# dikuat-kuatin

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sekuat apa kamu?
Sekuat pikiran menguatkan tubuh dan jiwa ini.
Kuatin saja dulu, yang lain minggir!

🍂🍂🍂

Pikiran bisa sangat dahsyat mengubah kondisi fisik seseorang. Ada yang kuat secara pikiran sampai sakit pun tidak dirasa. Ada yang pemikirannya begitu rapuh, sampai mempengaruhi kondisi fisik yang menurun drastis.

"Rusak saja pikiranku, maka akan sangat mudah kamu menghancurkanku sampai ke tulang-tulangnya. Kuatkan saja pikiranku, maka benteng pun akan kalah dengan pertahananku," ucap Bani ketika ia dan kedua sahabatnya tengah berburu boneka di salah satu mesin pencapit yang ada beberapa blok dari lokasi perkantoran.

"Memangnya bisa seperti itu?" Patra bertanya sambil terus menggerakkan tuas ke kanan dan ke kiri mengincar boneka yang ia inginkan.

"Kan sudah pernah dibahas. Pikiran itu hebat, bisa merusak tanpa harus menyentuh, serang saja mentalnya, pikirannya, booom! Rusak semuanya." Sesha menambahkan sementara Bani mulai beranjak dan menuju ke mesin pencapit yang satunya.

"Caranya gimana?" tanya Patra masih dengan rasa penasarannya.

"Banyak, dari ejekan, caci maki, perundungan tuh yang paling banyak. Secara verbal terutama. Dan itu salah satu penyebab yang tidak banyak disadari. Yes, dapat!" Bani berseru ketika pencapitnya berhasil mengangkat satu boneka incarannya.

Bani yang masih terduduk di ranjang kembali mengenang bagaimana ia dan teman-temannya bisa membahas sesuatu secara random. Meski begitu pembahasan tersebut bukan asal, selalu ada hikmah yang bisa dipetik setelahnya.

Dua sahabatnya itu juga sudah paham bahwa Bani termasuk manusia yang sebenarnya tidak tahan pada tekanan. Ia selalu saja bersembunyi di balik kata iya dan senyum yang selalu terbit di wajahnya.

Mau diperintah untuk apa, mau diperlakukan bagaimana, mau diberi amanah seperti apa juga selalu dilakukan. Meski terkadang ia sendiri merasa tidak sanggup. Lalu bagaimana dengan amanah yang diberikan oleh Pak Anton untuknya? Nah, kali ini sepertinya akan berbeda.

Keputusan itu adalah mutlak pilihannya sendiri. Maka akan jauh lebih berat dari sebelumnya. Ia sudah tahu apa yang harus dilakukan dan juga resiko apa yang akan diterimanya. Mungkin penawaran jangka waktu pelunasan bisa diajukan untuk menghindari keterikatan dengan Pak Anton.

Malam itu juga Bani menuliskan poin penting yang ia buat sendiri supaya tidak bablas dalam jalinan yang dianggap sebagai kerjasama ini. Sebuah surat perjanjian pelunasan utang, dan juga poin mengenai batasan apa saja yang ia inginkan supaya aman untuk kedua belah pihak.

Seperti mendapat restu dari semesta, apa yang ia ajukan langsung mendapat persetujan dari Pak Anton. Bani bernapas lega dan mulai bisa memejamkan mata. Esok bagaimana? Biarlah apa kata esok, yang penting malam ini bisa tidur.

Pagi-pagi buta Bani sudah terbangun dan berkirim pesan pada dua sahabatnya untuk tidak memproses surat izin untuknya. Ternyata mendapat jalan keluar untuk keluarganya sangat berpengaruh untuknya.

Mobil Patra sudah terparkir di depan rumah susun tempat tinggal Bani, Sesha turun dari pintu sebelah sopir dan berpindah ke kursi belakang.

"Seharusnya enggak usah pindah enggak apa-apa, Sha."

"Enggak masalah buatku, sudah enak di sini."

"Lagian aku juga bisa berangkat sendiri enggak perlu dijemput begini, Tra."

"Iya, enggak usah dijemput, terus kamu teler lagi kayak semalam, sakit, pingsan, aku panik, Sesha panik, semua panik."

Bani menyesali ucapannya. Dua temannya itu memang paling tidak bisa melihat ia sakit. Sialnya, ia memang terlalu sering berada di kondisi yang paling tidak diinginkan Patra dan Sesha.

"Besok-besok misal aku enggak ada kabar, susulin saja ke rumah. Mungkin aku sibuknya di rumah," ujar Bani.

Patra menoleh sebentar sambil memandangi sahabatnya itu sekilas lalu kembali fokus pada jalanan yang lumayan padat di depannya. Sementara Sesha hanya mengangguk sambil memeriksa beberapa berkas di tablet tempat ia menyimpan hasil pekerjaannya.

Sejak keputusan itu diambil, Bani sudah berusaha untuk memilah dan memilih apa saja yang harus dilakukan. Membagi waktunya, menguatkan tubuhnya, mengurangi kegiatan yang sekiranya terlalu menguras tenaga.

Baru saja ia berencana memulai pekerjaan dari perusahaan Pak Anton, tiba-tiba Pak Chiko memberitahukan bahwa investor dari negara tetangga akan datang dan meninjau hasil produksi di pabrik langsung. Bani ditugaskan untuk menemaninya.

Apabila investor datang, maka selanjutnya adalah laporan hasil pengembangan dan juga beberapa data harus ia siapkan untuk disampaikan ketika rapat. Hal ini adalah pekerjaan kolaborasi yang harus ia kerjakan bersama Septa.

"Kamu siapkan saja materinya, nanti aku yang gandakan. Kamu kan juga dibutuhkan buat nemenin Pak Chiko."

"Makasih, Sep, untuk kali ini kamu banyak membantu," ujar Bani sambil hendak menepuk bahu Septa.

Septa mundur selangkah guna menghidar dari jangkauan tangan Bani, "Enggak usah lebay!"

Bani menggeleng sebab tak paham lagi dengan apa yang rekan kerjanya pikirkan. Ia berusaha baik salah, berusaha cuek juga makin salah. Septa berlalu setelah selesai memeriksa beberapa berkas. Sementar Bani mengambil buku catatannya dan menulis beberapa catatan untuk perusahaan milik Pak Anton.

Meski sudah modern, Bani masih lebih suka menulis secara manual daripada menulis catatan di ponsel atau notepad seperti kebanyakan pekerja lainnya. Menurutnya, goresan tangan itu jauh lebih nyaman untuk dibaca ulang dan bisa menaikkan mood ketika melihatnya.

"Halo, iya, Yah?"

"Gimana? Sudah ada?"

"Bentar, kasih tambahan waktu. Itu bukan nominal yang sedikit, Yah."

"Gimana, sih? Ini sudah dekat tenggat waktunya, loh. Kamu mau permainkan Ayah?"

"Ya, kasih waktu sedikit lagi, minimal Minggu depan, Yah."

"Minggu depan, ya? Awas jangan meleset."

Ayah Bani langsung memutus sambungan teleponnya begitu tahu putranya tidak bisa memenuhi permintaan yang sudah disampaikan beberapa waktu lalu. Bukankah uang yang diinginkan sudah ada? Lantas, mengapa Bani memilih untuk tidak berterus terang?

Sengaja. Bukan tanpa alasan Bani melakukan hal itu. Ia tidak ingin sang ayah berpikir bahwa dirinya dengan mudah bisa mendapat uang dalam waktu singkat, padahal nominalnya sangat besar. Supaya tidak menjadi kebiaasaan saat kepepet.

Bukankah bebannya saja sudah cukup berat? Harus menghadapi dua pangeran keluarga Hutama dengan kepribadian yang sangat jauh berbeda. Jika sang ayah tahu bahwa ia dapat dengan mudah, maka bukan tidak mungkin sang ayah akan mengulanginya lagi.

Sanggup, kok. Nanti akan ada jalan keluar untuk mempermudah. Sebab niatan ini untuk membantu keluarga, maka akan ada jalan lain untuk membantuku, batin Bani sambil menatap ponsel yang barus saja ia letakkan di atas meja.

"Ban, di pabrik ada insiden kecelakaan kerja. Pak Chiko minta kamu untuk pantau dan atasi secara langsung," ujar Septa yang memunculkan kepalanya di pintu masuk.

"Kapan Pak Chiko bilang?"

Septa mengangkat ponselnya dan memperlihatkan bahwa ia masih tersambung dengan sang atasan. "Baik, Pak. Sudah saya sampaikan sama Bani. Dia ..., siap berangkat."

Bani langsung bergegas berlari ketika tahu sambungan telepon itu masih terhubung pada Pak Chiko. Ia melewati Septa sambil menepuk bahunya sambil mengucapkan terima kasih tanpa suara.

Langkah kaki Bani melambat ketika ponselnya berdering. Ia melihat nama Septa tertera di sana.

"Halo?"

"Pakai mobil perusahaan. Kamu ditunggu di basement, tempat parkir bagian ujung."

"Siap!"

Bani merubah arah kakinya dan bergegas menuju lift yang akan membawanya ke lantai dasar. Ia berlari lebih cepat supaya orang-orang di sana tidak terlalu lama menunggunya.

Setelah sampai, ia langsung masuk ke dalam mobil dengan napas yang terengah-engah. Napasnya benar-benar tidak teratur, setelah diingat-ingat lagi, entah sudah berapa lama ia tidak pernah berlari secepat itu.

Kuat, kuat. Ingat utangmu masih belum berkurang, batin Bani sambil terus berusaha menormalkan napasnya.

🍂🍂 🍂

Day 15

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 18 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro