BAB 01 Ⅱ Jaka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

JAKA
Aku tidak tahu kalau ternyata satu tahun adalah waktu yang begitu cepat. SMA Saka baru saja selesai melaksanakan kegiatan MOPDB beberapa hari lalu, yang mana artinya, sekarang aku sudah duduk di kursi kelas dua belas, dan aku akan segera lepas dari jabatanku sebagai Ketua OSIS. Rasanya baru kemarin aku berdiri di atas podium dan mendapat tepuk tangan riuh.

Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan setelah LDKS dan pelantikan pengurus OSIS yang baru nanti. Aku belum mau melepas takhta, namun apa daya, periodeku sudah habis sampai di sini.

“Dhimas bagus ya orasinya,” ujar Affan sambil menumpahkan potongan-potongan kertas dari dalam kardus yang dibawanya. Tebak saja bahwa pagi tadi, setelah upacara selesai, baru saja diadakan orasi untuk pemilihan Ketua OSIS periode 2017/2018.

“Gue boleh kasih suara, enggak?” dari arah lain Artha datang dengan kertas kosong dan ballpoint-nya untuk menghitung hasil suara yang masuk.

Aku menggeleng, “OSIS angkatan kita mesti netral, Ar.”

“Ah, enggak asik,” gerutunya sambil ambil posisi di sebelahku. “Ya udah, cepetan dihitung coba.”

Di sini kami menghitung suara berempat. Ada Affan yang akan menghitung dengan Shafa, dan ada aku yang akan menghitung bersama Artha.

Mungkin ini adalah kali terakhir bagi Artha dan aku mendapatkan tugas bersama sebelum kami benar-benar sertijab—serah terima jabatan.

Bisa kukatakan, Artha dan aku sudah jarang berkomunikasi sejak kali terakhir aku meneleponnya di tengah malam dan akhirnya memutuskan untuk berhenti mengganggunya. Sebenarnya bukan maksudku ingin berhenti berkomunikasi dengannya. Hanya saja, aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan.

Berulang kali Artha bilang padaku bahwa aku hanya mengganggunya, maka yang terlintas di benakku hanya satu pernyataan. Bahwa kehadiranku memang hanya mengusiknya. Aku melangkah menjauh darinya bukan karena aku berhenti mencintai Artha, tapi ini adalah keinginannya.

Aku hanya menuruti apa yang membuatnya bahagia. Sesimpel itu.

“Jak, lo udah ngerjain tugasnya Pak Dede?” tanya Artha di tengah-tengah kegiatan kami. Aku mengangguk. “Nanti gue lihat, ya. Jangan ke kelas dulu.”

Shafa terkekeh mendengar permintaan Artha kepadaku. “Lo jadi wakil enggak ada jaim-jaimnya pisan, Ar.” Artha hanya membalasnya dengan tawa pelan.

Kami baru selesai menghitung hasil suara pada pukul sembilan lebih lima belas. Lima belas menit sebelum bel istirahat berbunyi. Dan selama sisa lima belas menit itulah Artha menyalin PR bahasa Indonesiaku, sementara aku sarapan, lalu Affan dan Shafa masih sibuk menggabungkan beberapa hasil suara yang tadi kami hitung.

Jadi sebenarnya, Artha dan aku sudah jarang berkomunikasi kecuali karena hal-hal penting yang melibatkan OSIS. Mendapatkan tugas di OSIS adalah satu-satunya alasanku untuk bicara pada Artha, dan itu juga salah satu favoritku sekarang.

“Dhimas sama Ranita cuma beda lima suara, ih!” ujar Shafa, membuat Artha dan aku serempak menoleh. “Penerusnya Jaka Artha nih.”

Artha melengos ke arahku, kemudian diam membisu. Aku hanya tersenyum tipis sambil menaikkan kacamataku. Lalu gadis itu langsung menatap ke buku catatannya lagi.

Kurasa aku menyesal karena pernah meneleponnya setiap hari di pertengahan malam. Seandainya dulu aku tidak meneleponnya terus-menerus, mungkin sekarang kami akan bersikap baik-baik saja seperti biasanya. Tidak saling diam seperti ini.

Tidak saling mengabaikan.

Padahal aku tahu kami memiliki rasa yang sama. Maaf, bukan berarti aku terlalu percaya diri akan hal ini, tapi itulah fakta yang aku selalu tahu. Aku tidak mau menganggap Artha munafik karena sulit mengakui perasannya. Aku paham gengsinya begitu tinggi.

“Selesai!” ujar Artha sambil menutup buku catatan miliknya dan milikku. Sekilas aku menoleh ke arahnya, dan itu membuat Artha turut menoleh kepadaku. “Ayo ke kelas, Jak,” katanya sambil beranjak bersama tas yang sudah tersampir di sebelah bahunya.

Aku pamit kepada Affan dan Shafa. Kuikuti Artha melangkah menuju ke kelas di lantai dasar—yang lokasinya tidak begitu jauh dari ruang OSIS.

Ia tidak bicara sama sekali. Seperti Artha yang biasanya. Meskipun aku yakin betul, bahwa Artha sebenarnya ingin bicara. Aku merindukan masa-masa di mana kami tertawa bersama. Masa-masa berharga.

+ + +

Kami, enam mantan kandidat Ketua OSIS tahun 2016/2017 berkumpul di ruang OSIS sepulang sekolah untuk membicarakan kegiatan LDKS yang akan diadakan hari Sabtu besok. Untuk kali terakhir aku menjadi Ketua Koordinator dalam sebuah acara. Kuharap Dhimas bisa menggantikan posisiku dengan lebih baik mulai Senin depan. Kuharap.

“Jadi, sebelum sertijab dan pengumuman, kita sepakat ya buat enggak kasih tau siapa yang dapat suara terbanyak,” ucapku. Enam orang lainnya yang duduk membuat lingkaran serentak mengangguk. “Cuma kita berenam, Pak Hasan, sama Kepala Sekolah nih yang tau.”

“Dhimas sama Ranita, ya?” tanya Pandu sambil terus mengerjakan PR matematikanya yang sejak awal tadi tidak berhenti menjadi perhatiannya. “Selisih berapa?” tanyanya lagi.

“Lima suara,” balas Shafa cepat.

Pandu mengangguk-angguk; sejenak mengalihkan fokusnya dari tugas matematikanya. “Rasanya kayak déjà vu. Iya enggak sih?”

Aku hanya berdengus pelan menanggapi semuanya. Kabar tentang Artha denganku—yang saling suka, yang suka berteleponan di tengah malam, dan yang sudah tidak terlalu akur—bukan lagi sebuah rahasia. Seluruh pengurus OSIS angkatanku sudah mengetahuinya.

Jadi, sebenarnya aku selalu berharap mereka tidak akan mengungkit-ungkit hal yang harus disangkutpautkan dengan Artha dan aku. Termasuk tentang Dhimas dan Ranita yang besok akan terpilih sebagai pasangan Ketua dan Wakil OSIS yang baru untuk setahun ke depan.

“Eh, udah jam lima sih. Udahan dulu yuk, Jak. Gue takut macet pulangnya.” Artha yang akhirnya angkat suara setelah beberapa saat hening. Aku hanya mengangguk, kemudian dalam hitungan detik, semuanya sudah bubar untuk merapikan barang masing-masing.

“Ar, gue pulang ke Cibubur hari ini. Mau ikut, enggak?” tanya Affan sambil mengenakan jaket kulitnya. Artha hanya tersenyum, entah apa maksudnya.

Kurasa aku belum pernah menceritakan tentang Affan sedikit pun. Orangtuanya berpisah beberapa bulan lalu. Ayahnya tinggal di Cibubur, sementara Ibunya kembali ke rumah orangtuanya di Salemba. Biasanya kalau Affan pulang ke rumah Ayahnya, ia selalu menawarkan Artha untuk pulang bersama.

Namun begitulah. Artha sangat jarang menerima tawarannya kecuali sedang sangat buru-buru. Artha selalu pulang bersamaku seperti biasanya, meskipun tetap saja tidak ada yang berubah. Kami tidak pernah bicara seperti apa yang pernah kami lakukan dulu.

Aku tidak bisa berkutik. Di telepon terakhirku di tengah malam itu, sudah kukatakan pada Artha bahwa aku akan berhenti mengganggunya.

Selama Artha belum memintaku untuk kembali, aku berani bersumpah bahwa aku tidak akan mengingkari ucapanku yang satu itu. Ingat ucapanku, aku tidak akan mengganggunya kecuali ada tugas di OSIS yang memang harus kukerjakan bersamanya. Atau, kecuali Artha yang memintaku untuk kembali.

Meskipun opsi kedua terdengarnya mustahil.

“Makasih, Fan. Ada Jaka, kok. Enggak apa-apa gue bareng Jaka.” Selalu itu yang Artha jadikan jawaban. Gadis itu hanya menutup-nutupi segala macam fakta bahwa kami tidak lagi dekat seperti dulu. Padahal semuanya sudah tahu. Namun Artha tetap bersikeras bersikap seakan-akan mereka semua tidak mengetahui apapun.

Kami—Artha dan aku—selalu jalan belakangan ketika baru bubar dari ruang OSIS. Aku tidak tahu pasti kenapa akhir-akhir ini Artha selalu membiasakan keluar terakhir dari ruang OSIS. Tapi yang lebih buruknya, aku tidak berani mempertanyakan alasannya kepada Artha.

Bodoh.

“Jak, lo pulang duluan aja. Gue mau ke Gramedia dulu,” katanya begitu kami masuk ke halte busway. Aku diam memandanginya. Lebih seperti meminta penjelasan, sebenarnya. “Mau beli novel. Yang di rumah udah gue baca semua, and I have nothing left.”

Aku mengedikkan bahu. “Gue temenin, ya,” tawarku. Namun dengan cepat Artha menggeleng. “Udah jam lima. Lo emangnya mau pulang malam-malam sendirian naik busway dan angkot? Bahaya, Ar.”

“Ya udah deh, gue ke Gramedianya besok-besok lagi aja sama Ayah.”

Dan, percakapan kami berakhir. Hanya sebatas itu. Artha sering memulai dan mengakhiri sendiri. Aku sebenarnya tidak mengerti rasa gengsinya setinggi apa. Mungkin beberapa hari setelah ini, aku akan berhenti tergila-gila pada gadis yang satu ini.

Seperti apa yang pernah Artha katakan. Tidak selamanya seseorang akan tergila-gila dengan orang yang sama. Jika kemarin aku tergila-gila padanya, belum tentu hari ini aku tergila-gila padanya juga.

Aku selalu memercayai ucapannya. Aku hanya sedang menunggu waktu di mana aku akan berhenti tergila-gila dengannya. Aku menunggu waktu di mana aku bisa berhenti bersikap layaknya orang bodoh yang tampak seperti diperbudak oleh cinta.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro