# ingin membelah diri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Memang dasar manusianya saja.
Diberi kemampuan, tapi terkadang jarang puas.
Ingin ini, itu, banyak sekali.
Sadar diri dong!

🍂🍂🍂

Penat, itu yang Bani rasakan selama beberapa hari belakangan. Kegiatannya hanya berkisar kantor, rumah, kantor, rumah, itu saja. Bahkan waktu mainnya dengan Giant juga tidak banyak. Sampai di satu titik si anak bulu itu enggan untuk keluar kandang.

Kucing kesayangannya itu hanya berdiam di dalam kandang dan tiduran saja. Bani memanggilnya berkali-kali, ia bahkan mengeluarkan makanan basah kesukaan Giant, tetapi semua itu diabaikan.

"Jangan ngambek, dong. Maaf, kemarin tuh sibuk. Terus di kantor juga padat banget. Mana Pak Anton minta segera presentasi untuk hasil kerjaku."

Giant menatap Bani dengan mata sayu, hanya sebentar, lalu si kucing kembali bergelung. Bani mengamati kucingnya sekali lagi. Seperti ada yang tidak beres dengan anak bulunya ini.

"Giant, keluar, yuk," pinta Bani sambil mengulurkan tangannya.

Biasanya Giant akan langsung melompat keluar kandang jika sang babu menjulurkan tangan, tetapi ini berbeda. Si kucing mengerutkan badannya dengan kepala yang bergerak maju dan mundur. Anak bulu berwarna oren itu juga membuka mulutnya dan mengeluarkan bunyi aneh.

Setelah beberapa saat, Giant justru memuntahkan makanan yang baru saja dimakan. Bani panik, ia langsung mengangkat kucing itu dan memeriksanya. Ketika sampai dipelukannya, badan Giant mendadak lemas seperti tak bertulang.

"Gi, jangan bikin aku takut. Giant kenapa? Woi!" Bani mengguncang tubuh kucingnya dengan sedikit keras.

Merasa tidak ada respon, Bani bergegas ke kamarnya mengambil ponsel dan dompet. Dengan Giant yang masih berada di pelukannya, Bani bergegas menuju klinik dokter hewan di sekitar rumah susun.

Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam. Besar harapan Bani klinik tersebut masih buka, atau setidaknya ada yang masih berjaga di sana. Jalur yang ditempuh tidak terlalu jauh, belum sampai lima menit berjalan dengan cepat, papan nama klinik sudah terlihat.

Dengan napas yang memburu, Bani langsung masuk, ia disambut oleh seorang laki-laki yang langsung mengambil Giant dari gendongannya.

"Dia tiba-tiba banyak diam, enggak seaktif biasanya. Barusan juga muntah dan tiba-tiba lemas begitu. Dia kenapa?"

"Makan, minum, sama kebersihan kandangnya gimana? Aman?"

Bani mendadak kikuk ketika mendapat pertanyaan tersebut. Jujur saja selama beberapa hari ia sadar bahwa perhatiannya pada Giant sangat berkurang.

"Belakangan saya lalai soal kebersihan kandangnya, makanannya juga saya tambah saja setiap harinya, begitu juga sama minumnya. Saya juga lupa kasih vitaminnya." Bani menjelaskan dengan detail perihal kelalaiannya.

"Dugaan sementara ada kaitannya dengan dehidrasi dan kebersihan, bisa juga ada infeksi, tapi untuk lebih lanjutnya bisa dilakukan tes skrining. Bermalam di sini dulu, boleh?"

Bani mengangguk cepat. Apa saja akan ia lakukan supaya Giant segera membaik dan kembali lagi ke rumah menemani harinya. Ia mengurus segala administrasi, meninggalkan nomer ponselnya dan juga alamat tempat tinggalnya.

"Boleh saya minta kabar perkembangannya setelah dapat penanganan?"

"Nanti kami beri kabar secara berkala. Semoga bisa segera sehat lagi."

Lelaki dua puluh empat tahun itu mendekat ke arah kandang rawat Giant. Ia mengelus pelan anak bulunya dengan mata berkaca-kaca. Sakit sekali rasanya melihat majikannya itu tidak berdaya.

"Baik-baik, ya. Kalau sehat aku janji bakal lebih perhatian."

Giant membuka matanya perlahan lalu berkedip sekali. Begitu saja terlihat begitu melelahkan untuk si kucing oren. Mata sayunya lalu tertutup lagi.

Bani pulang dengan langkah lunglai. Malam ini tidak akan terdengar suara kucing kesayangannya itu merajuk dan minta bermain tengah malam. Meski begitu, setidaknya malam ini ia bisa fokus untuk menyampaikan hal-hal penting yang diminta oleh Pak Anton.

Beberapa persiapan sudah dilalui, berkas juga sudah dikirim melalui surel pada Pak Anton. Tinggal menunggu kesepakatan saja akan mempresentasikan via zoom atau google meet.

Definisi kerja habis-habisan, siang malam tidak peduli asalkan utang bisa terlunasi. Itulah yang Bani pegang. Ternyata menanggung utang dengan nominal besar itu tidak menjamin hidupnya tenang. Ibarat kata ia menggali lubang untuk menutup lubang permasalahan keluarganya.

Ternyata daripada memilih dua aplikasi pertemuan daring, Pak Anton lebih memilih panggilan video di Whatsapp. Lebih ringkas dan to the point karena ia tidak perlu presentasi secara data.

"Bani, tidak perlu panjang-panjang menjelaskan karena apa yang kamu kirim sudah sangat detail. Saya hanya ingin tahu saja, menurut kamu yang bisa jadi best seller yang mana?"

"Saya rasa beberapa jenis minuman memiliki peluang yang nyaris sama. Karena semakin jarang ditemui, rasa penasaran pembeli semakin tinggi. Misalnya Teh Talua, Bajigur, Bir Pletok, Sarabba, STMJ, bisa menjadi peluang yang bagus."

"Nice, enggak salah saya percaya sama kamu. Mengenai kemasannya bagaimana?"

"Itu masih menjadi pembahasan ulang, Pak. Karena kita akan memilih bahan yang ramah lingkungan, tetapi aman untuk dipanaskan karena produk kita kebanyakan dasarnya minuman yang dikonsumsi dalam keadaan hangat."

"Oke, cukup sampai situ saja. Saya tunggu kesepakatan berikutnya."

"Baik, Pak. Terima kasih."

Setelah sambungan panggilan video berakhir. Bani merebahkan tubuhnya. Ia merasa sedikit lega karena setidaknya sepertiga pekerjaannya bersama Pak Anton sudah dijalani. Meski begitu, kadang lelah yang ia hadapi ini sangat tidak biasa.

Di dalam beberapa kesempatan Pak Anton seringkali membuat lelucon. Hal itulah yang membuat anak keluarga Hutama itu tampak berbeda. Si sulung yang matrealistis lebih cenderung sedikit kaku dalam bercanda, tetapi si bungsu terlalu lepas dalam bercanda.

"Ban, bisa enggak kalau kamu diduplikat? Kan lumayan, kerja di saya sama kakak saya sekaligus." Pak Anton berujar sambil mengangkat tangannya dan mengarahkan ke arah Bani juga ke sisi kosong di sebelahnya. Seolah di sana ada Bani kedua.

"Saya bukan amoeba yang bisa membelah diri, Pak. Apa mau pinjam jurus Naruto?"

"Yaa, yang mana saja boleh asalkan kamunya ada dua. Biar saya sama kakak enggak rebutan begini."

Pemikiran absurd Pak Anton seringkali membuat Bani geleng-geleng. Semula ia mengira si bungsu keluarga Hutama ini akan menyeramkan dan kaku seperti sang kakak. Ternyata yang ia duga sangat jauh berbeda.

Setelah puas merenung sambil mengingat kegiatan apa saja yang akan ia lakukan besok, Bani akhirnya memilih untuk tidur. Harinya masih akan sangat panjang. Belum lagi persoalan Giant yang lumayan menyita perhatiannya.

Beberapa kali dering ponselnya terdengar, tetapi mata Bani terlalu rapat untuk dibuka. Bekerja sampai lewat tengah malam sangat melelahkan dan membuatnya tidak bisa bangun pagi hari ini.

Alarm yang ia pasang untuk membangunkannya juga sudah beberapa kali berbunyi, tetapi berakhir dengan tangan Bani yang mematikannya, kemudian lanjut tidur lagi. Kalau dituruti, mungkin sampai matahari berata di atas kepala ia tidak akan bangun.

Teleponnya masih berbunyi, ia membuka mata dan melihat satu nomer tidak dikenal sedang meneleponnya. Semua Bani mengabaikannya. Sampai panggilan kedua dari Sesha barulah ia angkat.

"Sudah siang, nanti terlambat ngantor. Mau ngantor enggak?"

"Hm, ngantor. Bentar kumpulin nyawa dulu."

"Cepetan!"

"Oke."

Sambungan telepon dari Sesha terputus, berganti nomer baru lagi yang menghubungi.

"Halo?" ucap Bani.

"Selamat pagi, dengan Bapak Sonny Sibarani? Maaf, kami dari klinik dokter hewan, sekali lagi kami mohon maaf karena ..."

Bani tidak menunggu lanjutan dari si penelepon. Ia melompat dan langsung menuju pintu. Dengan langkah tergesa ia melesat menuju ke klinik yang didatangi semalam. Permintaan maaf dari petugas itu seperti memiliki konotasi negatif. Isi kepalanya sudah tidak bisa berpikir normal. Ia takut Giant kenapa-kenapa.

🍂🍂 🍂

Day 16

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 19 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro