BAB 03 Ⅱ Jaka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

JAKA
“Sampai Minggu, Nak?” tanya Mama sambil membawakan tas jinjing kecil berisikan kotak makanku—persis dengan apa yang biasa dibawa murid taman kanak-kanak. Aku hanya mengangguk mengiyakan pertanyaan Mama. “Ya udah, hati-hati, deh. Nanti kabar-kabarin Mama loh, ya.”

Aku tersenyum. “Iya, Ma.” Aku mencium tangan Mama sebelum benar-benar pergi. “Jaka berangkat ya, Ma,” kataku sambil mengenakan helm. Mama hanya mengangguk, lalu aku langsung melaju cepat melintasi jalan Raya Bogor hingga Matraman Raya.

Sebelum jam enam, sekolah biasanya memang sepi. Bahkan motorku masuk ke halaman belakang sekolah pun tidak ada yang menghentikan. Para penjaga sekolah memang tahu aku yang datang, tapi tetap saja, biasanya selalu dilarang. Tidak ada murid yang boleh membawa kendaraan bermotornya masuk ke kawasan sekolah.

Aku memarkir motorku di selasar depan ruang OSIS. Like a boss. Hanya sementara. Aku hanya akan menaruh ranselku di dalam ruang OSIS, lalu motorku akan pindah ke tempat yang semestinya—di lahan parkir guru di belakang sekolah.

Khusus hari ini saja, seluruh pengurus OSIS angkatanku mendapatkan akses untuk parkir di dalam sekolah selama kegiatan LDKS berlangsung.

“Gue dari tadi udah dateng. Lo lama banget, sumpah.” Baru aku ingin keluar lagi dari ruang OSIS dan memarkir motor, Artha berdiri di ambang pintu dengan wajah super juteknya. Ia menyeret ranselnya, dan membawa satu tas jinjing lainnya di bahu kirinya.

Aku hanya berdengus, kemudian kuambil ransel dari tangannya. “Iya iya maaf, elah,” balasku malas. Jika tidak saling diam, aku selalu berdebat dengannya. Tuhan, apa kesalahanku benar-benar sebesar itu sampai Artha benar-benar membenciku sekarang?

“Udah sarapan belum?” tanyaku. Tidak ada jawaban. Gadis itu justru langsung melipat-lipat jaketnya, kemudian ia berbaring di dalam ruang OSIS. “Whatever you want, Ar.”

Aku beranjak meninggalkan Artha di ruang OSIS. Kuparkirkan motorku, kemudian mencari Affan—setelah kulihat motornya sudah ada.

By the way, sebagian pengurus OSIS yang lusa akan serah terima jabatan, hari ini semuanya mendapatkan dispensasi dengan alasan harus mengurus persiapan LDKS. Padahal menurutku itu berlebihan. Kami bisa saja menyiapkannya sepulang sekolah, sebenarnya. Lagi pula enam mantan kandidat Ketua OSIS tahun lalu semuanya menginap di sekolah malam ini.

Kami hanya membuang-buang waktu selama sepuluh jam pelajaran. Yah, meskipun aku dan Pandu sesekali ke luar sekolah untuk membeli berbagai macam keperluan yang kurang, sih. Namun tidak sebegitu sering. Aku semestinya masih bisa mengikuti jam pelajaran hari ini, tapi nyatanya aku harus tidak mengikutinya.

“Kalian udah makan siang?” setelah salat Jum’at, Pak Hasan memasuki ruang OSIS dan hanya bertanya seperti itu. Kami semua saling tatap sekilas, lalu serempak menggeleng. Tanpa pikir panjang, pria dengan kopiah hitam itu mengeluarkan dompetnya, lalu mengeluarkan dua lembar uang lima puluh ribu. “Artha, nih beli makan ke luar sama Jaka.”

What?

Artha tersenyum tipis. Ia tidak sekali pun menoleh ke arahku seperti aku yang menoleh kepadanya. “Makan apa, Pak?” tanyanya. Ia beranjak dari posisi telungkupnya, lalu menghampiri Pak Hasan. “Bapak udah makan?”

“Saya udah. Ini kamu berenam aja mau makan apa. Sana beli nasi Padang atau mau keluar, terserah aja,” balas Pak Hasan. “Sana beli makan dulu. Jangan sampai enggak makan siang. Udah ditinggal dulu itu ngetiknya, Shafa.”

Shafa yang sejak tadi masih sibuk di depan laptopnya langsung benar-benar mengangkat tangannya dari keyboard. Setelah Pak Hasan benar-benar angkat kaki dari ruang OSIS, baru Shafa kembali fokus ke laptopnya.

“Shaf, lo keluar deh sama Jaka. Gue ngantuk, penginnya tidur bukan makan,” pinta Artha. Shafa hanya diam dan memandangku. Tidak ada satu pun dari kami yang meresponsnya. Aku langsung beranjak dari posisiku, kemudian kutarik Artha keluar dari ruang OSIS. Dalam arti lain, aku memaksanya untuk pergi denganku. Hanya dengan alasan karena Pak Hasan yang meminta Artha pergi denganku.

Alasan. Tapi nyatanya hanya karena aku memang ingin pergi dengannya

“Gue ngantuk, ish!” Gadis yang masih kucengkeram tangannya ini tetap berusaha melepaskan cengkeraman tanganku. “Lo pergi sendiri aja sana enggak usah ngajak gue,” katanya.

Aku tidak menanggapinya. Tetap kucengkeram pergelangan tangannya dengan kuat. Sampai Artha-lah yang mengalah. Ia hanya ikut. Meskipun pada akhirnya aku harus diabaikan sepanjang perjalanan pergi dan pulang.

+ + +

“Ada yang namanya belum saya sebut?” tanyaku setelah selesai membacakan pembagian bus. Aku dan Artha berada di satu bus yang sama, Shafa bersama Affan, sementara Pandu dengan Rendi. Jujur, aku tidak tahu kenapa selalu dibuat seperti ini susunannya. Semesta seakan-akan memaksakan Artha dan aku selalu lekat. Mungkin jika berkata jujur, aku memang senang diposisikan begini.

Tapi belum tentu Artha merasakan apa yang kurasakan.

“Oke, masuk ke bus masing-masing. Jangan berebut, ya,” pintaku sambil mengarahkan mereka yang satu bus denganku di bus satu—termasuk Dhimas dan Ranita.

Aku tahu, Artha kemungkinan besarnya benci karena harus duduk bersebelahan denganku. Seharusnya kami membicarakan berbagai macam hal penting tentang kegiatan LDKS hari ini dan esok, tapi nyatanya? Artha benar-benar buang muka. Ia meminta duduk di dekat jendela, dan yang dilakukannya sepanjang perjalanan hanyalah menyaksikan jalanan yang dilewati.

Are you okay, Ar?” bisikku di dekatnya. Dengan suara selembut mungkin yang kusanggup. Artha tidak berkutik. “Come on, lo enggak bisa selalu kayak gini ke gue, Ar. Lo itu partner in everything.”

Artha tertawa renyah. Secara sekilas lebih terdengar seperti tertawa mengejek. “In everything?”

Aku mengangguk pelan. Sebenarnya agak takut salah bicara. Maksudku, begitulah anak perempuan. Mereka yang sedang dalam masa-masa sensitif akan cepat marah sekalipun aku hanya membuat kesalahan sekecil biji apel.

“Lo wakil gue, lo temen sekelas gue, dan lo—”

“Artha.” Ia menginterupsinya cepat. “Gue cuma Artha, Jak. Let’s see, dalam waktu sekitar dua puluh empat jam, kita bakalan kehilangan jabatan. So we aren’t a partner anymore. Ngerti?”

Aku mengangguk lagi. “Lo lagi period, ya?” tanyaku dengan sangat sangat sangat sangat hati-hati. Aku takut Artha akan langsung menyemburku dengan berbagai macam kalimat pedas yang sudah terpikirkan olehnya jauh-jauh sebelum aku bertanya.

Gadis itu berdesah gusar. Ia menyandarkan dirinya ke punggung kursi. “Not your business.”

“Oke, maaf.”

Artha melengos ke arahku. Aku hanya diam memandangnya bak anak kecil yang tidak tahu apapun. Percaya atau tidak, wajahnya benar-benar kelihatan lelah. Kelihatan tidak ceria juga seperti Artha yang biasanya.

“Nanti bangunin kalau udah sampai, Jak,” katanya lalu melengos lagi. Aku hanya mengangguk tanpa ia melihatnya. Kemudian ia benar-benar memejamkan matanya selagi pengurus dan calon pengurus OSIS lainnya terdengar sangat ramai di belakang.

Aku mencoba menyibukkan diri dengan ponsel. Entah bermain game, membaca berita di LINE Today, atau apapun. Sampai kepalanya jatuh di bahu kiriku. Aroma samponya tecium dengan agak tajam. Aroma yang tidak pernah berubah sejak kali pertama aku menciumnya.

“Kak Jaka, Kak Artha, mau enggak? Ranita bawa kue kering.” Ranita—sang calon Wakil Ketua OSIS—berdiri dari kursinya, menawarkan kue kering yang ada di kotak makannya. Aku menoleh sedikit ke belakang, kemudian mengambil satu kue dari kotak makannya.

“Makasih, Ran,” tuturku. Ranita hanya mengangguk dan tersenyum, kemudian mulai menawarkan kuenya kepada yang lain. Setelah gadis itu pergi, aku kembali asyik dengan ponselku sampai kami tiba di lokasi tujuan.

Lokasinya tidak sama dengan yang tahun lalu digunakan. Menurutku yang sekarang tidak sebesar yang kemarin.

Aku menepuk-nepuk pipi Artha pelan. “Ar, bangun,” bisikku. Ia hanya mengerang tanpa mengangkat kepalanya dari bahuku. Aku kembali membangunkannya dengan cara yang sama beberapa kali sampai Artha akhirnya benar-benar membuka mata, dan langsung mengangkat kepalanya begitu ia sadar kalau sedari tadi ia bersandar kepadaku.

“Ish, sejak kapan gue tidur di bahu lo, coba? Kenapa lo enggak bangunin dari tadi?!”

“Instruksinya adalah, gue bangunin ketika kita udah sampai, makasih,” balasku lalu beranjak pergi membawa ranselku, dan tas jinjing milik Artha. Sekadar meringankan bawaannya. Itu adalah hal yang lumrah dilakukan seorang laki-laki, ‘kan?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro