BAB 05 Ⅱ Jaka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

JAKA
Aku berani bertaruh, Artha tidak tahu harus menjawab bagaimana. Maaf, aku bukannya ingin bersikap sejahat ini, tapi kurasa Artha memang butuh sedikit lebih berpikir. Nyatanya, ia menangis karena akan kehilangan jabatannya dan aku. Katakan saja aku terlalu percaya diri karena bicara begini, tapi itulah adanya.

Bukan hanya Artha yang takut akan kehilangan jabatan. Bukan, sebenarnya kami bukan takut kehilangan jabatan. Artha dan aku merasakan yang sama. Hubungan kami memang hanya berjalan karena adanya jabatan antara Ketua dan Wakil Ketua OSIS selama setahun terakhir ini.

“Oke,” kataku setelah beberapa saat gadis di hadapanku ini meneteskan air matanya lagi. Sambil menyeka air matanya, aku berucap, “Gue jadiin ini yang terakhir. Jawab gue dengan jawaban yang bener-bener keluar dari hati, Ar. Jawaban yang emang pengin lo utarain.”

Aku mengacungkan jari kelingkingku di depan wajahnya. “Saya, Jaka Almi Syahidan, selaku Ketua OSIS periode dua ribu enam belas dua ribu tujuh belas, menyatakan, bahwa saya ingin Artha Risabilla Afia, selaku Wakil Ketua OSIS di periode yang sama, menjadi satu-satunya pacar saya—”

“Majenun!” Dengan iringan tawanya, Artha menginterupsi pernyataanku, dan langsung menautkan jari kelingkingnya.

“Ih, jawabannya harus yang bener, biar sah,” kataku. “Ayo ulang, yang kedua. Jangan sampai tiga kali salah, nanti enggak sah.”

Aku melepaskan tautan kelingking kami, kemudian mengulang pernyataanku yang sebelumnya. Gadis itu hanya senyum-senyum selama aku mengulang kalimatku tanpa ada kata-kata yang berbeda.

Kemudian setelah selesai, Artha menarik napas. Kelingkingnya kembali bertemu denganku. “Saya, Artha Risabilla Afia, selaku Wakil Ketua OSIS periode dua ribu enam belas dua ribu tujuh belas, menyatakan bahwa saya menerima Jaka Almi Syahidan, selaku Ketua OSIS dalam periode yang sama, sebagai pacar saya.”

“Asiiik!” ujarku begitu kulihat Artha tertawa-tawa setelah mengucapkan jawabannya yang sama panjang. “Official, nih.”

Artha mengerlingkan matanya. “Ilegal, tau enggak?” Aku hanya menggeleng dengan tidak pedulinya.

“Jak! Buruan siap-siap!” teriakan Pandu dari belakang menginterupsi tawa Artha dan aku. Serempak, kami menoleh ke sumber suara, melihat Pandu sudah menggendong ransel miliknya sendiri. Aku lantas beranjak, kemudian berlari meninggalkan Artha di pendopo.

“Ish, Jaka! Bunganya bawa sendiri!” teriaknya sambil berusaha merapikan bunga-bunga yang tadi kutaruh di pangkuannya.

Aku menoleh untuk tersenyum kepadanya. “Buat Artha!” balasku dengan teriak juga. Gadis itu langsung geming memandangiku. Bukan. Bukan hanya Artha yang diam, tapi beberapa orang lainnya yang ada di sekitar kami, beberapa di antaranya ikut diam.

Setelah merapikan semua barang-barangku dan menaruhnya di bus, sekarang giliran aku meminta Dhimas untuk berlatih mengatur semua teman-temannya. Kami kembali ke sekolah, lalu pulang. Beberapa di antara pengurus OSIS angkatanku—termasuk Artha dan aku—istirahat sejenak di ruang OSIS. Sekadar berbincang-bincang santai sampai sore tiba.

“Kalau boleh mah gue nginep aja nih. Besok udah Senin aja,” ujar Rendi sambil menikmati camilan yang dibawanya.

“Anjir, betah bener di sekolah,” sahut Dhea.

Kami hanya tertawa-tawa, seakan-akan rasa tidak ikhlas—karena sudah serah terima jabatan—sudah tidak ada. Sementara Artha sejak tadi hanya berbaring sambil memainkan ponselnya. Sekitar pukul tiga, kami pulang.

“Fan, lo pulang ke Cibubur atau ke Salemba?” tanya Shafa ketika laki-laki yang ditanyanya sedang mengikat tali sepatu. “Kalau ke Cibubur, gue bareng sampai rumah sakit Premier, dong. Kan searah.”

“Artha sama Jaka, kan?” tanya Affan sebelum memberikan kepastian pada Shafa.

Aku mengangguk. “So pasti, dong. Enggak bakalan gue ngebiarin Artha pulang sama lo selagi gue masih ada,” balasku. Artha langsung berdecak sebal begitu mendengarnya, kemudian menarikku untuk segera pergi dari ruang OSIS. “Lo sama Affan enggak apa-apa kok, Shaf,” ucapku sambil terus mengikuti Artha melangkah.

“Keburu Bunda nanyain aku belum pulang. Soalnya kalau aku pulangnya kesorean, nanti Bang Dhito malah disuruh jemput,” katanya.

“Aku?” aku mengoreksi sedikit ucapannya. Artha menoleh ke arahku. “You’re not drunk, iya kan?”

Artha mengedikkan bahunya. “Enggak ada yang salah dengan apa yang barusan gue ucapin, Jak. Gue enggak salah ngomong, dan lo enggak salah denger. Emangnya enggak boleh kalau gue mau ngomong pakai aku kamu?”

“Ya boleh, sih,” balasku sambil melepaskan cengkeraman tangannya. “Meskipun rasanya agak awkward aja gitu.”

+ + +

“Kamu telat,” ucapku begitu melihat Artha tiba di depan loket halte Flyover Raya Bogor. Gadis itu hanya mengerlingkan matanya kemudian menarikku untuk segera pergi. Kami sudah hampir terlambat, memang. Kuharap jalan raya pagi ini tidak akan terlalu padat.

“Kesiangan, Jak.” Artha berdesah berat sambil menyandarkan tubuhnya ke dinding halte. Aku hanya mengedikkan bahu. “Tadinya mau enggak masuk, tapi kan enggak enak sama kamu,” lanjutnya.

Sebelah alisku mengernyit. “Kok jadi enggak enak sama aku?”

Artha mengangguk, “Kasian berangkat sendirian,” katanya dengan nada mencemooh. Tidak hanya itu, tapi Artha juga tertawa lepas. Aku tak bicara apapun. Hanya kudekap kepalanya sampai ia berhenti tertawa.

“Kalau enggak mau masuk sih bilang aja harusnya. Aku juga enggak,” kataku. “Capek.” Kami jadi berbincang-bincang selama menunggu bus ke arah Kampung Melayu tiba. Satu hal yang sudah sangat asing sejak beberapa bulan terakhir.

Untungnya, pagi ini bus tidak terlalu ramai sehingga Artha dan aku dapat kursi yang kosong untuk duduk. Kalau ditanya, aku benar-benar merindukan masa-masa seperti ini. Berangkat sekolah bersamanya tanpa ada rasa canggung. Bicara dan tertawa bersamanya.

Tenang, semuanya perlahan akan kembali seperti semula.

“Coba deh. Aku belum ngerjain PR matematikanya satu nomor lagi.” Artha membuka ranselnya, lalu mengeluarkan buku dengan sampul merah. Tanpa berkata apapun, aku turut mengeluarkan buku catatan milikku, kemudian membiarkannya menyalin.

Artha banyak bicara selama ia menyalin satu nomor terakhir yang belum dikerjakannya. Banyak alasan kenapa ia tidak menyelesaikan PR-nya—yang sebenarnya tidak kubutuhkan—disebutkan. Mulai dari mengantuk, membalas chat-ku, malas, tidak mengerti, tidak mau berpikir, dan sebagainya.

Aku tidak tahu sudah berapa kali orang di dalam bus menoleh ke arahnya, tapi gadis ini tetap tidak berhenti bicara. Senyumnya tidak berhenti mengembang, dan tawanya beberapa kali terdengar lagi dan lagi.

Seakan-akan hidupnya benar-benar tidak dibebani apapun.

Aku hanya ikut tersenyum tiap kali mendengarnya bicara, kemudian tertawa. Namun, semakin lama aku memandanginya, semakin fokusku pada Artha buyar. Astaga, gadis itu muncul lagi di dalam benakku. Setelah sekian lama kami tidak berjumpa, ia kembali lagi.

“Ar,” interupsiku ketika Artha sedang bercerita tentang bagaimana lucunya momen saat ia mewawancara seorang calon pengurus OSIS kemarin. Gadis itu langsung menoleh kepadaku, lalu tersenyum. “Masa aku pengin ketemu Billa,” ucapku tandas.

Senyumnya memudar perlahan. “Oh,” sahutnya lirih. Terdengar seperti nada kecewa atau apa. Sial, aku hilang kendali. Apa yang tadi kukatakan padanya?

Namun, setelah beberapa saat kami hanya diam dan saling tatap; setelah beberapa saat senyum Artha pudar; setelah aku sadar bahwa semestinya aku tidak bicara begitu, senyum Artha kembali lagi. Benar-benar manis. Seperti senyum yang selalu kusukai dari Billa.

Wait. Kuralat. Artha.

“Yuk ke rumah Billa,” ajaknya dengan antusias. Aku tersenyum tipis. Aku mulai bingung harus bersikap bagaimana. Aku tidak tahu Artha di sini bicara begitu karena ia memang menginginkannya, atau hanya karena tidak enak hati kepadaku. “Aku juga udah lama enggak ketemu Billa. Kangen ih.”

Sekalipun perasaanku tidak enak kepadanya, aku lebih merasa tidak enak jika menolak ajakannya, atau langsung mengalihkan pembicaraan. Jadi, dengan agak berat, aku mengiyakan ajakannya. Lagi pula, aku tidak bisa membohongi perasaanku sendiri. Aku benar-benar merindukannya.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro