# ketar-ketir

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng


Terima kasih kepada pikiran yang sanggup memanipulasi semua.
Terkadang pikiran seperti itu, terlalu jauh sampai akhirnya malah pusing sendiri

🍂🍂🍂

Sungguh tidak pernah terpikirkan sebelumnya bahwa rahasia yang ia simpan akan dengan mudah bocor karena kecerobohannya sendiri. Ya, kecerobohannya yang lupa bahwa seharusnya tidak membuka pekerjaan itu di kantornya.

Buah dari itu semua, Septa seperti semakin menjaga jarak. Dari yang sebelumnya memang tidak ingin dekat, jaraknya kini semakin jauh. Bani sudah tidak bisa berpikir jernih saat ini.

Belum selesai memikirkan soal kucing kesayangan, masalah bertambah lagi.

Sial memang enggak pernah jauh dari aku. Nasib, nasib! ucap Bani sambil mulai membereskan barang-barangnya.

Ia membawa beberapa barang yang mungkin sudah tidak diperlukan lagi. Bani mempersiapkan dirinya, mungkin tidak lama lagi akan berada di CV. Tamafood karena kesalahannya kali ini sangat tidak bisa ditoleransi lagi.

Ia pulang, tetapi sebelum itu masih mampir ke klinik dokter hewan untuk menjemput Giant yang sudah membaik. Hanya si gembul oren yang bisa menghiburnya kali ini. Ia sendiri juga tidak mungkin meminta bantuan dari teman-temannya.

Begitu sampai di halaman rumah susun, ia berjalan dengan santai sampai tidak sadar bahwa ada dua temannya menunggu di sana.

"Ban!" panggil Patra sekali. "Oy, Sonny Sibarani! Dipanggil enggak nyaut."

Bani menoleh ke kanan dan ke kiri sampai matanya menangkap keberadaan temannya itu. Ia yang masih mendekap erat kucing kesayangannya itu menghentikan langkah dan menunggu Sesha dan Patra mendekat.

Patra yang lebih dulu sampai mengambil ransel di punggung Bani yang tampak lebih berat dari biasanya. Sementara Sesha mengambil alih Giant dari gendongan Bani.

"Ayo pulang. Nanti aku masakin sesuatu. Bahan-bahan sudah siap di tas kita."

Sesha melangkah lebih dulu dan meninggalkan Bani yang masih terpaku. Sementara Bani yang meletakkan ransel Bani di bagian depan tubuhnya langsung menggaet tangan sahabatnya dan menariknya untuk segera berjalan.

"Kita sudah beli tempura-tempuraan, sosis-sosisan, terus sama beberapa seafood, ada juga daging-dagingan. Pokoknya malam ini makan banyak, yaa?

Patra terus menggandeng tangan Bani sambil berbicara tentang apa saja yang sudah sahabatnya itu sampaikan. Sementara si pemilik rumah justru terdiam tanpa kata. Si lelaki pemilik kucing oren itu tidak bisa menerka apa yang sudah terjadi kali ini.

"Giant, baik-baik, yaa. Ini makananmu, ini minumanmu. Tuh, lihat, kandang juga sudah bersih. Yakin saja kalau Bani tuh masih sayang sama kamu. Jangan tinggalin dia, ya?"

Bani bergeming mendengar ucapan Patra. Terasa sangat dalam dan bermakna. Belum lagi dengan Sesha yang langsung mondar-mandir di dapur untuk mempersiapkan masakannya.

Kompor mini beserta panggangan sudah siap di tengah meja. Beberapa sayuran juga sudah dihidangkan. Dengan beberapa macam saus yang juga sudah dipersiapkan.

"Sini, sudah siap. Kalian cuci tangan dulu," ucap Sesha.

Bani dan Patra melangkah bersamaan dan mengikuti perintah Sesha. Selain karena tidak bisa membantah, cacing di perut dua lelaki itu sudah berdendang.

Bani berdeham setelah duduk di kursi. Ia menunduk dan tidak berani menatap kedua temannya itu.

"Hm, ada yang mau aku sampaikan."

"Makan saja dulu. Nanti bisa kita bahas setelah makan," ucap Sesha sambil mulai meletakkan bahan makanan ke panggangan yang sudah mengebul.

"Iya, ini sudah lapar banget loh." Patra menambahkan.

"Sehabis makan justru enggak enak. Aku enggak bisa makan dengan lega."

Sesha meletakkan pencapit dan mematikan kompor kemudian menatap Bani dengan sangat intens. Begitu juga dengan Patra yang mengikuti tingkah laku Sesha.

"Sok, apa yang mau disampaikan? Kamu mau ngomong, tapi enggak berani natap kita. Kenapa?"

Bani mengangkat wajahnya dan menatap kedua sahabat bergantian. Namun, setelah itu ia justru kembali menunduk semakin dalam dengan helaan napas yang sangat terdengar.

"Kalau aku bikin salah, kalian mau maafin?"

"Salah macam apa dulu? Tergantung fatal atau enggak." Sesha berucap dengan mata yang tak pernah lepas memandang Bani.

Patra terdiam, ia hanya mengikuti kedua temannya itu berbicara. Sebentar menoleh ke Sesha, sebentar menoleh ke Bani karena ia berada di tengah, sementara Bani dan Sesha berhadapan.

"Aku kerja sama Pak Anton sebagai freelancer karena butuh uang untuk keluarga di kampung sebesar 250 juta."

Untuk beberapa detik, suasana di ruangan itu hening. Bahkan suara detak jam dinding terdengar begitu keras.

"Jadi desas-desus kamu berkhianat dari Pak Chiko itu benar?"

"Aku enggak begitu. Aku justru ingin menyatukan mereka. Lagipula apa yang aku kerjakan enggak menghancurkan Tamafood."

"Mau kamu bilang enggak salah, tapi tindakanmu yang begitu akan tetap dinilai salah. Semua orang tahu bahwa kakak-beradik itu tidak aku." Sesha masih berusaha untuk berbicara dengan intonasi yang tenang.

Bani menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi. Ia menatap kepada dua sahabatnya secara bergantian.

"Aku bikin konsep yang berbeda dengan Tamafood supaya keduanya bisa akur. Tama-B, perusahaan Pak Anton itu akan bergerak di bidang minuman. Hutamafood yang dulu sebagai anak cabang dari Tamafood akan menjadi Tama-B. B disitu maksudnya adalah baverage. Sengaja aku bikin konsep begitu biar mereka bisa kolaborasi dan akur."

"Ban, aku paham dengan maksudmu, tapi semua orang tidak akan mudah percaya begitu saja. Pak Anton itu ingin menguasaimu. Ingin kamu ada di dekatnya. Kamu paham nggak?"

Patra yang sedari tadi diam akhirnya angkat bicara dengan nada yang keras. Mungkin ia sedikit gemas dengan kepolosan teman dekatnya ini.

"Aku bikin perjanjian sebelum kerja. Aku kerja sama Pak Anton hanya sampai utangku lunas dan juga perusahaan sudah berjalan. Sedikit lagi, hanya sepertiga lagi sisa yang belum aku sampaikan."

Sesha mengangguk paham dan mulai menyalakan kompor. Ia memasukkan bahan makanan lain sambil mengusap bumbu yang ada.

"Sha, aku belum selesai. Masih ...,"

"Ban, aku anggap kamu sudah selesai. Kamu sudah dewasa bahkan sudah punya rencana sendiri. Kamu juga sudah berpikir lebih jauh. Aku percaya."

Rongga dada Bani yang semula bergemuruh dengan hebat mendadak menghangat mendengar ucapan Sesha. Sungguh ia tidak membutuhkan penghakiman atas pilihannya. Sebisa mungkin ia hanya butuh dukungan dan semangat supaya bisa melaluinya.

"A-aku juga percaya," ucap Patra sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi.

Suasana malam ini ternyata lebih hangat dari yang Bani bayangkan sebelumnya. Pikirannya terlalu jauh sampai ia sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Persetan dengan apa yang akan terjadi esok, yang penting malam ini ia kenyang dan bisa tidur nyenyak.

Bani terbangun dengan tubuh yang amat segar. Kadar gula darahnya cukup stabil. Apalagi suasana hatinya juga sudah lumayan nyaman. Ternyata suasana hati sangat berpengaruh untuk dirinya.

"Ban, ditunggu sama Pak Chiko di ruangannya. Dari tadi sudah nungguin kamu. Siapin diri, yaa. Jangan-jangan ini hari terakhirmu di sini."

Ucapan Septa saat kepalanya baru saja muncul di pintu membuat suasana hati yang tadinya baik menjadi remuk. Ia mendadak gemetar dan gugup untuk bertemu dengan Pak Chiko.

Ia paham betul dengan segala resikonya. Hanya saja apa yang ia lakukan sudah bisa disimpulkan itu hal yang amat fatal. Ia menarik napas dan melepaskannya secara perlahan. Langkah kakinya mantap menuju ruangan Pak Chiko.

Di luar ia sudah membayangkan bagaimana wajah marah Pak Chiko. Apalagi Septa baru saja mengatakan bahwa Pak Anton juga berada di sana.

Septa tertawa ketika melihat Bani sedikit gemetar ketika membuka pintu. Ingin sekali Bani memberi Septa bunga sekaligus dengan potnya ketika melihat hal itu.

Bani membayangkan suasana yang sangat menegangkan di dalam sana. Lalu ia membuat pergerakan yang sangat lambat. Ia mengetuk pelan dan mendorong pintu.

Gelak tawa justru menyambut kehadirannya. Dua kakak beradik di ruangan itu tertawa lebar dan memanggilnya supaya lekas mendekat.

🍂🍂 🍂

Day 18

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 21 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro