. Suruh Kaisar pulang bareng gue." Dena menghadangku ketika aku ingin keluar kelas, memegang lenganku dan menggerakkannya dengan brutal, lalu sekarang meminta sesuatu yang mustahil? Dia memandangku sambil memasang tampang puppy eyes. "Lo pesen driver online aja kayak biasanya gimana? Kan lo udah biasa pulang sendiri. Bantu calon adik ipar lo ini, dong. Ya? Ya?"

"Nggak!" balasku dengan tegas. Bahkan jika posisiku benar-benar adalah saudari Kaisar, aku pasti akan lebih kesal lagi sekalipun Dena adalah temanku. Kesal karena sikapnya yang menjengkelkan. Mungkin ini yang Kaisar rasakan saat aku memaksa untuk ikut di atas motornya pertama kali. Waktu itu kan tujuanku memang ingin membuat kaisar kesal padaku, tetapi Dena tidak mungkin sengaja untuk membuatku kesal kan? Tak ada untungnya baginya.

"Atau lo minta ke Kaisar aja langsung," kataku, sudah malas meladeni.

"Dia nggak mungkin mau!" seru Dena.

Aku berteriak. "Itu lo tahu!"

Ivy berdiri di tengah-tengah dan berhasil memisahkan kami. "Haiii, kalian berdua kenapa, sih? Siang-siang gini berantem. Kepala makin kebakar, tahu!"

"Tiara?" panggil Dena, membuatku memandangnya dengan malas. "Kita kan udah bukan rival lagi. Sekali-kali ngalah, kek?"

ARGH! Aku lelah!

"Oke, gue minta Kaisar buat nganterin lo," kataku, membuat Dena menyatukan tangannya dan memandangku penuh harap. Kenapa sih dia menjadi seperti ini? "Tapi kalau Kaisar nggak mau, ya udah. Gue nggak bisa maksa. Gue juga sayang nyawa kali."

"Oke!"

Dena lalu menarikku dan berlari membawaku ke parkiran. Aku menyuruhnya untuk berhenti di jarak yang lumayan jauh. Kaisar sudah ada di parkiran dan langsung bisa melihatku. Aku mendekatinya sambil berlari dan berhenti di depan Kaisar sambil menghela napas panjang.

Kaisar memberikan helmku. "Ayo cepat."

"Kita nggak bareng," kataku. Kaisar jadi mengurungkan diri untuk menaiki motor dan menatapku. "Lo mau nggak pulang nganterin Dena? Temen gue yang di sana—" Ucapanku terhenti karena Kaisar menarik pergelangan tanganku.

"Naik!" serunya, lalu dia mengambil helmku di tangan dan memakaikannya di kepalaku. "Cuma lo yang boleh naik motor gue."

Kata-katanya membuat perasaanku jadi aneh. Kutatap Dena sambil menggeleng kencang.

"Cepetan naik!" serunya. Tak berteriak, tetapi terasa menusuk.

"Iyaaa!" balasku sambil naik ke atas motornya. Kutatap Dena sekali lagi dan hanya bisa menggeleng. Aku menyadari Dena memandangku tak seperti biasanya. Apakah itu tatapan kecewa? Wajahnya terlalu serius. Kulambaikan tangan pada Dena yang masih bergeming. "DAAAH! LAIN KALI!"

Dena akhirnya menaikkan tangannya dan melambai dengan semangat. Aku meluruskan pandanganku setelah sebelumnya wajahku tak lepas memandang Dena. Kupegang jaket Kaisar seperti biasanya, lalu lagi-lagi aku menghela napas panjang.

Aku malas bicara sehingga perjalanan kali ini terasa lama. Ketika kami tiba dan Kaisar menghentikan motornya di halaman rumah, aku langsung turun dan berniat untuk lari tanpa mengatakan apa-apa pada Kaisar. Namun, Kaisar menahan tanganku dengan cepat. Membuat kami sama-sama berhenti di teras rumah, saling memandang dalam keheningan.

Sampai akhirnya Kaisar rmengatakan sesuatu yang membuatku entah kenapa jadi emosi.

"Gue kan udah bilang jangan deket-deket sama temen-temen gue."

"Gue kan di sana karena kepaksa."

"Setidaknya lo bisa menghindar dari awal, kan? Kalau lo terpaksa karena temen lo itu, kenapa lo nggak langsung pergi aja? Kenapa malah duduk? Davi jadi nyamperin lo, kan."

Baru kali ini aku melihat bicara beberapa kalimat. Aku memegang kepalaku, pusing. Lalu, dia bagaimana? Kalau merasa risi dengan keberadaan Dena harusnya dia langsung menghindar sejak awal, kan? Kenapa membiarkan Dena memeluk lengannya sementara cowok ini berusaha untuk lepas? Kenapa tidak langsung berdiri dan pergi? Kenapa malah menyeramahi orang lain, tetapi dia sendiri tidak bisa menyelesaikan masalahnya?

Rasanya aku ingin meluapkan pertanyaan yang baru saja muncul di benakku, tapi jika itu terjadi maka akan terdengar seperti aku adalah pacar sungguhannya saja.

"Terus kalau gue deket sama Kak Davi memangnya kenapa, sih? Itu kan urusan gue!" teriakku dan sedetik setelah itu aku terkejut. Kenapa aku jadi semarah ini? "Tahu, ah!" Aku menarik tanganku dan segera berlari ke kamar.

"Tiara!"

Kudengar Kaisar berteriak. Aku menutup kedua telingaku sambil menutup pintu. Kuhempaskan tubuhku di tempat tidur sambil memandang langit-langit kamar. Aku kesal. Sungguh. Aku kenapa, sih? Apa karena perkataan Kaisar yang terasa menjengkelkan? Atau karena sikap Dena yang berubah jadi menyebalkan?

Aku sedang berbaring malas, lalu pintuku terbuka tiba-tiba. Membuatku refleks bangun dan terkejut mengetahui bahwa Kaisar lah yang baru saja masuk.

"Hei! Kalau masuk kamar orang ketok—" Ucapanku berhenti karena cowok itu mengunci pintu. "Kenapa lo malah ngunci pintunya?" Kuhampiri pintu itu untuk membukanya, tetapi Kaisar menghalangi jalanku. "Mending lo pergi sebelum Mama datang dan salah paham."

"Gue mau ngomong sesuatu."

Aku memukul lengan Kaisar. "Keluar!" seruku sambil berusaha menggeser Kaisar dari pintu. "Ngomongnya di luar aja."

"Tiara."

"Di luaaar!"

Dia menghela napas panjang seolah-olah sedang frustrasi. Aku yang lebih frustrasi. Apa dia tidak berpikir bahwa apa yang dia lakukan di kamarku dengan sengaja mengunci pintu akan membuat siapa pun di luar sana yang tak sengaja melihat akan salah paham?

"Gue bilang di luar aja, Kaisar!" Bukannya menurut, cowok ini malah makin keras kepala. Dia menarik tanganku dan mendorongku ke kasur. Tubuhku terempas di atas tempat tidur empuk itu, membuatku terkejut. Aku akan mati di tempat jika punya penyakit jantung. Aku bahkan belum sempat bangun, tetap Kaisar sudah berdiri di atasku sambil menahan kedua tanganku agar tidak ke mana-mana.

Dia ini ... gila, ya?

"Nga... pain lo? Minggir!" seruku.

"Jawab dulu."

"Minggir dulu!"

"Lo suka sama Davi?"

"Haaa?"

"Jawab."

Kenapa dia bisa berpikir begitu. "Kalau gue suka Kak Davi kenapa?"

"Itu bukan jawaban."

"Gimana gue bisa jawab kalau lo ada di atas gue?"

"Tinggal jawab. Ini lo bisa ngomong dari tadi," katanya tanpa ekspresi.

Wajah kami memang tidak terlalu dekat, tetapi jantungku belum kembali normal.

"Memangnya kena ... pa." Tunggu. Pikiranku seolah korsleting sekarang. Kenapa di situasi ini aku teringat kata-kata Kak Davi yang menjijikkan?

"Minggir!" seruku, tertahan.

TOK TOK. Suara ketukan dua kali di pintu membuatku berusaha menata pintup yang terkunci dari dalam. Aku meneguk ludah.

"Tiaraaa?" Barusan suara Mama....

"Gimana ini?" Kutatap Kaisar frustrasi. "Lo, sih!"

Mama berkali-kali menurunkan kenop pintu. Mama tak mungkin tak tahu bahwa aku ada di dalam kamar.

"Lo kenapa nyebelin, sih? Kaisar minggir! Ck!"

"Nggak mau."

Dia ini meledekku, ya? "Gue bakalan teriak kalau lo mau ngapa-ngapain gue."

"Teriak aja. Justru bagus."

"Hah?"

"Gue nggak akan minggir kalau lo nggak jawab," katanya.

"Astaga!" Aku tidak tahu kenapa dia sepeduli itu tentang hubunganku dengan Kak Davi. "Gue nggak suka Kak Davi. Ngapain gue suka orang kayak dia?"

Kaisar tak mengatakan apa-apa lagi. Sedetik. Dua detik. Tiga detik. Dalam keheningan itu dia hanya menatap mataku lekat-lekat. Aku segera melirik ke samping. Tak sanggup ditatap seperti itu. Sesaat kemudian, akhirnya Kaisar menyingkir.

"Kamu ada di dalam, Tiara?" panggil Mama lagi, membuatku segera bangun.

"Iya, Ma! Bentar!" Aku melihat sekeliling dengan panik. "Lo harus sembunyi di suatu tempat dan gue bakalan bawa Mama pergi. Setelah itu lo harus cepat-cepat pergi dari sini." Aku membuka lemari lebar-lebar. Yes! Lemari bagian samping kiri bisa menjadi tempat Kaisar bersembunyi. Aku menoleh pada Kaisar. "Lo sembunyi di si ... ni."

TAK.

Kaisar baru saja membuka pintu dengan santainya. Dasar gila.

Kan!

Mama jadi shock berat melihat Kaisar yang membuka pintu dan Mama melihatku dari luar sampai memegang kening. Pasti pusing memikirkan apa yang dilihat oleh mata kepala Mama sendiri. "Kalian ngapain di kamar ... ngunci pintu?"

"Nggak ngapa-ngapain, kok, Ma." Kaisar bicara dengan santai, lalu meninggalkan kamar ini tanpa menjelaskan apa pun lagi.

Dia menyuruhku menyelesaikan masalah yang dia buat?

Kutarik Mama untuk masuk ke kamarku. "Tadi Kaisar cuma minta penjelasan karena kami ada masalah di sekolah. Cuma itu, kok! Kaisar sengaja kunci pintu karena dia nggak mau pergi sebelum aku jawab."

"Iyaaa. Mama percaya, kok."

Aku lega Mama bisa mengerti. "Mama mau ngomong sesuatu?" tanyaku saat Mama duduk di tepi tempat tidur. Aku naik ke atas tempat tidur dan duduk bersila di samping Mama.

"Ah, iya. Tadi Mama ngobrol sama Papa. Katanya, siap-siap nanti malam kita pergi dinner."

"Eh? Serius, Ma?" Aku bertepuk tangan. Sudah lama kami tidak makan malam bersama di luar sana.

"Dan bakalan ada keluarga lain yang datang."

Senyum lebarku menghilang. Aku mengernyit heran. "Keluarga ... lain?"

"Papa bilang rahasia." Mama memencet hidungku. "Kejutan buat kamu dan Kaisar."

Kejutan.... Aku dan Kaisar?

Mungkin perasaanku saja bahwa apa yang akan terjadi setelah ini akan terasa semakin berat.

***

Kami berempat akhirnya berangkat. Papa tidak menggunakan sopir dan memutuskan untuk mengemudi.

Kaisar juga ikut. Dia sempat melarangku pergi—entah apa mengapa dia bersikeras melarangku—, tetapi aku tidak bisa menolak keinginan Papa untuk berkumpul meskipun pada dasarnya aku juga tidak ingin pergi ke sana.

Sampai kami tiba di parkiran sebuah restoran mewah, Papa masih saja merahasiakan akan bertemu siapa. Suasana hatiku buruk. Aku malas bicara. Tak ada rasa antusias saat aku turun dari mobil ini. Aku baru saja ingin menyusul Mama yang berjalan bersama Papa lebih dulu, tetapi jemariku digenggam oleh Kaisar. Kutolehkan kepalaku untuk menatapnya.

"Ayo kabur," bisiknya dengan tampang serius.

"Dasar," gumamku. Aku lanjut bertanya padanya. "Lo mau bikin Papa kecewa?"

Dia hanya berdecak. Tangannya masih memegang kelingkingku.

"Lepasin tangan gue."

"Nggak mau."

Dia ini ... ck! Aku memukul lengan Kaisar, tetapi dia tak menggubris pukulanku sedikit pun.

Aku dan Kaisar hanya mengikuti Papa dan Mama dari belakang. Mereka sibuk mengurus semuanya. Sampai akhirnya kami diarahkan ke sebuah meja besar yang cocok untuk sebuah keluarga besar.

Di sana, ada laki-laki dan perempuan berumur 40 tahunan dan seorang cewek yang seusiaku. Aku tertegun menyadari bahwa cewek cantik dengan dress biru laut itu adalah temanku.

Denallie.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro