Arc 1-5: System of Rice Intensification (SRI)

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 8: System of Rice Intensification (SRI)

#curhat

Aku mau tobat nulis panjang-panjang :'()

.bersambung

###

"CRIS! Selalu seenaknya!"

Aku melangkah agak kesal menyusuri jalanan, seraya mengentak kedua kaki bergantian cukup keras. Wajahku merah padam, terlihat jelas sekali, dan itu menunjukkan bahwa aku sangatlah sebal. Aku tak peduli walau baju kesatria dan pedang di pinggang menambah susah pergerakanku.

"Pertama, ia tidak memberi tahu mau pergi ke mana!" Aku berlagak bagai orang yang frustasi, mengacak rambut dan mengoceh tak jelas, "Dia pikir, tidak apa-apa bila asal menyelonong keluar tanpa berpamitan dengan penghuni rumah? Dan, sekarang, salah satu bawahanku mengundurkan diri. Dan, Cris yang dia mintai izin malah tidak memberitahukan apa pun tentang hal ini!"

Jalan nan kulalui adalah jalur setapak khusus pejalan kaki. Di sebelah kiri berdiri tegak bangunan-bangunan gaya kuno, sedangkan di kanan ada jalur untuk kendaraan. Jalanan ini cukup ramai. Orang-orang lewat yang melirikku tak kuindahkan. Biarlah aku meluapkan emosi seperti ini dahulu.

***

"Pak Pungi telah mengundurkan diri dari Geng Beta Besar," kata si kesatria pemuda.

Dia merupakan laki-laki bertubuh proporsional yang mengenakan baju pelindung dari kain kulit. Wajahnya tenang dengan netra agak sipit dan hidung mancung. Warna rambut pemuda itu sama seperti matanya, yakni cokelat kehitaman.

Aku terdiam, mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu?"

Manik mata kesatria melirik ke arahku.

"Pak Panjai*? Siapa itu?" sambungku.

(*Marjan mengulangi perkataan kesatria pemuda yang membaca "Pungi" menjadi "Panjai")

Si kesatria menghela napas. "Pak tua yang menjadi kusir, Ketua Marjan."

"Oh, ya, benar juga." Aku membalas dengan nada bicara seperti orang yang baru saja kehilangan ingatan. "Lalu, di manakah Pak Pungi ini?" Tentu saja, kernyitan masih tercetak di dahiku.

Kesatria pemuda berjalan santai menuju sebuah meja. Di atas meja itu, tergeletak berlembar kertas dan sejumlah alat tulis. "Di rumahnya, mungkin. Kan, Pak Pungi sudah tidak bekerja lagi."

Untuk kesekian kalinya aku mengernyitkan dahi. "Lalu kenapa dia tidak memberitahukanku?"

"Karena dia telah izin kepada Cris Ketua. Lagi pula, bukankah Ketua seharusnya sudah diberi tahu olehnya?"

Lawan bicaraku menatap dengan muka yang menuntut sebuah kejelasan pasti. Sementara, aku cuma bisa tercenung berdiri beberapa jengkal telunjuk darinya.

'Apa ini? Bagaimana bisa ini terjadi? Cris benar-benar tidak mengatakan apa pun setelah misi Monster Iblis selesai. Bahkan, jika diingat sekali lagi, setelah itu hingga ia pergi, Cris tidak mengatakan sepatah kata pun. Ampun, mengapa ini bisa terjadi...?'

Membulatkan keputusan, aku balik menatap mantap si kesatria pemuda. Hanya ada satu jawaban pasti yang bisa kuberikan:

"Tidak."

***

Atmosfer jalanan mulai terasa ramai ketika aku mencapai area pertokoan. Banyak ruko di sisi kiri yang kebanyakan menjual berbagai macam makanan olahan seperti kripik, kalengan, asinan, dan lainnya. Sementara itu, jalan raya di sisi kanan masih tetap ramai dengan kendaraan beroda dan kereta.

Aku mulai dapat menenangkan diri. Orang-orang di sini memiliki kesibukan masing-masing. Mungkin, aku adalah salah satu dari sekian orang yang hanya sekadar lewat untuk melihat-lihat.

Namun, mendadak pemandangan menjadi buram. Dalam waktu sebentar saja tiba-tiba kepalaku pening, mata berkunang-kunang. Kucari tembok sebagai sandaran lengan. Napasku berat, tak beraturan. Aku menoleh perlahan, berusaha tetap menatap ke depan.

Orang-orang mengecil dan tereduksi menjadi titik, bagai semut-semut yang berkeliaran untuk mencari makan. Bangunan-bangunan macam sesuatu yang terpilin, menyusut ke dalam lingkaran-lingkaran spiral yang berada di sembarang tempat. Jalanan menghilang, hanya tampak kekosongan. Langit melenyap, berubah jadi kehampaan.

Namun, seketika semuanya kembali normal, dalam kedipan mata. Bangunan masih berdiri kokoh di sisi kiri, orang-orang lalu-lalang di sekitar, kendaraan melaju cepat di sisi kanan.

"Apa yang terjadi?" ucapku, masih dengan napas tersengal-sengal.

Saat itulah, di sana, di sebelah kiri sana, aku melihatnya. Sebuah pintu masuk tanpa daun yang tertutupi oleh gorden ungu, berhias pita dan pernak-pernik berwarna-warni. Orang-orang mengabaikannya. Padahal, pintu masuk itu amat menarik mataku. Aku bagai terhipnotis.

Kugeleng kepala seraya mengejam mata. Aku berusaha menjernihkan pikiran, sebelum melangkah menuju gorden ungu di depan kiriku sana. Gorden tersebut terlihat ganjil, tetapi begitu memesona.

Setelah aku sampai di depannya, kusibak kain itu, dan aku segera masuk. Lumayan gelap di dalam, dan bertambah gelap kala gorden mulai menutup kembali, tak membiarkan cahaya masuk. Tercium bau-bauan menyengat yang membuat hidungku sedikit gatal. Setelah beberapa saat, mataku mulai terbiasa dengan keadaan gelita di sini.

Ruangan ini layaknya sebuah bar, karena terdapat meja panjang mirip meja bar. Namun, ruangan ini amat sempit karena lebarnya hanya sekitar dua meter, mungkin kurang, tetapi terbilang panjang. Tidak, jika dicermati lagi, ini lebih mirip toko yang menjual berbagai kain.

"Xixixi...." Tawa aneh terdengar.

Aku refleks menoleh ke sumber suara.

Visi nan kulihat merupakan sebuah meja bar bundar, yang bolong di tengahnya, berotasi perlahan-lahan. Benda itu memutari sebuah sosok di pusat. Sosok yang amat akrab, tetapi tak dapat kukenali.

Terlihat wanita berpakaian formal layaknya pekerja administrasi. Wajahnya tak tampak, buram. Namun, dia tersenyum. Dia berdiri di tengah sana, bertingkah laku sopan santun.

"Ah-"

Dia berbicara selagi meja bundar berotasi memutarinya.

"... menurutku-"

"Geng Al██a B██ar-"

Dia terus berbicara dengan gaya nan aneh di dalam ruangan gelap ini.

"... adalah 'party' berkemampuan tinggi-"

"... dengan anggota yang paling ramah."

Suaranya terus dan terus memenuhi kepalaku.

"Aku paling merekomendasikan Saudara untuk bergabung dengan 'party' ini...."

Mataku berkedip. Suara lain terdengar. Tawa cekikik. Kali ini mirip suara wanita tua.

Refleks, aku menoleh ke arah sumber suara.

Seorang ibu lansia duduk di seberang meja bar. Dia berpenampilan bak penenung, yang harus kucermati pasti, mengingat gelapnya ruangan. Rambutnya putih dan disanggul. Jubah gelap menutupi sebagian kepala dan seluruh tubuhnya. Mungkin dia juga memakai gelang. Anting yang besar terpasang pada kedua telinga. Semuanya agak tak terang, selain wajahnya yang jelas telah sangat berumur dan berkeriput.

"Selamat datang di Rumah Ramal Nenek Xixixi...."

Anehnya, ibu lansia itu terus menyeringai saat menatapku, menampakkan sejumlah gigi emas di deretan giginya yang beberapa sudah ompong. Matanya mungkin masih sehat, tetapi mengingat umurnya pastilah sudah agak buram penglihatannya.

"Rumah Ramal...?" Aku mengernyitkan dahi. Kudongak kepala, menyadari ada papan kayu di atas. Setelah kuperhatikan, ada tulisan "Rumah Ramal Nenek Xixixi". Ternyata, pantas saja dari tadi sepertinya di sini tak terlalu gelap. Ada lampu penerangan kecil di meja, semacam lilin yang ditaruh di dalam bola kaca.

Ibu lansia itu tetap menyeringai. "Ya, di sini kau bisa mengetahui takdirmu, apa yang akan menimpamu di masa mendatang, dan bagaimana upayamu untuk mengahadapinya. Duduklah, dan aku akan meramal takdirmu, xixixi."

Kudus, 4 Januari 2020

±1040 kata

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro