# desakan

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Jangan coba-coba menantang.
Sekalinya dijawab bakalan susah nolak.

🍂🍂🍂

Suara alarm membangunkan Bani dari tidurnya. Entah tidur atau malah pingsan. Sebab ia sama sekali tidak ingat bagaimana bisa sampai di rumah dan masuk ke kamar. Hanya satu hal yang diingat yaitu ketika ia baru sampai di depan rumah susun.

Ia mengerang ketika merasakan pening di kepalanya. Badannya terasa sangat lemas, bahkan rasa dingin masih menusuk kulit. Padahal, ia melihat dua selimut sudah membungkus tubuhnya.

Jelas, ini tanda tubuhnya sedang tidak baik-baik saja. Ia meraih benda kotak di meja dekat tempat tidur, angka di sana menunjukkan kadar gula darahnya sedang anjlok. Ia membuka selimut perlahan dan berusaha turun dari ranjang.

Jam berapa, sih? batin Bani sambil mengecek jam di ponselnya. Masih dini hari, tapi siapa yang ada di sini sampai dini hari?

Bani berjalan pelan sambil terhuyung beberapa kali dan nyaris menabrak dinding ketika mendengar suara-suara dari arah dapurnya. Ia melihat dua sahabatnya sedang berebut untuk mencicipi masakan.

"Kalian nggak pulang?" tanya Bani sambil menarik kursi meja makannya.

"Loh, kok dah bangun? Tiduran saja, kondisimu nggak baik, Ban. Tadi sudah dibantu air gula hangat, tapi naiknya dikit banget," ucap Sesha.

Intonasi gadis berkacamata itu jauh berbeda dibanding tadi, ketika mereka baru pulang kantor. Mungkin ia merasa bersalah dan turut andil dalam tragedi tumbangnya Bani di depan rumah susun.

"Makanya kalau mau dianter tuh nggak usah sok keras kepala. Bebal sih pas dibilangin," timpal Patra yang langsung mendapat sikutan dari Sesha.

"Sori, lagi-lagi aku ngerepotin," ujar Bani pelan.

Sesha yang melihat kondisi temannya itu bergegas menuju kamar. Begitu kembali, ia membungkus tubuh Bani dengan selimut. "Masih dingin 'kan? Dipakai dulu sambil nunggu makanannya matang. "

"Kalian pulang saja."

"Kita bakal pulang setelah pastiin kamu makan dan beristirahat," jawab Sesha sambil melanjutkan acara memasak sup ayam dan jagung yang tampak mengebul dipanci.

Mereka kembali terdiam selama beberapa saat, hanya suara Giant yang menarik perhatian Bani. Ia hampir berdiri ketika Patra lebih dulu berdiri dan memberi isyarat supaya ia tetap duduk dan tidak ke mana-mana.

"Makanannya di lemari, Tra. Makasih." Suara Bani terdengar sangat lirih.

Patra mengangguk paham. Ia bahkan mengisi ulang tempat minum milih Giant. Baru setelahnya anak bulu itu bisa tenang karena asupan makanannya sudah terjamin.

Semangkuk sup berisikan jagung manis pipil dan suwiran ayam tersaji di hadapan Bani. Jika hari-hari biasa, makanan ini termasuk makanan mewah dan sangat menggugah selera untuk disantap. Namun, untuk kali ini bisa masuk beberapa suap saja sepertinya butuh usaha.

"Selesai makan, istirahat. Bukan badannya saja, tapi sama isi kepalanya juga diistirahatkan, ya?"

Bani tidak menjawab, ia masih memikirkan bagaimana memindahkan isi mangkuk tanpa membuka mulut. Rasa lemas di badannya itu sampai membuat mulutnya seperti tertutup rapat.

Patra yang duduk di seberang Bani begitu semangat mengangkat sendok. Isinya pun sudah berkurang hampir setengah. Namun, isi mangkuk Bani masih belum juga berkurang. Sesha yang duduk di sebelahnya memilih untuk mendekatkan kursi dan mengambil alih sendok milik Bani.

Diaduknya sup itu perlahan, kemudian mengambil satu sendok penuh sambil sesekali ditiup untuk mengurangi panasnya.

"Aa, buka mulutnya."

Bani menoleh dan membuka mulutnya meski terasa berat. Satu suap, dua suap, sampai nyaris setengah mangkuk sudah berkurang, tangan Bani terangkat pertanda tidak sanggup melanjutkan sesi makan malamnya. Ia berusaha menelan dengan susah payah suapan terakhir dari Sesha.

Dua temannya itu akhirnya pamit untuk kembali ke rumah masing-masing. Meski Patra sebelumnya bersikeras untuk tinggal, tetapi Bani menolak dengan alasan sahabatnya itu tetap harus bangun pagi untuk bekerja besok.

"Balik, Tra. Aku enggak apa-apa."

"Jaga diri baik-baik, Ban. Kalau butuh apa-apa segera kabari saja," ujar Patra.

"Enggak perlu sungkan sama kita, Ban." Sesha menambahkan sambil mengambil tas dan jaket yang ia letakkan di ruang tengah.

Ketiganya menuju pintu keluar, Bani ikut mengantarkan keduanya sampai sebatas pintu saja.

"Kalau misal besok aku enggak ada kabar, minta tolong uruskan surat izinku."

"Sehatkan dulu, enggak usah kepikiran sama yang lain," imbuh Sesha sebelum Bani menutup pintu rumahnya.

Dua temannya sudah pulang, sisa ia dan Giant yang sudah mulai mengantuk. Bani tidak langsung masuk ke kamar, ia memilih duduk di ruang tengah. Kepalanya bersandar dan mendongak. Pemandangan langit-langit ruangan itu menjadi pusat perhatian Bani.

Baru saja diberi tekanan, tubuhnya sudah tumbang. Mungkin benar kata orang, penyakit itu datangnya bukan dari makanan atau minuman. Makanan dan minuman hanya menjadi pencetus sepersekian persennya. Yang terbanyak adalah pikiran yang menjadi beban tubuh.

Lelaki dua puluh empat tahun itu bahkan sempat menyangkal, ia masih merasa akan tetap kuat meski berada di bawah tekanan. Termasuk desakan yang lagi-lagi datang dari orang tuanya.

Padahal belum lewat sehari dua hari, tetapi ayahnya sudah kembali menghubungi dan menanyakan perihal 250 juta yang dibutuhkan untuk keluarga. Bagaimana tidak pusing, gaji yang sisanya tidak seberapa setelah dipotong biaya hidup nyatanya diminta untuk memenuhi kebutuhan sebanyak itu.

Tarikan napas Bani terasa berat, apalagi chat dari sang ayah yang meminta untuk mempersiapkan itu semua lebih cepat dari yang dibicarakan semula. Tangan Bani terangkat dan mulai memijat keningnya.

Dari mana duit sebanyak itu? Meski kata orang badan ini kaya, masa iya mau jual ginjal? Bani tersenyum ketika pemikiran absurd menguasainya

Bani berjalan ke kamar dengan perlahan, menaiki ranjang dan mengambil ponsel yang berada di nakas. Entah apa yang tengah dipikirkannya, jemarinya langsung menggulir dan berhenti pada percakapannya dengan Pak Anton.

Lelaki dengan mata sayu itu membukanya dan menemukan bahwa pemilik nomer ternyata masih dalam status online. Ketik-hapus-ketik-hapus, begitu saja yang dilakukannya sampai tangannya tergelincir dan menekan tombol send hanya dengan satu kata 'Pak'.

Bani gelagapan dan hendak menarik pesan, tetapi yang terjadi adalah dua centang abu-abu itu sudah berubah menjadi dua centang biru.

Mampus, mampus, mampus. Berkat kesalahannya, tubuh yang sedari tadi terasa dingin mendadak kepanasan. Titik-titik keringat bermunculan di dahinya.

Dengan cepat ia mengetikkan pesan lanjutan, tapi belum juga terkirim sebuah panggilan masuk dan itu dari Pak Anton.

"Kamu masih belum tidur? Ada apa?" tanya Pak Anton dari seberang telepon.

"Enggak sengaja kepencet, Pak."

"Yakin? Atau mungkin ada yang ingin kamu sampaikan? Perihal nominal gaji yang kamu minta, mungkin?"

Bani meneguk air liurnya. Ia kembali teringat pada desakan sang ayah. Mungkin kepepet kali ini akan membawanya ke jalan keluar yang entah baik atau justru buruk untuknya.

"Sa-saya tidak ada permintaan khusus, tapi apa boleh misal saya mengajukan pinjaman dulu dan saya bayar setelah freelance dii perusahaan Pak Anton?"

"Kamu butuh berapa? Enggak kamu ganti asalkan kamu di perusahaan saya juga enggak apa-apa."

"Tidak, Pak, akan saya ganti dan lunasi semuanya."

"Terserah kamu. Butuh berapa?"

"250 juta, Pak."

Bani langsung memukul mulutnya sendiri ketika nominal itu ia sebutkan dengan sangat lancar. Berikutnya Pak Anton meminta nomer rekeningnya. Belum juga berselang sepuluh menit dari sambungan telepon yang terputus, mata Bani terbelalak melihat satu notifikasi di ponselnya.

Ia mencari nomer ponsel Pak Anton dengan tangan yang bergetar.

"Pak, ini enggak salah? Kenapa langsung percaya sama saya?"

"Kamu anggap saya main-main apa? Saya yakin kamu memang butuh. Saya percaya sama kamu."

Bani hanya sanggup terduduk lemas di atas ranjang.

🍂🍂 🍂

Day 14

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 17 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro