BAB 15 Ⅱ Jaka

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

JAKA
“Tuh Jak, lihat deh, udah panjang,” kata Artha sambil berputar di depan cermin di dalam ruang OSIS. Aku yang berdiri di belakangnya hanya mengangguk. “Aku mau potong pendek kayak dulu.”

“Sepanjang ini juga bagus, Ar,” balasku sambil memainkan rambut panjangnya yang terurai. Aku memisahkan rambutnya jadi tiga bagian, kemudian mengepangnya, sementara Artha masih berceloteh tentang keinginannya memendekkan rambutnya seperti dulu—sedikit di bawah bahu.

Artha menggeleng-geleng, membuat tanganku jadi ikut ke kanan kiri. “Ngapain, sih?” tanyanya sambil menoleh ke belakang. Namun tanganku ikut bergeser sehingga Artha justru tidak bisa melihat apa yang kulakukan. “Ih, liat,” pintanya.

“Ya enggak bisa lah. Nanti kalau tanganku enggak ikut geser kan rambut kamu ketarik. Nanti rewel,” balasku. Artha hanya berdecak dengan sebal. “Ini dikepang biar enggak berantakan.”

Artha benar-benar penasaran. Ia sekarang justru memutar tubuhnya, yang otomatis membuat aku ikut berputar, sehingga tetap saja Artha tidak bisa melihat bagaimana rupa rambutnya sekarang. “Jak!”

Aku tertawa pelan. “Ya gimana? Kan emang enggak bisa, ih. Nanti aja kalau udah selesai,” kataku.

Gadis di hadapanku ini akhirnya mengalah. Ia kemudian duduk. Jadi aku melanjutkan kegiatanku mengepang rambutnya, sementara Artha mulai mengambil ponselku untuk selfie. Yah, tipikal gadis yang suka update di Instagram dan semacamnya memang begini, kan?

Supaya disebut-sebut couple goals, katanya.

“Jak, kita belum kasih kabar ke Billa kalau kemarin menang kompetisi,” ucapnya memulakan percakapan. Aku diam sejenak. Aku memang belum bilang kepada Artha kalau kami menang saat kami sama-sama berada di pemakaman. Namun, kemarin pagi aku sudah ke makam Billa dan bercerita panjang lagi kepadanya.

Dan benar kalau ada yang menduga bahwa Artha tidak tahu. Artha memang tidak tahu kalau kemarin aku ke makam Billa.

Aku tahu, aku harus menghilangkan kebiasaan ini. Namun tidak semudah itu. Sejak aku tahu bahwa Billa dimakamkan di sana, aku sudah melakukan ini. Aku sering datang ke makamnya, dan semakin lama, frekuensi kedatanganku semakin naik.

“Iya, nanti kalau ke sana kita kabarin Billa, Ar,” kataku. Artha hanya mengangguk.

Begitu tanganku tiba di ujung rambut Artha, aku mengikat rambutnya dengan kunciran berpita yang Artha jadikan gelang selama beberapa jam ke belakang. Kami kemudian bersiap pulang, mengingat hari sudah semakin sore.

Artha dan aku pamit lebih dulu daripada yang lainnya—yang mayoritas adalah pengurus OSIS kelas sebelas yang masih harus mengepel ruangan. Kami langsung berjalan ke halte Matraman 1.

“Jak, lulus mau ke mana?” tanya Artha di tengah-tengah langkah kami menyusuri jembatan penyeberangan.

“Mau nikah,” jawabku asal. Itu pun kuakhiri dengan tawa. Namun Artha langsung berdecak kesal sambil memukul lenganku. “kan calonnya udah ada.”

Artha mengerlingkan matanya, “Macem udah punya duit aja lulus pengin nikah. Istrinya dikasih makan apaan? Cinta enggak bisa dimakan, Jak,” balasnya.

Aku tertawa mendengarnya. Langsung kurangkul Artha dengan erat. “Iya deh, akunya kuliah dulu. Terus kerja, baru nikah ya. Tapi sama kamu.”

Kami saling tatap. Aku mengembangkan senyumku, tapi gadis ini justru menatapku sinis. “Kenapa gitu sama aku? Emangnya enggak ada yang lain?”

Ketika bus datang, percakapan kami terhenti. Aku dan Artha melangkah masuk, dan sama-sama diam karena bus yang terlalu padat. Sampai tiba di halte Kampung Melayu, baru Artha bicara lagi. Ia mengulang pertanyaan yang belum kujawab.

“Mau ke Gadjah Mada, Ar,” kataku. “aku mau ambil sastra Inggris yang di sana.”

Artha tak berkutik menatapku. “Yang bener?” tanyanya. Aku mengangguk. Aku sudah memikirkannya sejak lama. Pilihanku selain Universitas Gadjah Mada adalah Universitas Airlangga, kemudian Universitas Indonesia.

“Tapi kan jauh, Jak,” katanya.

Aku mengedikkan bahu. “Ya emang sih. Tapi Mama nyuruh ke sana, Ar. Kalau enggak ke sana, ya ke Airlangga.” Aku menjelaskan.

“Airlangga juga jauh, Jak,” katanya lagi.

Aku sudah tahu. “Kamu takut kangen, ya?” aku bertanya balik. Namun, bukannya menjawab, Artha justru menatapku semakin tajam. “Ye enggak mau ngaku,” tukasku.

Artha tak merespons lagi.

+ + +

“Lo masih suka ke makamnya doi, Jak?” tanya Mas Haris yang sedang duduk anteng di depan televisi sambil menggenggam stik PS. Aku hanya mengangguk, kemudian melanjutkan langkahku yang sempat terhenti. Aku langsung berbaring di atas ranjang; menyaksikan Mas Haris bermain. “Terus gue mesti sampai kapan nolongin lo sembunyiin ini dari Artha?”

Aku diam. Permainan Mas Haris juga terhenti sejenak karena ia telah memenangkannya. Laki-laki dengan kacamata berbingkai tipis itu menoleh ke belakang, lalu mengambil potongan apel yang ada di piring kecilku.

“Punya cewek jangan buat main-main, Jak. Kalau ternyata dia nantinya main di belakang lo, lo juga yang nyesel,” katanya. “Secantik-cantiknya lo main, cewek lebih bisa nyembunyiin apapun.”

“Kenapa lo tiba-tiba bahas itu, Mas?” tanyaku. Mas Haris tak berkata apapun. Ia hanya menyeringai sekilas, kemudian kembali memandang ke layar televisi. Kembali asyik dengan permainannya.

Aku juga tidak tahu apa yang kulakukan sekarang. Sejak beberapa bulan terakhir ini, aku selalu mengejar Artha, kan? Aku selalu bilang kalau aku menyukainya, aku menyayanginya, aku bahkan sering bilang kalau aku mencintainya.

Namun, ketika aku sudah mendapatkannya dengan jelas, aku justru bersikap seperti ini. Aku seperti menyia-nyiakan apa yang sudah sejak dulu kuperjuangkan. Hatiku justru jadi bimbang.

Billa kembali. Karena Artha menerimaku, ia justru membawa memori.

“Semua orang pasti pernah kangen sama mantannya, Jak. Sekalipun mereka udah pisah bertahun-tahun lalu. Tapi enggak semua kangen harus terbayar lunas, dan enggak semua kangen juga harus ngorbanin hubungan lo yang baru dengan orang yang sekarang ada sama lo,” kata Mas Haris tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisi. Aku diam, menyimak. “Kalau begitu caranya, lo enggak akan bisa bergerak maju.”

“Jadi gue mesti gimana?” tanyaku.

“Kurang-kurangin ke makamnya Billa. Pacar lo sekarang itu Artha, bukan Billa. Artha-nya jangan dinomorduakan. She is your girlfriend.” Jawaban Mas Haris sesingkat itu. Sesimpel itu.

Aku jadi ingat Artha. Mengingat momen di mana aku menemuinya di makam Billa. Untuk pertama kalinya, aku mendengar Artha mengaku kalau ia cemburu pada Billa karena aku selalu memprioritaskan Billa ketimbang Artha.

“Enggak ada cewek yang mau ditaruh di nomor dua sama pacarnya, sementara yang ada di nomor satunya itu justru mantannya si cowok. Believe me.” Aku hanya mengangguk pelan ketika Mas Haris bicara lagi. “It’s okay, Jaka. mungkin lo enggak tau masalah kayak gini. Ya karena selama ini lo emang enggak pernah lirik yang lain selain Billa, sampai sekarang. Padahal sekarang, yang selalu lo lihat itu, udah enggak ada.”

Namun satu yang membuatku berpikir sekarang. Aku tidak merasa bercerita kepada Mas Haris kalau aku lebih memprioritaskan Billa dibanding Artha. Aku tidak bercerita kalau aku selalu melihat ke Billa. Setahuku, yang Mas Haris tahu hanyalah aku sering pergi ke makam Billa tanpa izin kepada Artha.

“Iya, iya,” jawabku malas. Aku langsung meraih ponselku, menelepon Artha, lalu keluar dari kamar begitu teleponnya diangkat. Kali ini, aku harus berada di tempat yang sepi untuk bicara dengannya meskipun hanya di telepon.

“Jam sebelas malem, Jak, ya ampun,” ucap Artha begitu teleponnya diangkat. Gadis itu menguap. “Penting banget?”

“Ar, maaf,” tuturku. “Sumpah, aku enggak tau harus ngomong apa selain maaf. Aku tau ini enggak cukup, but at least, yah, begitulah.”

“Jaka kenapa?”

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro