# bukan teman, tapi perhatian

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Jangan pernah takut untuk dibenci
atau tidak disukai.
Terkadang rival sejati itu adalah teman sejati.
Ia tahu semua tentang kita.
Katanya benci?
Lah, tapi kok paham semua tentang kita?

🍂🍂🍂

Tepat saat Bani keluar dari area rumah susun, barulah ia sadar bahwa matahari sudah sedikit naik. Ia memilih untuk mengabaikan keterlambatannya nanti, ia juga mengabaikan orang-orang yang memandangnya.

Hanya satu yang ada di pikirannya, Giant. Ia sudah tidak bisa berpikir yang lainnya. Kucing oreng itu selayaknya teman hidup. Pengisi hari-harinya yang terkadang melelahkan.

Perlu bukti seberapa besar sayangnya Bani pada anak bulunya itu? Bahkan ketika ia sakit, ia lebih memilih membawa Giant terlebih dahulu ke dokter hewan sebelum ia sendiri mendapat perawatan. Sudah bukan rahasia umum, memelihara kucing terkadang juga menguras kantong.

Pintu klinik sudah terbuka, ia langsung menuju tempat Giant dirawat semalam. Kakinya terasa lemas ketika ia melihat kandang itu kosong dan hanya menyisakan alas dan tempat makan.

"M-mas, kucing saya? Kucing saya gimana? Kenapa? Ada apa dengan Giant?"

"Oh, pemiliknya kucing oren, ya?"

Bani mengangguk dengan sangat cepat. Sambil juga mengatur detak jantung yang belum juga normal.

"Ada apa? Kenapa kandangnya kosong?Semalam masih di situ."

"Mohon maaf, Pak, kami tadi ingin memberitahukan kabar tentang perawatan lanjutan untuk dia. Sekarang sedang dibersihkan dan akan tes skrining dulu sampai selesai."

Lelaki yang keluar rumah dengan menggunakan kaos polos dan celana training itu langsung terduduk. Perasaannya jauh lebih lega karena kekhawatirannya ternyata berlebihan. Buktinya, si oren sedang menjalani perawatan.

Rambut acak-acakan, lingkaran hitam di bawah mata, serta wajah yang lusuh membuat penjaga meja depan klinik tersebut merasa iba. Ia mengambilkan segelas air kemasan dan menyodorkannya pada Bani.

"Saya panik, takut dia kenapa-kenapa."

"Diminum dulu biar lebih tenang," ucap si perempuan di hadapannya.

Siapapun yang penyayang binatang setidaknya pernah berada di posisi seperti Bani. Maka setidaknya saling menghargai saja jika sesama penyayang binatang sedang dalam kesulitan.

"Nanti kabari ke saya lagi, ya? Tapi to the point, biar saya enggak panik."

Ada sedikit kelegaan yang muncul setelah tahu bahwa anak bulunya sudah lebih baik dari semalam. Bani lantas pamit pulang karena jam sudah menunjukkan pukul setengah delapan pagi.

Beruntung ia masih bisa menyelamatkan data kedatangannya ke kantor. Meski tidak terlambat, tapi nyaris saja. Ia langsung sibuk di balik meja kerjanya.

Kebetulan hari Pak Chiko meminta laporan kerusakan dari kejadian tempo hari. Mau tidak mau Bani harus menyelesaikan sebelum si bos datang. Setengah jam berlalu, Pak Chiko datang dan masuk ke ruangan. Bani menyusul sambil membawa berkas yang diminta.

"Permisi, Pak. Mau setor laporan kerusakan insiden tempo hari. Tidak terlalu banyak, tetapi jika diabaikan dan tidak ada tindak lanjut termasuk pemeriksaan ulang, itu bisa membahayakan pekerja."

"Oke, saya terima. Nanti saya kabari lagi bagaimana kelanjutannya."

Bani sudah berbalik dan hampir mencapai pintu ketika Pak Chiko memanggilnya.

"Apa ada yang ingin kamu sampaikan?"

Pertanyaan itu hanya dijawab dengan gelengan kepala. Bani menjadi kikuk sendiri dan tidak nyaman. Ia berpikir mungkin Pak Chiko tahu sesuatu tentangnya dan sang adik.

"Omset kita dari bulan lalu, bagaimana? Naik 'kan? Kalau naik sampai di atas 5% akan ada bonus khusus untuk kamu. Hanya untuk kamu saja. Karena ini kerja kerasmu."

"Terima kasih, Pak. Saya pamit dulu."

Bani kembali lagi ke balik meja kerjanya dan membuka laporan keuangan yang baru diterimanya. Seketika itu matanya berbinar. Ia saja melihat deretan angka fantastis itu langsung bahagia, apalagi Pak Chiko nanti?

"Oy, Ban, semalam ngapain lari-lari sambil gendong Giant?" tanya Septa dengan mata yang masih tertuju pada layar komputer.

Ada yang berbeda hari ini, Bani yang sudah terbiasa dengan keheningan mendadak merasa aneh ketika Septa yang membuka pembicaraan di ruangan itu.

"Giant sakit, aku bawa ke klinik dokter hewan samping rumah makan."

"Oh. Terus, kabarnya sekarang gimana? Sudah baikan?"

"Kamu tuh tumben banget tanya-tanya begitu? Sudah mau temenan sama aku?"

Mata Septa yang awalnya menatap layar komputer beralih memandang Bani yang berada di seberang meja.

"Cih! Lupakan, lupakan. Anggap aku enggak pernah tanya apa-apa." Septa berujar sambil membuang muka.

Lagi pula ini di luar kebiasaan Bani. Baru kali ini Septa menunjukkan sisi pedulinya pada kucing peliharaannya. Jangan pada Giant, akhir-akhir ini Bani juga melihat perubahan yang besar dari Septa.

Bahkan ia pernah tanpa sengaja memergoki rekan kerjanya itu mengisi toples permen coklat yang ada di meja kerjanya. Semula Bani tidak menyadarinya, hanya saja ia merasa permen cokelat yang diambil setiap hari itu tidak berkurang. Justru terkadang isinya menjadi lebih banyak.

"Sep, makasih, ya?"

"Untuk apa? Aku enggak pernah ngelakuin apa-apa. Apalagi untuk kamu. Tidak pernah!"

Bukannya kesal Bani justru terkikik mendengar penyangkalan dari Bani. Mereka yang biasanya tidak akur, belakangan justru sangat tentram

"Makasih karena kamu sudah peduli."

Mendengar ucapan Bani, raut wajah Septa menjadi berubah. Ada semburat merah dan terkesan malu.

"Enggak, siapa yang peduli?"

Septa masih saja berkilah. Ia melengos ketika hendak beradu pandang dengan Bani. Rasa gugupnya semakin menjadi ketika Bani justru tersenyum ke arahnya.

"Kami itu jangan GR dulu. Aku enggak suka kamu di sini. Padahal aku bisa kerjain tugasmu, tapi malah kamu yang kebagian. Kita? Berteman? Hah, sangat tidak mungkin, Ban."

Bani tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk dan mengabaikan pernyataan terakhir dari Septa.

"Iya, aku tahu. Kamu yang perhatian sama Giant, terus kamu yg sering isi ulang permen cokelat ini," ucap Bani sambil menunjuk toples di hadapannya.

Lagi-lagi Septa menyangkal. Akhirnya ia memilih pergi dari ruangan sambil mengomel panjang. Padahal menurut Bani akan jauh lebih mudah jika Septa langsung menjawab iya.

Lah, ini malah Septa enggak ingin rahasianya bocor karena diam-diam membantu Bani.

Manusia aneh. Ketahuan berbuat baik kok malah malu. Padahal dulu dia sendiri yang bilang enggak suka sama kehadiranku. Sekarang malah berbeda, batin Bani.

Bani masih tetap bekerja meski Septa tidak ada di tempat. Sampai saat jam makan siang, Bani memilih turun dan menuju kantin. Sekaligus bertemu dengan kedua sahabatnya.

Ketika kembali dari makan siang, ia justru dikejutkan dengan Septa yang terpana memandang layar komputernya. Kantong plastik yang dibawa sampai terjatuh.

Lelaki pemilik kucing oren itu mendadak bahagia ketika melihat isi dari kantong plastik. Beberapa vitamin dan makanan basah yang ia yakini itu hadiah Septa untuk Giant.

"Makasih, ya, kamu peduli sama Giant."

Setidaknya Bani berharap ucapannya itu bisa dibalas oleh Septa dengan sama-sama, atau minimal kata iya.

Septa menoleh pada Bani yang sudah berdiri di sampingnya.

"Benar dugaanku. Kamu mengkhianati CV. Tamafood dan bergabung dengan Pak Anton."

Seketika itu pandangan tak enak langsung terpancar dari wajah Septa. Bani langsung mengikuti arah pandangan teman satu ruangannya itu.

Mata Bani terbuka lebar ketika melihat sajian data dengan nama perusahaan Pak Anton sedang terbuka di layar komputer.

"B-bukan. Bukan seperti itu. Kamu salah paham, Sep."

"Salah paham apa? Ini sudah lebih dari cukup sebagai bukti," ucap Septa sambil mengambil ponselnya dari saku dan memotret layar komputer di hadapannya.

🍂🍂 🍂

Day 17

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 20 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro