BAB 06 Ⅱ Artha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ARTHA
“Kalian kok tumben.” Setelah geming memandangi Jaka dan aku yang sedang mengobrol di mejaku, Fikri akhirnya berujar. Jaka dan aku serempak menoleh ke arahnya. “Biasanya musuh-musuhan kayak musuh.”

Jaka terkekeh. “Ya terus hari ini gue harus musuhan sama Artha lagi, gitu?”

Fikri menggeleng. “Ya enggak,” katanya, lalu duduk di meja yang ada di belakangnya. “Maksudnya, jarang aja liatnya. Perlu diabadikan apa enggak? Kamera hape gue bagus,” imbuhnya begitu ia dapatkan posisi nyaman duduk di atas meja.

“Semua momen emang perlu diabadikan, Fik,” kata Jaka kemudian kembali menghadap ke arahku. Kedua alisnya terangkat, matanya yang terbingkai itu menyipit, bibirnya mengembang membentuk senyum manis. “Tapi enggak semuanya harus berupa foto atau semacamnya. Sekadar dikenang juga enggak apa-apa. Iya enggak, Ar?”

Bukannya menjawab, aku malah terpaku diam memandanginya. Aku sadar aku memandanginya. Namun, setiap kali aku ingin mengalihkan pandanganku, diriku tidak mau bergerak. Aku selalu ingin menambah sedetik, sedetik lagi, dan seterusnya.

“Et et et, matanya nakal ya Artha.” Fikri tahu-tahu memetik jarinya di depan wajahku. Satu-satunya alasan kenapa aku langsung menggelengkan kepalaku. Aku tidak bicara apapun, hanya menoleh kepada Fikri, dan diam. “Salting Jaka nanti diliatin sama lo gitu,” katanya.

Aku hanya menunjukkan cengir seperti orang tidak bersalah.

Tak lama setelah itu, beberapa teman lainnya ikut mengerubung, mengajak kami bicara, dan bertanya-tanya. Seperti Angga yang tiba-tiba bertanya, “Jadi? Setelah waktu itu lo nolak Jaka, sekarang timbul penyesalan-penyesalan gimanaaa gitu ya? Jadi lo deketin Jaka, Ar?”

Aku mengerlingkan mataku jengah. “Kebalik, Ngga,” kataku. “Jaka kali yang dari dulu deketin gue. Sampai sekarang, malah.”

Jaka terkekeh sambil mengacak-acak rambutku, “Suka ngarang anaknya.” Sekitar kami hanya tertawa-tawa menanggapinya. Pada akhirnya, salah satu dari mereka mengalihkan topik, kemudian aku lama-lama tidak ikut mengobrol. Aku hanya bermain dengan ponselku.

Sampai jam pelajaran habis hari ini, baru semuanya bubar dari mejaku, termasuk Jaka. Laki-laki itu segera merapikan barang-barangnya sendiri, kemudian kembali lagi ke mejaku—berhubung aku belum selesai merapikan barang-barangku yang super berserakan di atas meja.

“Langsung pulang?” tanyanya. Aku hanya mengangguk. Demi apapun, aku masih lumayan lelah karena kemarin pulang sore. “Ya udah. ke ruang OSIS dulu ya sebentar. Semalam Dhimas minta data-data OSIS yang tahun kemarin. Janjian di ruang OSIS.”

Aku hanya mengangguk, lagi. Kemudian beranjak dari kelas ketika urusanku dengan barang-barang berantakan sudah selesai. Jaka dan aku jalan seiringan menuju ruang OSIS, menemui beberapa pengurus OSIS angkatanku dan angkatan Dhimas sedang sibuk dengan kegiatannya masing-masing.

Ada yang mengerjakan tugasnya, ada yang bermain gitar sambil bernyanyi-nyanyi, ada yang mengobrol, ada yang main game online ramai-ramai. Aku hanya menunggu di depan—karena malas melepas sepatu—sementara Jaka masuk untuk menemui Dhimas.

“Eh, Kak Artha,” sapa Ranita begitu ia tiba. Aku hanya tersenyum. “Masuk lah Kak, ngapain sih di luar,” katanya.

Aku mengangguk, “Iya, enggak apa-apa ah. Jaka sebentar doang, ini nungguin Jaka.”

Ranita hanya senyum, lalu ia masuk ke ruang OSIS. Sementara aku benar-benar duduk di depan ruang OSIS sambil memainkan ponselku. Tak lebih dari lima belas menit setelahnya, Jaka keluar. Namun ternyata bukan untuk mengajak pulang, melainkan untuk mengajakku masuk.

“Mas Haris lagi di daerah Pramuka, Ar. Kamu tetap mau pulang sekarang? Kalau enggak, Mas Haris jemput, nanti diantar pulang. Tapi tungguin dia sebentar,” katanya. Aku diam sejenak; berpikir. Kurasa aku harus mempertimbangkan beberapa hal. “Palingan setengah jam lagi. Kamu mau istirahat dulu di dalam? Atau gimana?”

“Ya udah deh,” balasku singkat. Aku langsung melepas sepatuku, kemudian ikut masuk dengan Jaka. aku langsung ambil posisi di tempat yang tidak begitu ramai, di dekat tas Jaka. Secara otomatis, dekat juga dengan Jaka dan Dhimas.

Aku langsung berbaring, dan memainkan ponsel tanpa memedulikan betapa ramainya ruang OSIS.

“Eeeeh main ToD main ToD!” suara Rendi terdengar lumayan kencang. Laki-laki yang baru masuk ke ruangan itu langsung bergabung dengan tujuh orang yang sedang mengerubung dan mengobrol. “Ayo buruan!” ujarnya sambil menaruh pena yang siap diputar.

Bukannya dapat respons asyik, Rendi malah dapat tawa dari Pandu, “Ye apaan sih Ren. Orang mah lagi ngomongin tujuh belasan, lo malah ngajak main.”

“Oh iya iya tuh, tujuh belasan. Tahun ini pemimpin upacaranya Jaka lagi, enggak?” Rendi menyahut.

Ah, iya. Aku ingat lagi momen tersebut. Waktu benar-benar berlalu dengan cepat, ternyata. Rasanya baru kemarin aku masuk ke dalam pasukan pengibar bendera di upacara penting tersebut. Beberapa pekan ke depan, kami sudah akan berhadapan lagi dengan upacara dalam rangka memperingati hari kemerdekaan Indonesia yang ke 72.

“Jak, Mas Haris itu,” ucapku ketika melihat layar ponsel Jaka menyala. Jaka tetap diam. Ia terlalu sibuk bicara dengan Dhimas, sehingga kuputuskan untuk mengangkat teleponnya. “Halo?”

“Jak, gue masuk nih?” tanya Mas Haris. “Tunggu depan gerbang aja, ya, biar gue enggak nungguin.”

Aku melirik Jaka sejenak. Kurasa laki-laki itu masih benar-benar tidak dapat diganggu gugat. “Mas Haris masih jauh? Jaka masih ngobrol ini,” jawabku. “Enggak tau masih lama atau enggak.”

“Ih, Artha, ya?” tanyanya, tahu-tahu out of topic. “Kamu masih di sekolah juga? Mau bareng, enggak?”

“Iya, Jaka juga nyuruh bareng,” kataku. “Mas Haris masih jauh, enggak? Nanti kalau udah deket, bilang aja. Nanti Jaka sama Artha keluar deh.”

Kudengar Mas Haris bergumam, lalu bilang, “Iya udah, nanti saya chat aja ya.”

Aku tidak merespons. Teleponnya langsung diakhiri, kemudian ponselnya kukembalikan kepada Jaka—yang sedang menyimak pembicaraanku di telepon. “Mas Haris. Nyuruh ke depan.” Aku menegaskan inti dari pembicaraan kami.

Jaka hanya mengangguk-angguk, kemudian pamit kepada Dhimas setelah ia merapikan barang-barangnya. Entah berapa menit setelah itu, Jaka dan aku sudah pamit dan bersalaman kepada semua orang yang ada di ruang OSIS, dan kami sudah berjalan keluar dari gedung sekolah, lalu menemui Mas Haris yang saat itu belum lama tiba.

Meskipun pernah beberapa kali bicara dengannya di telepon, tapi ini adalah kali pertama bagiku bertemu secara langsung dengan Paman dari Jaka—yang lebih dianggap sebagai Kakaknya. Kalau aku memerhatikan lebih, Mas Haris juga termasuk laki-laki yang good looking.

Ia juga mengenakan kacamata seperti Jaka, dan, yah, lesung pipit yang sama. Justru mereka tampak selayaknya dua kakak-beradik kandung.

“Jadi kalian udah akur?” tanya Mas Haris setelah Jaka masuk ke kursi di sebelah kemudi. Jaka hanya tertawa menanggapinya. “Tau enggak sih, Artha? Yang setelah dia terakhir nelepon kamu, dia tuh—”

“Mas, enggak usah ngarang deh.” Jaka langsung menginterupsi sebelum Mas Haris bicara lebih jauh. Aku hanya tertawa-tawa selagi Mas Haris berusaha menyampaikan apa yang ingin diceritakannya, dan Jaka menahan-nahannya agar berhenti bicara.

“Siapa yang ngarang, kan lo sendiri yang bilang,” katanya. Jaka hanya berdecak dengan sebal menanggapinya, sehingga Mas Haris dan aku malah tertawa.

Melihat Jaka akhirnya tidak peduli dengan omongan Mas Haris lagi, aku menagih Mas Haris untuk menceritakan apa yang Jaka bicarakan di hari itu. Ceritanya lumayan panjang. Katanya cerita banyak tentang kami—Jaka dan aku.

Well, aku sebenarnya tidak tahu kalau Jaka ternyata adalah tipikal laki-laki yang suka bercerita macam-macam. Mungkin hanya dengan Mas Haris atau bagaimana, aku tidak mengerti.

“Past tense, Ar. Lupain,” ucap Jaka setelah Mas Haris selesai bicara. Aku hanya mengangguk, mengerti bahwa semua yang Mas Haris ceritakan sudah berlalu. Tentang aku yang selalu menjauh dari Jaka, dan tentang Jaka yang tidak pernah mau berhenti mengejar.

Aku punya alasan kenapa sampai bersikap begitu. Selama ini, aku masih percaya kalau Jaka masih memiliki rasa terhadap Billa. Jadi aku tidak mau mengulang apa yang pernah terjadi. Aku tidak mau berpacaran dengannya dan hanya dianggap sebagai replika dari Billa. Seperti pada saat aku berpacaran dengan Gheo.

Meskipun aku tahu aku menyukainya, tapi aku tidak mau membiarkan perasaanku terus berkembang sementara perasaannya bukan untukku. Bukankah itu akan sia-sia? Namun jujur, aku tidak bisa berbohong tentang aku akan merasa sangat kehilangan seandainya Jaka dan aku akan terbatas dengan jarak hanya karena serah terima jabatan di OSIS.

Aku tidak mau harus berusaha beradaptasi lagi dengan hari-hariku yang nantinya akan kulalui tanpa Jaka. Hell no.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro