23

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Kaisar duduk tepat di sampingku. Papa sudah menyuruhnya untuk pindah, tetapi cowok ini terlalu keras kepala sampai akhirnya Papa menyerah.

Ini merupakan pertemuan pertamaku dengan kedua orang tua Dena. Kami berkenalan dengan cukup formal. Selain aku, Kaisar juga berkenalan dengan mereka meski aku menyadari cowok itu tak begitu niat. Selain kami, Mama juga berkenalan dengan Dena karena ini juga pertemuan pertama mereka.

Aku tak menyangka Papa dan papa Dena cukup dekat. Aku juga bingung mengapa harus ada acara makan malam bersama seperti ini. Perasaanku mengarah pada suatu hal yang tak ingin aku pikirkan lebih dalam. Meski aku tak mau memikirkannya, perasaanku semakin memburuk. Anehnya lagi, aku benci melihat Dena bersikap sok dekat dengan Papa.

Tak seharusnya aku bersikap kekanakan seperti ini.

"Kalau Tiara dan Dena temenan, kenapa nggak pernah main ke rumah, sih?" tanya mama Dena sambil menatapku.

Aku tersenyum membalasnya. "Aku, Dena, sama satu lagi temen kami namanya Ivy, seringnya main di luar. Dena kan anaknya ekstrover banget, tuh."

"Bukan cuma karena itu, Ma. Dari dulu nih aku pengin main ke rumah Tiara, tapi Tiara selalu alesan bilang nggak boleh. Katanya tinggalnya bareng Papa dan saudara tirinya," celutuk Dena. "Aku pikir saudara tiri cewek yang jahat kayak di drama, ternyata Tiara alasan aja, tuh. Aslinya mau nyembunyiin fakta kalau dia saudara kembarnya Kaisar. Kaisar kan terkenal banget di sekolah."

Perkataan Dena barusan membuatku jadi mematung. Aku tak bisa melihat ekspresi Papa dan Kaisar sekarang. Sepertinya, Papa tak berniat meluruskan kesalahpahaman tentang aku dan Kaisar yang kenyataannya bukanlah saudara kembar melainkan saudara tiri. Kuperhatikan Papa perlahan-lahan, beliau sedang tersenyum kecil dan saking kecilnya jadi tak terlihat di mata orang baru.

"Kaisar terkenal di ekskul basket, ya?" tanya Papa.

Dena mengangguk antusias. "Benar, Om. Kaisar idaman cewek-cewek di sekolah. Waktu aku belum tahu kebenaran hubungan Tiara dan Kaisar, Tiara juga suka—!"

"WAH!" teriakku spontan, membuatku akhirnya menjadi perhatian semua orang. Hampir saja! Aku tersenyum canggung pada yang lain, lalu tatapanku berhenti di Papa. "Kaisar memang seterkenal itu, Pa. Aku aja nge-fans banget di sekolah sampai selalu jadi tim hore bareng Dena."

Huft! Aku tidak boleh membiarkan Dena terus berbicara tentang aku yang dulunya selalu berkata bahwa aku menyukai Kaisar. Meskipun mungkin saja Dena berpikir bahwa semua yang aku katakan dulunya adalah bercandaan, tetapi dia tidak boleh mengatakan hal itu di depan Mama, Papa, apalagi Kaisar yang menjadi tema dalam pembicaraan kali ini.

Aku akhirnya bisa bersikap santai dan menikmati makan malam yang enak karena pembahasan tak lagi merujuk pada kami bertiga. Papa sibuk dengan papa Dena. Mama sibuk dengan mama Dena. Aku tentu saja dengan Dena. Kami membicarakan Ivy. Anak itu pasti akan histeris jika tahu pertemuan kami malam ini.

Hanya Kaisar satu-satunya di sini yang tak punya pasangan bicara. Dena sudah berusaha menarik perhatian cowok itu, tetapi Kaisar tak menggubris sama sekali. Sementara aku tak tahu mau mengatakan apa selain menuruti sikap menyebalkan Kaisar yang sering kali menyuruhku mengambilkannya makanan.

Sikap Kaisar itu akhirnya menjadi perhatian papa Dena. "Kalian akur juga, ya, jadi saudara."

Aku tersenyum canggung. Kutarik perlahan sumpitku dari piring Kaisar. "Aslinya enggak, Om. Om nggak tahu aja Kaisar orangnya itu nyebelin aslinya."

"Tiara apa sudah punya pacar? Sudah tahu, kan, kalau Dena punya kakak yang lagi kuliah di luar negeri?" tanya papa Dena.

Oh..., aku sampai lupa tentang itu. Dena memang pernah mengatakan bahwa dia bahagia 103% ketika kakak laki-lakinya minggat dari rumah karena kuliah.

"Pak Reza, kalau Bapak mau jodohin Tiara dengan anak pertama Bapak lebih baik jangan dulu. Tiara masih terlalu kecil di mata saya," kata Papa.

"Haha, padahal saya nggak bilang mau seperti itu, tapi kalau Pak Alfa berpikir begitu mungkin suatu saat mereka bisa berkenalan kalau Tiara sudah bukan anak kecil lagi di mata Pak Alfa?"

TING!

Aku terkejut mendengar suara piring yang beradu dengan sendok. Hanya sekali, tetapi itu terlalu keras sampai semua yang mengelilingi meja makan ini jadi memperhatikan Kaisar, si pembuat ulah. Wajah bosannya terlalu kentara sampai membuat Papa melirik nya dengan tajam. Dia pasti ingin cepat-cepat pulang.

Kuturunkan tangan kananku untuk mencari jari tangan kiri Kaisar. Ketemu! Aku menarik jari Kaisar berlawanan dengan sendi, sebagai sebuah peringatan dan agar dia bisa tenang sedikit lagi.

"Ah, bagaimana dengan Kaisar dan Dena?"

Pertanyaan dari mama Dena membuatku jadi membisu.

"Dena diam-diam cerita kalau dia jatuh cinta dari dulu dengan salah satu anggota tim basket sekolahnya," lanjut mama Dena, membuat Dena memukul lengan mamanya dengan malu. "Belakangan ini saya baru tahu kalau yang Dena maksud itu Kaisar."

Dena bisa malu-malu juga, ya....

Ck. Pikiranku jadi tak terarah. Rasanya tenggorokanku terlalu kering. Kutarik tanganku dari bawah meja untuk mengambil minum, tetapi aku tak bisa melakukan itu karena Kaisar mengisi sela-sela jariku dengan jarinya.

"Hei, gue mau minum," bisikku sambil menoleh padanya. Dia akhirnya melepaskan genggamannya. Aku segera menaikkan tanganku untuk mengambil gelas. Perhatianku tak sengaja tertuju pada Papa yang menatap lurus ke arah tanganku yang baru saja naik. Aku merasa semakin tidak baik-baik saja.

Mungkin saja Papa menyadari apa yang tangan Kaisar lakukan dengan tanganku di bawah meja.

Aku menyadari apa yang aku rasakan setelah merasa terguncang karena perkataan mama Dena. Perasaanku ternyata memanglah perasaan suka seorang perempuan kepada laki-laki. Perasaanku sejak dulu pada Kaisar belum pernah berubah. Tak ada perasaan terhadap saudara. Namun, aku tidak bisa terus-terusan terperangkap dalam perasaan seperti ini. Akhirnya akan jelas seperti apa.

Jika aku tidak menghentikannya sedini mungkin, maka di masa yang akan datang nanti aku akan merasakan sakit yang berkali-kali lipat dari apa yang aku rasakan sekarang.

Rasa panas di tubuhku datang tiba-tiba di waktu yang tidak tepat. Aku kesulitan menarik napas karena rasa panik dan tak bisa mendengar sekelilingku dengan jelas.

"Ma, Pa, aku ke toilet dulu," kataku saat berdiri. Kulangkahkan kakiku sesegera mungkin sampai aku tak tahu lagi apa yang Mama dan Papa katakan ketika aku pergi sendirian.

Rasa panas ini menjadi lebih parah dibanding sebelumnya. Panas di bagian kiriku seolah menyebar ke seluruh tubuh. Aku bersembunyi di dalam bilik toilet, duduk di sana dan menunduk menahan panas sekaligus sakit yang menyiksa.

Tak apa. Pasti akan hilang sendiri seperti sebelumnya. Aku cukup berdiam diri beberapa menit di sini, lalu kembali setelah merasa lebih baik.

Aku memejamkan mata. "Cepat ilang, please...," gumamku, tak sadar kakiku terus bergerak.

Telingaku berdenging. Suara aneh rasanya akan merusakkan pendengaranku. Aku tidak berani membuka mata. Kututup telingaku dengan tangan. Rasa panas itu perlahan-lahan mereda. Aku tak menyangka akan secepat ini. Aku mengembuskan napas panjang dan mencoba berdiri setelah membuka kelopak mata. Pusing. Sekitarku terasa berputar-putar. Kubuka bilik toilet dan menemukan Dena yang menatapku dengan khawatir.

"Tiara!" teriaknya. "Lo kok lama banget sih semua pada khawatir sama lo tahu!"

"Lama?" Aku memegang pelipisku. "Palingan baru lima menit gue pergi, kan?"

"What? Lima menit apanya? Lo ngapain, sih, sampai nggak ingat waktu? Sudah hampir setengah jam lo nggak keluar juga dari sana! Gue pikir lo salah masuk toilet. Ternyata lo beneran ada di bilik yang dari tadi nggak kebuka."

Apa...?

"TIARA!"

Aku tidak mendengar apa pun setelah itu karena kesadaranku hilang.

***


thanks for reading!

love,

sirhayani

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro