# memang agak lain

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Dikasih sahabat super perhatian dan agak sengklek.
Dikasih rekan kerja yang bar-bar dan tukang caci.
Dikasih atasan yang rempong dan super pelit.
Hidupku memang agak lain!

🍂🍂🍂

Suasana kantin mulai sepi seiring dengan jam makan siang yang sudah usai. Beberapa meja sudah bersih, hanya tersisa tiga meja yang berpenghuni. Salah satunya adalah meja yang Bani tempati.

Semula mejanya hanya terisi dua orang, ia dan Pak Anton. Namun, beberapa saat setelah Bani tersedak mendengar penawarannya, Pak Anton pergi dengan senyum yang biasa ia sebarkan. Senyum kemenangan karena berhasil menekan Bani.

Bani tertunduk di hadapan dua sahabatnya. Sesha Tiffany, gadis dua puluh empat tahun yang ia temui pertama kali ketika masuk di CV. Tamafood. Gadis berkacamata dengan rambut ekor kuda itu beberapa kali menggebrak meja karena kesal ketika mendengar cerita Bani.

"Kenapa juga dia harus kembali. Bukannya lebih baik tetap di Kanada?" ucap Sesha sambil mendorong kacamatanya yang melorot.

"Kalau dia di sini, berarti enggak di Kanada, Sha!" ujar Patra Bintang Abadi, teman satunya lagi sambil meniupkan udara pada minumannya sehingga membentuk gelembung udara dan menimbulkan bunyi.

"Tra, jangan dimainin minumannya. Enggak boleh." Bani menyela sambil menarik sedotan dari mulut Patra.

"Sori, lupa." Lelaki dengan kemeja kotak-kotak itu menghentikan kegiatannya dan fokus mendengarkan Sesha yang mulai mengomel panjang lebar.

"Bani, lain kali kalau kamu ketemu dengan dia lagi jangan mau diajak ke mana-mana. Ayolah, masa harus diberi tahu terus? Kesetiaanmu sama Pak Chiko bisa terancam."

"Iya, Sha. Enggak lagi seperti itu."

"Kamu itu iya saja, tapi enggak pernah bisa menolah kalau diberi perintah."

Bani menghela napas dan menyadari kesalahannya kali ini. "Aku kaget tiba-tiba Pak Anton sudah di sebelahku. Mana si Septa berulah lagi."

"Woaa, kenapa lagi manusia tukang rusuh itu?" tanya Patra.

Patra yang semula terkesan cuek dengan masalah Bani, kini menunjukkan ketertarikannya pada sang sahabat ketika menyebut nama Septa. Septa adalah laki-laki yang Bani temui di depan lift dan mendorongnya hingga nyaris terjatuh.

Lelaki dengan kemeja warna kuning pastel menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, sementara tangannya masih memegang sendok dan mengaduk makanan di hadapannya dengan tidak semangat.

"Ngapain lagi si Septa, ha?"

"Seperti biasa, ngata-ngatain, ngancem mau ngadu ke Pak Chiko, terus ngedorong aku sampe hampir jatuh."

"Balas, Bani! Ngapain diem saja? Mau nunggu Tuhan yang bantu balas?"

Memiliki satu teman perempuan yang suka ceplas-ceplos itu sungguh ajaib menurut Bani. Kadang ia harus rela telinganya sakit karena ocehannya yang super pedas dan cepat, tetapi kadang keberadaannya memang berguna sebagai mood booster, ataupun penyemangat di kala diri sedang remuk.

Bani melirik jam di tangannya. Jam makan siang sudah habis. Ia harus segera bergegas kembali ke ruangannya. Diminumnya jus jambu merah tanpa gula di hadapannya itu sampai habis. Ia beranjak hendak meninggalkan dua sahabatnya, tetapi tertahan oleh tangan Patra.

"Ini apel buat tambahan, jaga-jaga kalau nanti lapar."

Dua buah apel berwarna merah diterima oleh Bani. Kemudian beralih Sesha yang merogoh tas kecil yang dibawanya. Segenggam permen cokelat langsung mengisi saku kemejanya.

"Jaga-jaga kalau gula darahmu anjlok. Sepertinya harimu bakalan berat, Ban. Jangan lupa sama obatnya, ya?"

"Ha, so sweet! Entah harus dengan cara apa aku balas kebaikan kalian." Bani menjawab sambil memasang wajah manis di hadapan kedua sahabatnya itu.

"Tetaplah berusaha hidup dengan baik, meski kamu enggak baik-baik saja."

Patra dan Sesha menjawab dengan kompak. Itu adalah kata-kata ajaib untuk mengingatkan Bani, bahwa ia harus tetap hidup meski dalam keadaan yang sulit. Karena keduanya sudah terlalu jauh mengenal kehidupan Bani.

Dua buah apel di tangan dan saku penuh dengan permen cokelat membuat Bani tebar senyuman. Perasaannya cepat sekali membaik karena perlakuan sahabatnya. Ia menyapa setiap orang yang ia temui. Dari rekan kerja sampai dengan OB dan petugas kebersihan.

"Mbak mau apel? Saya dapat dari teman saya. Saya bagi satu, ya?"

"Eh, Mas Bani. Enggak usah, Mas. Saya baru saja makan. Terima kasih."

"Tumben enggak mau, biasanya Mbak terima saja apa yang saya beri."

"Beneran saya lagi kenyang, Mas. Bawa saja untuk persiapan lemburan."

"Emang ada lemburan? Kok saya enggak tahu, ya?"

"Sst! Saya dengarnya juga tanpa sengaja, Mas." Perempuan yang mendekati usia tiga puluh tahun itu meletakkan telunjuknya di depan bibir dan berbicara dengan pelan.

Bani mempercepat langkahnya dan langsung memasuki ruangannya. Beberapa orang yang ia temui di lorong menatapnya dengan sangat tidak bersahabat. Di depan ruangannya ia melihat Septa sedikit melirik dan tersenyum sinis padanya.

Mendadak perasaan Bani menjadi tidak enak. Apalagi begitu memasuki ruangan, telepon di mejanya berdering. Ia langsung mengangkat dan mendengarkan beberapa kata dari lawan bicaranya. Setelah selesai ia langsung keluar ruangan.

"Mampus, apa lagi yang kamu perbuat Bani, bersiaplah menghadapi amukan si bos," ujar Septa sambil tertawa melihat langkah Bani yang tergesa-gesa.

Mungkin Septa mengira ucapannya tidak didengar, tetapi Bani mendengarnya dengan sangat jelas. Bahkan sebelum ia berbelok ke ruangan Pak Chiko, ia berbalik dan menatap Septa.

Bani memberikan senyuman termanisnya, tidak lupa mengedipkan mata kirinya untuk Septa dan diakhiri dengan tangan terangkat sambil menunjukkan jari tengahnya. Tawa Septa langsung lenyap begitu saja.

Berganti Bani yang terkikik melihat perubahan ekspresi wajah Septa. Ia mengetuk pintu ruangan Pak Chiko dan meminta izin untuk masuk. Sang atasan rupanya sedang serius menatap layar personal komputer.

"Ada yang mau disampaikan, Pak?"

"Ada dong. Kamu sudah bertemu dengan adik saya? Berapa yang tawarkan? Bagaiman? Kamu mau menerima tawarannya?"

Benar-benar di luar ekspektasi Bani. Awalnya ia mengira atasannya akan marah jika mendengar dirinya bertemu langsung dengan putra kedua Keluarga Hutama. Nyatanya? Justru wajah berbinar dengan pertanyaan yang tidak terduga.

"Saya tidak menyetujui apa-apa, Pak, karena saya tidak berminat untuk meninggalkan perusahaan Pak Chiko."

Gelak tawa dari Pak Chiko langsung menggema di ruangan. "Oi, adikku tersayang, apakah kau sudah mendengarnya? Sudah dengar pilihan seorang Sonny Sibarani?"

Bani mengernyit dahinya karena tidak paham dengan pembicaraan Pak Chiko. Paham dengan situasi yang sedikit membingungkan, Pak Chiko mengangkat teleponnya dan menunjukkan panggilan telepon sedang tersambung dengan orang yang ditemuinya tadi.

"Ya, ya, ya. tunggu saja. Dia enggak akan selamanya bertahan dengan situasi seperti itu, Kak. Tunggu saja tanggal mainnya. Kali ini aku kalah. Semisal nanti dia kudapatkan, Kakak jangan nangis, ya?" Suara dari ujung telepon terdengar lantang di telinga Bani.

Pak Chiko memutus sambungan teleponnya, ia beranjak dari kursi dan menghampiri Bani yang masih memasang wajah bingung.

"Saya tidak pernah ragu dengan kamu, Bani. Siap untuk lembur? Mari hasilkan cuan yang lebih banyak lagi untuk CV. Tamafood. Gagasan-gagasan kamu mengenai makanan berteknologi dari segi kemasan itu sangat bagus."

"Terima kasih, Pak."

"Lanjutkan riset mengenai pengemasan makanan tahan lama yang memungkinkan disimpan diwaktu darurat atau bencana. Saya sedang berkoordinasi, mungkin bisa menjadi suplai untuk aparat negara ketiga bertugas di wilayah terpencil."

Bani tidak menyangka riset tentang pengemasan makanan tahan lama akan dimanfaatkan oleh Pak Chiko dengan sangat baik. Awalnya ia hanya mengira itu akan ditujukan untuk makanan cadangan ketika darurat bencana, tetapi ide Pak Chiko jauh dari itu.

"Pak, untuk hari ini lemburnya bagaimana?"

"Ya, seperti biasa. Kerja saja dulu, urusan bonus belakangan."

"Lemburannya di kantor elit, tapi bonusnya sulit," ujar Bani lirih.

🍂🍂🍂

Day 2

Arena Anfight Homebattle 2023
Bondowoso, 05 April 2023
Na_NarayaAlina

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro