BAB 14 Ⅱ Artha

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

ARTHA

"That's all for this morning's Jakarta TV channel," ucapku kemudian menoleh sekilas kepada Jaka.

Jaka turut tersenyum kepada audiensi, kemudian kami serentak berucap, "Thanks for watching, have a great day. See you tomorrow."

Tepuk tangan langsung terdengar riuh di dalam ruangan. Jaka dan aku beranjak. Ia kembali duduk di kursi yang tadi kami tempati, sementara aku pamit sebentar untuk keluar. Atau sebenarnya tidak sebentar, karena jujurnya, aku hanya ingin menghindar.

Aku angkat kaki dari gedung universitas yang kini dijadikan lokasi kompetisi.

Setelah sekitar dua jam perjalanan melalui jalan raya yang lumayan padat sepanjang Cawang UKI sampai Pondok Rangon, aku akhirnya tiba di depan gerbang yang sudah lama tidak kukunjungi. Aku menyusuri tiap-tiap gundukan tanah yang berjajar rapi di sekelilingku.

Sampai tiba di salah satunya, aku berhenti melangkah. "Good afternoon, dearest sister," sapaku sambil melontarkan senyum. Aku bercangkung di sana, melafalkan berbagai macam doa kepada Yang Maha Kuasa. Ada satu buket bunga mawar putih yang jadi perhatianku.

Laki-laki itu lagi, pasti. Jaka datang ke sini tanpa memberi kabar kepadaku, lagi.

"Bil, gue telat enggak sih datangnya?" aku mengusap batu nisan yang tampak tidak berdebu seperti kebanyakan nisan yang lainnya. Pasti baru dibersihkan. Tadi pagi. Dan siapa lagi kalau bukan Jaka. "Gue sering ngajak Jaka ke sini, tapi ternyata Jaka selalu pergi sendiri."

"Pasti Jaka udah bilang kalau kita jadian."

Aku tidak tahu sudah berapa jam aku duduk di sini dan bercerita banyak kepada Billa. Pertama kalinya aku menyentuh ponselku, baru aku sadar kalau aku sudah terlalu lama duduk di sini. Ada sangat banyak telepon tidak terjawab dari Jaka, dan pesan-pesan yang belum dibaca.

Aku mencoba meneleponnya kembali, tapi tidak diangkat sama sekali.

"Bil, gue iri sama lo, banget," ucapku. "Bukannya kita serupa, ya? Tapi kenapa kita enggak sama? Kenapa gue selalu ada di posisi kayak gini? Gue enggak mau benci sama lo, tapi ... I can't lie, Bil. I want to be you."

Ponselku masih membiarkanku mendengar nada sambung. Teleponku tidak kunjung diangkat oleh Jaka. Bukankah tadi Jaka yang mencariku? Kenapa sekarang justru teleponku yang tidak diangkat?

Atau Jaka marah karena aku mengabaikannya ketika ia mengajakku berdamai pagi tadi? Wait. Tidak mungkin Jaka seperti itu.

"Kamu di mana?" setelah entah berapa puluh menit aku menunggunya, Jaka akhirnya merespons. Namun, bukannya menjawab, aku malah meneteskan air mataku. Aku tidak tahu kenapa, sungguh. "Ar, kenapa? Kamu di mana? Ke Billa, ya? Aku udah mau sampai."

Aku hanya bergumam. Berharap Jaka akan mengerti.

Telepon kami tidak terputus sampai kulihat Jaka tiba. Napasnya tersengal-sengal. Ia langsung mengakhiri telepon kemudian menyakukan ponselnya begitu mata kami berjumpa.

"Kamu kenapa?" Jaka bertanya lagi. Aku beranjak dari posisi bercangkungku. Aku hanya menatapnya dalam diam. Bagaimana aku menjelaskan ini padanya? Aku merasa benar-benar aneh jika harus jujur soal ini. "Why are you crying?" Jaka bicara lebih lembut.

Tapi aku hanya menggeleng.

Jaka mendekat, lalu tiba-tiba memelukku. Demi apapun, aku benar-benar terkejut ia sampai berani memelukku. Samar-samar, aku bisa mendengar jantungnya yang berdetak; Bisa merasakan napasnya yang berembus; Bisa merasakan nyaman yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.

"Aku iri sama Billa," akuku. Jaka tetap diam, tetap mendekapku, tetap membiarkan aku mendengarkan jantungnya berdebar cepat. "Bukannya aku sama Billa serupa, Jak? Tapi kenapa aku selalu beda sama Billa? Dari dulu, selalu Billa yang selangkah lebih maju daripada aku. Padahal aku kakaknya, Jak. Aku yang lahir duluan daripada Billa."

"Aku selalu pengin ada di posisinya. Aku iri sama Billa yang disukain sama Gheo sejak SMP. Aku iri sama Billa yang dapet perhatian Gheo karena dia jadi Ketua OSIS di SMP. Aku iri sama Billa yang kamu suka, Jak. Padahal aku yang setiap hari ada di deket kamu," kataku. Sejenak aku menarik napas. Ini menyakitkan, sungguh. "tapi kamu selalu lihat ke belakang. Kamu selalu lihat masa lalu. Kamu selalu lihat apa yang udah enggak ada, Jak. Aku mau jadi Billa yang selalu jadi prioritas kamu dibanding aku."

Aku merasakan pipi Jaka melekat dengan rambutku. "I'm sorry, Ar," tuturnya. Aku tidak merespons. "I'm sorry for loving both of you."

"Love is pretty crazy, Jak," ucapku. Mengutip apa yang sering Jaka bilang kepadaku. "Aku sekarang ngerti maksud kamu selalu bilang gitu. Kamu sebenernya enggak ngerti siapa yang ada di hati kamu, Jak. You're just telling me you love me, tapi kamu enggak tau apa yang sebenernya kamu rasain. Itu alasannya kenapa kamu merasa kalau cinta itu gila. Gitu?"

Aku melepaskan dekapannya. Pandanganku menyorot lurus ke matanya.

Jaka menggeleng pelan. "Alasannya enggak cuma satu dan sesingkat itu, Ar," katanya. "Cinta emang gila, dilihat dari sisi manapun, cinta tetap gila."

"Aku mau pulang," kataku. Kakiku langsung melangkah. Jaka menyusul, kemudian langsung menautkan kelima jarinya denganku.

"Don't cry," katanya. Aku hanya tersenyum tipis.

+ + +

Sepulang dari pemakaman, di sinilah Jaka dan aku sekarang. Kafe Bean & Brew, tempat biasa aku menghabiskan waktu dengan menyaksikan pertandingan futsal, atau diam-diam menyaksikan orang-orang yang bermain biliar. Atau sepahit-pahitnya kedatanganku ke sini, adalah mengerjakan tugas.

"We are a runner up," katanya setelah Jaka meneguk Iced chocolate di cangkirnya. Aku yang tengah menikmati sedikit demi sedikit Bloody fries—kentang dengan saus bolognese—langsung membelalak. Tidak percaya. Tapi Jaka mengangguk mantap. "Serius. Makanya tadi aku langsung nyari kamu."

Aku menerbitkan senyum di wajahku. Kuacungkan kelingking kananku. "So we did it?" tanyaku. Anggukan serta senyumannya membuatku yakin.

Akhir-akhir ini, harapanku tidak benar-benar tinggi untuk menang. Aku melakukannya setengah hati. Karena, yah, aku merasa tidak perlu melakukannya. Aku bukan seorang english-addict seperti Billa dan Jaka. Jika bukan demi Billa, menang maupun kalah aku tidak peduli. Bahkan, tidak berpartisipasi pun rasanya bukan masalah.

Namun biar bagaimanapun, kemarin aku belum menyadarinya. Saat bilang akan berpartisipasi, aku masih excited melakukannya demi Billa. Tapi mengetahui kabar bahwa Jaka seperti ini, runtuh semua semangatku.

Dakwa saja secepatnya, bahwa hatiku telah benar-benar jatuh pada Jaka. Dan aku sudah ingkar dengan omonganku sendiri yang pernah kukatakan kepada Jaka di telepon. Saat kubilang bahwa aku tidak mau berpacaran dengannya meskipun rasa yang kumiliki benar-benar nyata.

"Ar," panggilnya. Aku hanya bergumam sambil terus memandangi perempuan di balik meja bar yang sedang meracik kopi. Percaya atau tidak, kurasa perempuan itu adalah salah satu daya tarik di kafe ini. Wajahnya benar-benar manis. "I love you more than a lot."

Pandanganku kali ini beralih kepada Jaka yang duduk di hadapanku. "How much is a lot?"

Jaka menggeleng. "Enggak tau. Tidak terhingga, mungkin?" katanya. Aku hanya tertawa pelan mendengar jawabannya.

"Terus, tidak terhingga itu seberapa?" tanyaku lagi. "Emangnya bener-bener banyak, ya?"

Bola matanya berputar. "Biasanya sih, yang dibilang tidak terhingga itu jumlah bintang, atau pasir di pantai," katanya. "Kamu tau berapa jumlah pasir di seluruh pantai seisi bumi?"

Aku mengedikkan bahuku.

"Kalau aku cuma bisa bertahan suka sama kamu selama kamu hitung pasirnya sampai habis, minimal di satu pantai, kira-kira berapa lama aku bisa bertahan?" tanyanya.

Aku benar-benar paham ke mana arah pembicaraan ini. Maka dari itu, aku hanya menertawakan pertanyaannya. "Kok jadi kebanyakan soal, sih."

Bibirnya langsung melengkung ke atas. "Kan tinggal jawab aja," katanya dengan nada bicara merajuk. Aku tertawa lebih keras dari sebelumnya. "What's so funny, Artha?"

Aku menggeleng. "Iya, iya. Kujawab nih?" tanyaku masih dengan diiringi tawa. Jaka mengangguk. "It takes forever, dan itu maksud kamu? Aku enggak akan bisa berhenti hitung pasirnya sampai habis, makanya kamu enggak akan bisa berhenti suka sama aku?"

"Pinter pacarnya Jaka."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro