# jalan ke kiri

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ada masa ketika aku merasa iri,
tetapi ini jalan ceritaku.
Jalan cerita kita berbeda-beda,
jangan mencoba untuk menyamakannya dengan yang lain

🍂🍂🍂

Beristirahat di akhir pekan rasanya sudah cukup membuat Bani bosan. Kedua sahabatnya begitu protektif melarangnya ini dan itu. Ia sangat tidak sabar menunggu hari Senin datang. Saat yang lainnya merasa kesal dengan hari Senin, Bani berbeda. Ia menunggu hari itu supaya segera lepas dari dua temannya.

"Giant, maaf ya, jadwal main akhir pekan berantakan. Nanti malam aku coba pulang cepat." Bani mengelus punggung kucingnya yang lembut.

Diangkatnya kucing berbulu lebat itu, diciumnya berkali-kali sampai si anak bulu memberontak dan berusaha untuk lepas dari tangan babunya. Merasa jam sudah siang, Bani bergegas memasukkan Giant ke dalam kandang. Tidak lupa ia mengisi ulang makanan dan minuman untuk kucingnya.

Bani bergegas bersiap menuju tempatnya bekerja. Langkah kakinya terasa ringan. Ia menyapa beberapa penghuni rumah susun yang akan berangkat kerja. Wajah riangnya jauh berbeda dengan keadaannya kemarin.

"Selamat pagi, Pak De," sapa Bani kepada seorang satpam dengan wajah sangar dan berkumis.

"Pagi, Ban, cerah banget wajahnya."

"Harus, Pak De. Hari Senin itu harus cerah ceria biar seminggu nanti harinya selalu ceria."

"Amin, semoga harinya selalu ceria, ya."

Lambaian tangan mengakhiri pertemuan mereka. Bani memasuki gedung tempatnya bekerja, sementara Pak De kembali pada tugasnya sebagai satpam. Tarikan napas Bani terasa ringan sebab suasana hati yang membaik.

Baru sampai di depan lift, beberapa orang berkerumun untuk bergantian masuk. Merasa lift sudah penuh sesak, Bani memilih untuk mundur dan menunggu yang berikutnya. Bosan? Ah, sudah biasa baginya untuk menunggu bahkan untuk jangka waktu yang lumayan lama.

Kepalanya menoleh ke kanan dan ke kiri berharap ia bertemu dengan seseorang yang dikenal dari divisi yang sama. Namun, tidak ada yang seorang pun di sana. Ia hanya berdiri memandang ujung sepatunya sambil memainkan tanda pengenal di dekat saku kemeja.

Penampilannya kali ini sangat ia suka, kemeja berwarna hijau pastel polos dengan kancing kerah yang dibuka di bagian atasnya, lengan yang sengaja digulung, menambah kadar rasa percaya dirinya yang semula anjlok menjadi sedikit meningkat.

Mata sipit dan garis rahang yang tegas sepertinya tidak mungkin untuk tidak dilirik oleh kaum hawa. Sayangnya, Bani bukan tergolong manusia yang suka tebar pesona. Cukuplah namanya saja yang dikenal.

Lift sudah membawanya ke area divisi tempatnya bekerja. Ia menempati ruangan yang sama dengan Septa, manusia yang suka mencari gara-gara dengannya. Baru saja memasuki pintu, ia sudah mendapati wajah partner kerjanya itu tampak kesal.

"Pak Bos bolak-balik nyariin dan mastiin kalau kamu masuk kerja. Kalau datang disuruh langsung menghadap. Oh, satu lagi, Pak Bos menolakku untuk mengatur jadwalnya bertemu Mr. Shean. Katanya cukup kamu saja yang mengatur," ujar Septa dengan nada penuh penekanan di akhir ucapannya.

Bani ingin menyela sedikit saja ketika Septa terus berbicara, tetapi ucapan Septa yang sangat padat dan berisi itu sungguh sulit untuk ditembus. Jangan cari perkara dengan Septa jika ia sudah berbicara, Sesha yang seorang perempuan saja bisa kalah berdebat dengannya.

"Untuk apa aku bekerja, kalau pekerjaanku sudah ada yang menggantikan. Untuk apa aku berada di balik meja ini jika yang di sana sudah mengaturnya. Aku hanya ingin ketenangan. Berikan aku ketenangan!" ucap Septa seolah-olah di ruangannya hanya ada ia seorang.

Ini bukan keinginan Bani untuk mengambil alih pekerjaannya. Hal ini terjadi karena Pak Chiko lebih sering memanggilnya daripada memanggil Septa sebagai sekretaris pribadinya. Sangat terlihat sekali raut wajah tidak suka dan iri dari Septa. Bukan hanya sekali ini terjadi, tetapi sudah berulang kali.

"Sori, Sep. Bukan maksudku untuk seperti itu. Aku enggak bisa nolak permintaan Pak Chiko."

"Oh, aku enggak ngomong sama siapa-siapa. Aku hanya bermonolog saja."

Tatapan mata Bani menjadi tidak menentu. Padahal sudah jelas di ruangan itu hanya ada dua manusia saja. bisa-bisanya Septa berkata seperti itu. Bani lebih memilih untuk mengalah daripada meladeni dan ia sendiri yang akan menanggung pusing karena tingkah Septa.

Ia segera menemui Pak Chiko sesuai dengan pesan yang disampaikan oleh Septa. Beruntung perasaannya tidak terganggu dan tetap baik. Entah apa yang akan terjadi semisal ia tidak bisa menjaga perasaannya.

Bani memasuki ruangan Pak Chiko dengan perlahan. Diawali dengan ketukan pada daun pintu dan memasuki ruangan setelah dipersilakan. Bani langsung duduk di depan meja Pak Chiko.

"Sudah lebih baik? Lain kali kalau memang sudah tidak sehat katakan saja. Saya bukan manusia yang dengan tega tetap mempekerjakan orang yang sedang sakit."

"Sudah jauh lebih baik, Pak. Terima kasih atas bantuan biaya rumah sakitnya."

"Kata siapa saya yang menanggung? Itu menjadi tanggungan perusahaan karena kamu sakit ketika sedang bekerja. Kalau boleh saya tahu, sejak kapan kamu sakit?"

"Sejak masa SMP keluarga baru tahu kalau saya sakit, tapi tidak sepanjang waktu saya sakit, Pak."

"Apa itu terlalu mengganggu pekerjaan kamu? Atau tekanan yang saya berikan terlalu berat untuk kamu? Kamu boleh bekerja dari rumah jika ingin, asalkan semua yang menjadi kewajibanmu tetap terlaksana."

Bani menggaruk belakang lehernya. Ia mendadak canggung karena merasa mendapat perlakuan istimewa dari sang atasan. "Terima kasih, Pak Chiko. Tolong perlakukan saya seperti biasanya saja. Saya masih bisa menanggungnya."

Keduanya beralih pada pembahasan tentang peluncuran produk terbaru dari CV. Tamafood. Sebuah inovasi baru dari produk makanan yang mengusung tema peradaban era modern. Konsep ini Bani contoh dari produk-produk keluaran Jepang yang ia lihat sangat inovatif.

Salah satu di antaranya yaitu pengemasan dua jenis saus yang anti kotor karena tinggal melipat dua sisinya, saus dengan mudah keluar dan tidak meluber terlalu banyak. Kemudian makanan cepat saji yang hanya membutuhkan air panas untuk mematangkan masakannya dalam berbagai rasa makanan cita rasa nusantara

"Wah, ide kamu ini memang sangat cemerlang. Saya rasa ke depannya CV. Tamafood bisa semakin membaik. Terima kasih atas inovasi yang sudah kamu kembangkan."

Bani pamit undur diri dan menuju ke ruangannya. Lagi-lagi raut wajah Septa menyambutnya dengan sangat tidak enak. Bani berusaha mengabaikannya dan memilih untuk fokus melanjutkan pekerjaannya.

Namun, mulut nyinyir Septa kembali bersuara. "Oh anak kesayangan, apalah dayaku hanya anak buangan. Aku tidak peduli pada siapa-siapa. Aku hanya peduli pada diriku sendiri. Sebenarnya enak juga, yang kerja sana, yang dapat gaji sini. Untuk apa aku iri jika kenyataannya aku tidak direpotkan."

Suara tawa Septa yang tertahan membuat Bani sedikit meliriknya. Ia memandang rekan kerjanya sejenak, lalu menghela napas. Baru ini ia menemui manusia ajaib yang suka nyinyir dan tidak bisa mengendalikan ucapan meski di hadapan orang yang dimaksud.

Jika kedua sahabatnya dikategorikan sebagai teman jalan ke kanan, maka Bani memasukkan Septa sebagai golongan jalan ke kiri yang ketika diikuti bukan membawanya ke dalam kebaikan, justru membawanya ke tepian jurang.

"Sep, bisa nggak kalau ngomong tuh lihat-lihat dulu?"

"Mulut, mulut siapa? Suka-suka aku mau ngomong apa. Kenapa malah telingamu yang repot dengerin? Punya tangan buat nutup telinga 'kan? Tutup saja telinganya."

Bani hanya mampu menggeleng mendengar ucapan dari Septa. Mungkin jika dirinya Sesha, akan lain ceritanya. Aksi saling jambak dari manusia berbeda gender yang akan menyelesaikan permasalahan mereka. Sepertinya sesekali membawa Sesha untuk melawan Septa bisa menjadi alternatif jika Bani sudah di ambang batas kemampuan melawan Septa.

🍂🍂 🍂

Day 5

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 08 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro