# seperti menawarkan kacang goreng

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Rezeki itu bukan sebatas nominal gaji.
Atasan yang baik, teman yang baik, itu juga rezeki.

🍂🍂🍂

Jarum jam belum menunjuk angka dua belas, tetapi sosok lelaki dengan kemeja berwarna kuning pastel itu sudah terduduk lemas di belakang mejanya. Kepalanya sedikit terkulai, tangannya menggerakkan tetikus, sementara matanya mengamati deretan desain pembungkus makanan yang berwarna-warni.

"Oi, Sonny Sibarani!" Suara seseorang yang sangat familiar di telinganya membuat ia menoleh.

"Ada apa lagi?"

"Si Bos nyariin, tuh. Ada yang mau dibahas lagi."

"Kan bisa telepon ke ini?" ujar Bani sambil menunjuk telepon di atas mejanya.

Lelaki yang memanggilnya tadi hanya menaikkan bahu sambil berjalan mendekatinya dan mengambil permen yang memang disediakan untuk mengatasi gula darahnya yang terkadang anjlok tanpa pemberitahuan.

"Aku baru ACC berkas, terus titip pesan. Thank's permennya. Buruan temuin si Bos."

"Aku setengah harian ini sudah bolak-balik lima kali ke ruangannya. Kok belum beres juga, ya?"

Lelaki berusia dua puluh empat tahun bangkit dari tempat duduknya. Ia menurunkan lengan kemeja yang tergulung, merapikan rambutnya yang sedikit berantakan. Prinsipnya adalah menghargai orang yang akan ditemuinya dengan memberikan penampilan terbaik.

Sonny Sibarani atau yang biasa dipanggil Bani sudah dua tahun bekerja di perusahaan makanan milik keluarga Hutama. Ia sendiri masuk dari jalur orang dalam karena anak pertama keluarga tersebut adalah kakak tingkatnya ketika kuliah. Apalagi ketika tahu bahwa Bani jurusan Teknologi Industri Pangan.

Meski begitu, tidak serta merta membuat Bani besar kepala. Ia bisa berada di posisi sekarang juga karena usahanya yang tidak main-main untuk menaikkan usaha keluarga ini menjadi yang terbaik. Baik dari segi pengemasan, cita rasa, bahkan pemasarannya.

"Permisi, Pak Chiko. Boleh saya masuk?"

"Silakan masuk, Bani. Maaf saya harus panggil kamu lagi. Saya hanya ingin memastikan kira-kira untuk bulan depan berapa persen yang bisa dicapai? Apakah bisa lebih dari bulan sebelumnya?"

Bani mendekat dan duduk di hadapan bosnya itu. Senyum cerahnya tidak pernah sekalipun luntur. Meski dalam kondisi tertekan sekalipun.

"Sebenarnya rincian peluang itu sudah saya kirimkan ke Pak Chiko, tapi ini sudah saya cetak. Bisa dicek terlebih dahulu."

Lembar kertas di tangan Bani berpindah ke tangan si Bos. Bani menunduk, tetapi mencuri pandang ke arah atasannya. Ia melihat wajah di hadapannya itu seperti berbinar.

"Bagus, bagus. Memang benar kamu ini bisa diandalkan. Apa saja yang ingin kamu lakukan, silakan. Selama itu tidak merugikan perusahaan. Kekuasaan penuh ada sama kamu, Bani."

"Boleh saya kembali ke ruangan saya, Pak?"

"Oh, tentu saja. Jangan lupa untuk beristirahat, ya? Jaga kesehatan karena kamu adalah aset terbaik yang saya miliki."

Bani tertawa, tetapi tawanya sedikit aneh. Ia sudah paham betul dengan tabiat atasannya ini. Tidak masalah cara apa yang dipakai asalkan perusahaan untung. Namun, Bani tidak lantas memakai kekuasaan yang diberikan untuk semena-mena atau menggunakan cara licik demi tercapainya target yang diberikan atasan.

Ia kembali ke ruangannya tepat saat jam makan siang. Hanya sebentar ia masuk, lalu keluar lagi dan bergegas menuju satu tempat untuk berkumpul dengan sesama rekan kerjanya yang berbeda divisi.

Ia melangkah dengan lebar karena takut terlalu terlambat. Sebab jika terlambat maka Bani harus bersiap untuk menerima ocehan-ocehan manja dari sahabat-sahabatnya. Belum juga sampai di kantin kantor, seseorang menyapanya.

"Seharian ini bolak-balik ke kantor si bos, ngapain? Dimarahin, ya? Kasihan banget!"

"Bukan urusan kamu," balas Bani pada seseorang yang di sebelahnya.

Bani berharap pintu lift segera terbuka dan mengantarkannya ke kantin. Sayangnya, yang diharapkan tidak terjadi. List sudah penuh dan ia harus berdiri berdua saja dengan lelaki yang sering menunjukkan rasa tidak suka padanya.

Orang yang ditemuinya itu mendadak berubah ketika tahu bahwa ia masuk ke perusahaan CV. Tamafood melalui jalur orang dalam. Padahal Bani sudah mati-matian menjaga rahasia itu, tetapi justri seorang Chiko Kalandra Hutama, sang atasan yang dengan blak-blakan membongkar semua ketika pertemua akhir tahun bersama karyawan.

"Kalian tahu? Sonny Sibarani ini adik tingkat saya sewaktu kuliah. Dia sengaja saya tarik karena dia memang ahilnya. Jangan salah, dia bukan orang Batak, dia Jawa tulen. Tanyakan saja kalau tidak percaya."

Ucapan atasannya itu masih saja terngiang di kepalanya. Semenjak itu pula, ada beberapa orang yang dengan jelas menjaga jarak, tetapi beberapa justru semakin mendekat. The power of orang dalam ternyata berdampak besar untuk seorang Bani.

"Ban, kamu boleh berbuat apa saja untuk perusahaan ini. Hanya satu permintaan saja, karena saya percaya, maka kamu harus setia."

Satu lagi ucapan yang selalu Bani ingat dari pertemuannya dengan Chiko semasa kuliah. Kakak tingkatnya itu memang tidak banyak teman, tetapi sekali ada maka itu adalah yang paling setia.

Pintu lift terbuka, orang di sebelahnya mendorong Bani ke samping, ia nyaris saja terjatuh jika seseorang tidak memegangi lengannya. Bani hanya mampu menatap punggung orang yang mendorongnya sambil menghela napas.

"Hati-hati, anda ini aset kakak saya. Jangan sampai lecet."

"Te-terima kasih, Pak Anton."

Wajah Bani mendadak pucat ketika melihat lelaki yang selama setahun ini menghilang akhirnya muncul di hadapannya. Keringat mulai membentuk titik-titik di dahinya.

"Apa kabar, Bani? Masih setia dengan kakak saya?"

"Ba-baik, Pak. Bapak sendiri bagaimana? Kapan kembali dari Kanada?"

"Semalam saya baru saja mendarat. Kamu mau ke mana?" tanya Anton Putra Hutama, adik kandung Chiko Kalandra Hutama.

"Kantin, Pak."

"Oh, mau makan siang? Kebetulan sekali saya juga lapar. Sudah lama juga tidak menikmati masakan kantin. Ayo, temani saya makan, ya?"

Mendapat ajakan mendadak, Bani tidak bisa berkutik. Maka ia harus menyiapkan berbagai alasan untuk diberikan kepada teman-temannya. Namun, baru saja ia memasuki kantin, penghuni salah satu meja di sana menatap ke arahnya.

Sendok di tangan teman perempuanya langsung terlepas. Sedangkan dagu teman satunya sudah nyaris beradu dengan meja karena mulutnya yang terbuka lebar. Keduanya sama-sama tidak menyangka dengan pemandangan yang baru saja lewat.

Bani yang mengekor di belakang Pak Anton hanya mampu melipat kedua tangan di depan dadanya sambil mengucap kata maaf tanpa suara. Tidak berhenti sampai di situ, ternyata hampir seluruh isi kantin memandang ke arahnya.

"Kita duduk di sana saja," ujar Pak Anton sambil menunjuk meja kosong dekat jendela. "Jangan hanya diam, saya juga ingin dengar perkembangan perusahaan bagaiman. Sedikit banyak saya memiliki saham di sini."

"Maaf, Pak. Bukan wewenang saya untuk menyampaikannya. Mungkin ada baiknya disampaikan dalam internal keluarga saja," jawab Bani sambil tertunduk.

"Kalau berbicara pandanglah lawan bicaramu. Jangan seperti itu. Bikin selera makan saya hilang saja. Toh kita masih teman seangkatan. Enggak usah canggung gitu."

"Maaf, Pak." Bani berusaha untuk mengangkat kepalanya

"Buang panggilan seperti itu untuk saya. Panggil Anton saja seperti masa kuliah. Oh, iya. Bagaimana dengan tawaran saya? Apa masih bisa diterima?"

Bani menatap lawan bicaranya dengan kepala miring. "Tawaran apa?"

"Posisi tertinggi perusahaan, gaji tiga kali lipat, dengan sayarat kamu lepas semua yang ada di sini."

Bani tidak bisa berkata-kata. Ia mengambil gelas berisikan es teh dihadapannya dan meneguknya. Dari saking terburu-burunya ia sampai tersedak dan terbatuk.

Orang dihadapannya langsung tergelak melihat Bani yang kaget dan canggung sekaligus. Raut wajah ceria milik Bani langsung sirna begitu saja. Bukan lagi soal nominal yang ia maksun, tetapi kesetiaan yang ia pertaruhkan.

🍂🍂🍂

Day 1

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 04 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro