BAB 02 Ⅱ Artha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ARTHA
“Artha, kamu dari tadi melamun aja, kenapa sih?!” suaranya terdengar benar-benar kencang sampai lamunanku benar-benar buyar. Aku bahkan hampir terlonjak saking terkejutnya. Bu Alda—guru Agama yang selama tiga tahun tidak pernah ganti—mengetuk-ngetuk papan tulis dengan spidol hitamnya.

Aku geming dengan begitu panik. Kupandangi tulisan Arab yang entah sejak kapan sudah Bu Alda selesaikan di papan tulis. “I-iya Bu, maaf. Saya mikirin LDKS,” jawabku sekenanya.

Karena ketahuan melamun tentang LDKS di kelas adalah alasan yang jauh lebih baik daripada aku ketahuan melamun tentang sang Ketua OSIS. Bu Alda hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu melupakan masalahnya begitu saja. Penjelasannya dilanjutkan, dan masalah kecilku barusan terlupakan begitu saja. Thank God.

Mataku berbelok dari papan tulis ke arah Jaka yang menempati kursi paling depan. Laki-laki itu tidak sama sekali menoleh ke sini meskipun tadi Bu Alda mengomel. Ah, aku benar-benar merasa kehilangan. Ingat hari di mana Jaka meneleponku untuk yang terakhir kalinya?

Entah apa alasannya, itu masih jadi hari terburukku sampai detik ini. Aku menyukainya, sangat. Namun aku tidak tahu bagaimana cara menyatakan perasaan yang tidak terkesan murahan seperti apa yang dilakukannya. Mengatakan I love you setiap kali menelepon, itu adalah pernyataan manis yang menurutku murahan. Jaka terlalu mudah bicara begitu.

Membicarakan tentang laki-laki memang tidak akan ada habisnya. Aku—atau mungkin bukan hanya aku, tapi semua teman-temanku—memang sedang berada di masa-masanya. Masa-masa yang katanya paling indah. Di mana orang biasa merasakan cinta untuk yang pertama kalinya.

Aku tidak bisa menyimpulkan dan mendakwa perasaanku. Bahkan aku tidak tahu jika ditanya apakah aku menyukai Jaka atau tidak. Ketika Jaka tidak ada, aku selalu menginginkannya. Namun ketika Jaka ada, aku tetap saja tidak berhenti menyia-nyiakannya.

Sebodoh inikah?

Kurasa Billa tidak akan melakukan satu hal yang sama denganku seandainya gadis itu masih ada. Aku dan Billa bukan hasil copy paste yang hasilnya akan benar-benar sama dan identik. Billa dan Jaka sama-sama jatuh hati bukan karena adanya paksaan. Tidak seperti aku yang harus berbulan-bulan menolak kehadiran Jaka, baru menyadari betapa ia berharga.

Sesuatu akan selalu terasa berharga ketika sudah pergi. Begitu kata orang-orang, kan?

“Arthaaa! Kamu mau lepas jabatan Wakil OSIS aja udah kayak mau dipecat jadi Presiden, sih!” Bu Alda berujar lagi. “Fokus ke sini, fokus. Kamu tuh udah kelas dua belas, besok udah tinggal lulus. Jangan sampai nilai bikin kamu tutup muka. Harus ranking dua. Jaka ranking satunya.”

Kulihat Jaka membelalak ke arah Bu Alda. Apa-apaan itu? Memangnya sejak kapan ada peraturan kalau Ketua dan Wakil Ketua OSIS harus menempati ranking teratas di kelas? Ya Tuhan, bahkan namaku tidak pernah naik dari ranking enam di kelas sejak kelas sepuluh.

Aku hanya diam ketika Bu Alda menghentikan penjelasannya, dan malah beralih topik.

“Kamu ke mana-mana sama Jaka, apa-apa sama Jaka, tapi nilai enggak bisa mendekati Jaka. Dia dari kelas sepuluh itu bertahan ranking dua, tau? Tahun ini dia harus balap si Ridwan biar dia naik ranking satu. Kamu juga harus naik jadi ranking dua. Biar si Ridwan ranking tiga nanti, mau dia ngalah sama kalian,” ocehnya panjang lebar.

Itu sebuah pemaksaan. Lagi pula, aku yakin Jaka juga tidak setergila-gila itu dengan belajar. Kami dulu sering bertukar tugas. Terkadang aku menyuruhnya mengerjakan PR yang satu, sementara aku satunya lagi, sehingga besoknya kami hanya perlu menyalin.

Dan dengan cara seperti itu, sampai sekarang aku tetap heran kenapa Jaka bisa menduduki ranking dua sementara namaku tidak bergeser dari angka enam.

Lima menit Bu Alda membahas ranking, bel pergantian pelajaran berbunyi. Dan wanita itu tetap mengomel ketika sudah berjalan meninggalkan kelas. Beruntung saja aku masih sabar menghadapinya. Ini adalah tahun ketigaku diajar olehnya. Semoga Bu Alda menjadi orang yang sukses membuatku melatih kesabaran.

Aku mengeluarkan ponselku; mulai mendengarkan musik selagi menunggu Pak Agung—guru bahasa Inggris yang selalu telat atau bahkan tidak masuk—hadir di kelas. Anak-anak yang lainnya juga mulai sibuk dengan kegiatannya masing-masing. Entah itu asyik dengan ponsel, membaca novel, bergosip, atau makan.

Pandanganku kembali ke Jaka setelah beberapa saat menyorot ke layar ponsel. Untuk sekarang ini, aku tidak bisa membayangkan sama sekali betapa buruknya hari pelantikan nanti. Aku akan menyerahkan jabatanku kepada Ranita. Aku akan berhenti menjadi Wakil Ketua OSIS. Aku akan berhenti menjadi rekan kerja Jaka.

Beberapa bulan terakhir ini, mendapat tugas yang harus kukerjakan bersama Jaka adalah satu-satunya alasan kenapa aku bisa bicara dengannya. Selain itu, nol besar. Aku tidak selalu berani mengajaknya bicara lebih dulu, sementara Jaka juga hampir tidak pernah mengajakku bicara.

Aku tidak pernah tahu sebelumnya kalau Jaka memang serius dengan ucapannya bahwa ia akan berhenti melakukan segalanya.

Mungkin memang benar, bahwa ada masanya seseorang akan muak setelah usaha mereka selalu tidak dianggap ada. Mungkin Jaka sedang berada di posisi itu sekarang.

“Besok disuruh nginep di sekolah, Ar. Buat siap-siapin LDKS. Cuma enam inti. Itu pun yang dapat izin buat nginep, sih.” Satu lagi orang menyebalkan yang mengusik lamunanku. Bayanganku semuanya buyar, terganti dengan laki-laki berkacamata biru dongker yang sekarang sudah duduk di depan mejaku. Oke, kutarik ucapanku. Dia tidak menyebalkan.

Aku mengedikkan bahu.

“Gue yang izin ke Bunda deh kalau lo enggak berani izinnya,” katanya. Aku tidak tahu itu cara cari perhatian macam apa lagi. Jaka selalu saja mencari celah agar ia bisa bicara dengan Bunda. Dengan sok akrabnya laki-laki ini ikut memanggil dengan sebutan Bunda seperti yang kulakukan.

“Enggak usah. Bunda pasti ngebolehin gue, kok. Santai,” balasku. Jaka hanya mengangguk-angguk. “Udah kan, gitu aja.”

Laki-laki itu mengangguk lagi, lalu diam memandangku. Aku mengalihkan pandangan ke mana-mana, tapi ia tetap memandangku.

“Gue sa—”

“Enggak usah ngomong macem-macem.” Aku menginterupsi omongannya sambil menunjuk ke arahnya. Jaka langsung berhenti bicara di detik yang sama. “Go back to your seat, please.”

Jaka berdesah. Ia justru semakin mendekatkan kursinya ke mejaku sehingga jarak di antara kami juga semakin dekat. “Gue cuma mau bilang kalau gue sama Affan bakalan bawa motor. Lo mau bareng Affan dari Cibubur, atau gue jemput?” tanyanya dengan suara pelan.

Sial.

Bayangkan saja betapa aku malu ketika Jaka bicara begitu. Aku hanya menggigit bibir bawahku sambil mengalihkan pandangan tak tentu arah. Bodoh sekali.

But you’re right. Gue juga mau kok ngomong apa yang ada di pikiran lo itu,” katanya. Aku kembali memandangnya, kali ini tajam. Sok tahu. Bahkan laki-laki ini tidak tahu apa yang aku pikirkan. “Lo pikir gue mau bilang kalau gue sayang sama lo, kan?”

Aku langsung menamparnya saat itu. Jujur, aku hampir tidak sadar ketika melakukannya. Itu hanya spontanitas karena aku tidak mau ada satu pun anggota kelas yang mendengar ucapan Jaka. Tapi aku hilang kendali. Aku menamparnya terlalu kencang. Bahkan suaranya menyita perhatian hampir seisi kelas.

Jaka mengusap-usap pipi kirinya dengan lembut. “Salah ya gue jujur?”

Aku tidak mampu menjawabnya. Mau meminta maaf, tapi aku mendadak seperti lupa bagaimana kata maaf dieja. Mau menjawab ucapannya, tapi aku masih merasa sangat bersalah. Lihat kan kelakuannya? Pengakuannya murahan.

Jaka yang dulu kukenal tidak pernah bersikap seidiot ini. Namun setelah puluhan telepon di tengah malam itu, segalanya menjadi berantakan. Aku super menyesal pernah mengangkatnya.

Cheesy,” tudingku. Jaka hanya diam, membisu. “Enggak perlu jemput gue besok. Gue berangkat sama Bang Dhito. Makasih tawarannya,” tegasku untuk ucapan yang sebelumnya.

Baiklah, aku tahu ini kesalahan besar. Seharusnya aku lebih dulu meminta maaf daripada menyalahkannya seperti itu. Namun kesulitannya tidak terbayang. Aku benar-benar tidak bisa mengeja kata “maaf” tersebut untuk kutujukan kepada Jaka.

Jaka tersenyum. Manis. Setelah mengangguk mengiyakan ucapanku, ia kembali ke kursinya. Aku langsung menyesal. Kedua tanganku terlipat di atas meja, kemudian kepalaku tenggelam di baliknya. Dadaku terasa sesak.

Ini sudah yang kesekian kalinya aku menyakiti orang tidak bersalah sepertinya. Tuhan, aku tidak tahu aku berpihak pada diriku yang mana. Di sisi satu aku benar-benar menyukainya, tapi di sisi lain aku selalu benci kepadanya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro