Arc 1-6: IR-64

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Bab 9: IR-64

"Silakan duduk, xixixi," tawar si ibu lansia yang berpenampilan eksentrik itu. Entah, setiap kalimatnya selalu diakhiri dengan tawa aneh.

Aku duduk pada salah satu kursi, meletakkan pedang bersarungku bersangga pada bawah meja. "Nama Ibu siapa?"

"Nenek Xixixi." Ibu lansia tersebut memperhatikan aku yang mencoba duduk, tetapi bola matanya sama sekali tak bergerak.

Aku mengernyitkan dahi. "Nenek ... siapa?"

Dia diam, tak menjawab.

Hening, aku berusaha mengalihkan pandangan ke bagian lain atas meja. Ada banyak sekali barang. Di antara berbagai barang itu, terdapat papan nama kecil bertulis "Xixixi".

"Jadi nama Ibu memang Xixixi," gumamku, membuang muka.

"Jangan Ibu, aku sudah tua, xixixi. Panggil saja Nenek. Nenek Xixixi."

"Baiklah, Nenek Xixixi...?" Agak geli rasanya aku menyebut nama yang tak biasa itu, karena sama seperti tawa khasnya, tetapi mulai sekarang aku akan memanggilnya demikian. "Tadi Nenek mau apa?"

Lawan bicaraku menyeringai, kali ini tidak terlalu lebar. "Meramal takdirmu, Anak Muda, xixixi."

Nenek Xixixi menyiapkan alat dan bahan berupa bola kristal yang bercahaya di tengahnya, dupa yang menyengat baunya, kartu tarot yang unik gambarnya, dan benda-benda lain yang tak kuketahui dengan terang apa itu.

Aku yang asyik mengamati tiba-tiba tersentak, menyadari sesuatu. Tunggu, bagaimana aku bisa sampai ke sini?

Teringatlah sebuah pintu masuk tanpa daun yang tertutupi oleh gorden ungu, berhias pita dan pernak-pernik berwarna-warni. Gorden tersebut terlihat ganjil, tetapi begitu memesona.

Ah, seperti itu. Ketika melihat gorden ungu itu, aku memutuskan untuk menuju ke toko di dalamnya. Dan, ternyata ini adalah Rumah Ramal. Baiklah, sepertinya diramal sebentar dulu tidak apa-apa.

"Ada apa, xixixi?" Nenek Xixixi tahu-tahu telah selesai menyiapkan barang, dan kini salah satu tangannya diam di atas meja. Entah mengapa? Manik mata nenek itu tak dapat lepas menatapku.

"Eh? Tidak ada apa-apa."

Nenek itu mengatupkan kedua telapak tangannya, lalu berkata, "Kalau begitu, mari aku ramal, takdir apa yang menunggumu di masa depan, xixixi...."

Aku mengatur posisi untuk bersiap diri melalui kegiatan ramal ini. Nenek Xixixi menjulurkan kedua lengan di atas meja, memberi isyarat agar aku menerima ulurannya, sehingga kini kami berdua saling berpegang tangan. Setelah itu, Nenek Xixixi memejam mata untuk berkonsentrasi. Aku hanya bisa terdiam, mengamati tangannya yang dibalut kain lengan panjang nan tebal.

"Siapa namamu?"

"Marjan."

"Berapa umurmu?"

"Sekitar dua puluh tahun."

"Dari mana asalmu?"

"Aku tidak tau, tapi Ibu Panti Asuhan berkata bahwa aku berasal dari perbatasan wilayah barat Kerajaan."

Nenek Xixixi makin rapat menutup netra, konsentrasinya seolah makin berat sampai-sampai dia harus lebih fokus untuk tetap bertahan pada posisi.

Dia berkata dengan badan gemetar, "Marjan, tak lama lagi akan terjadi peristiwa mahadahsyat yang memberatkan jiwa dan ragamu. Dunia berada pada kehancuran serta kemalangan. Satu-satunya harapan adalah kau, Marjan. Pahlawan yang bisa menyelamatkan dunia."

Aku tercengang, tak berkutik akibat ucapannya. Ramalan Nenek Xixixi mirip dengan ramalan iblis di ruangan putih. Iblis itu juga mengatakan hal yang sama persis.

"Aku tidak tahu-menahu hal lain selain ramalan ini. Ini terlalu luar biasa, aku sampai kewalahan menghadapinya. Aku tidak bisa menjelaskannya lebih lanjut kepadamu." Nenek Xixixi sudah tenang bagai sedia kala. Genggaman tangan dia lepas dan matanya memandangku dengan intens.

Aku ikut menurunkan kedua tanganku dari meja. "Tidak, tidak apa-apa. Aku sudah puas mengetahui hasil ramalanku," balasku, bernada senang.

"Karena ramalan tentangmu sudah kuberikan, saatnya kau untuk pergi, xixixi." Aku mengangkat pantat dan hendak mengambil pedangku, tetapi dia berujar, "Sebelum itu, bolehkah aku mengajukan beberapa pertanyaan, xixixi?"

"Ah, baiklah." Aku kembali duduk.

"Kalau begitu, jawablah pertanyaan-pertanyaan yang kuberikan, xixixi."

Mataku mengerjap kala si Nenek melemparkan kalimatnya.

"Siapa orang yang paling kau percaya saat ini?"

Orang yang paling kupercayai? Aku berpikir.

"Orang yang selama ini dekat denganmu dan selalu ada di sampingmu, xixixi."

"Ah, Cris!" jawabku, spontan.

"Kalau begitu, di antara Cris, iblis, dan orang lain, manakah yang akan kau percayai?"

Aku berpikir dahulu lagi. Iblis adalah sosok yang jahat, mana mungkin aku percaya? Orang lain, aku tak tau sifatnya bagaimana.

"Tentu saja, Cris!"

"Kalau Cris adalah orang yang jahat, tetapi diketahui iblis dan orang lain itu baik, sekarang manakah yang akan kau percayai?"

Aku tersenyum kecil. "Cris tidak mungkin jahat."

"Sekarang kalau Cris melakukan kejahatan dan ditahan di penjara, masihkah kau memercayainya?"

Aku mengernyit alis. "Hmmm? Itu pasti tidak mungkin. Ada yang salah dengan penangkapannya. Cris kemungkinan jadi kambing hitam!"

"Sekarang, kamu melihat Cris melakukan kejahatan, dan Cris ditangkap, kemudian masuk tahanan penjara. Masihkah kamu memercayai Cris?"

"Yang kulihat pastilah hanya halusinasi saja." Aku mengatup mata seraya mengulas senyum.

"Jawaban yang bagus." Nenek Xixixi memberi isyarat kepadaku untuk menyudahi ini.

Aku mengambil pedang di bawah meja, kemudian saling tatap dengan si Nenek.

"Ikutilah kepercayaanmu itu, Marjan. Berpegang teguh pada kata-kata yang kau percayai. Kelak kau akan menemukan jawaban yang kau cari-cari selama ini."

***

Aku telah keluar dari ruangan Rumah Ramal nan gelap itu. Jalanan masih ramai. Orang-orang lalu-lalang. Kendaraan di jalan raya melaju cepat. Ketika aku berbalik untuk melihat pintu aku keluar sebelumnya, tidak ada apa-apa di sana. Hanya terdapat dinding batu khas bangunan kuno.

Tidak ada...? Aku mematung.

Aku menggeleng kepala, lalu berbalik sambil mengeluarkan secarik kertas dari saku celana.

"Kau memercayai Cris padahal sekarang kau sedang mencarinya entah ke mana?" gemamku, agak miris.

Teringatlah kembali di benakku kata-kata terakhir Nenek Xixixi.

'Ikutilah kepercayaanmu itu, Marjan. Berpegang teguh pada kata-kata yang kau percayai. Kelak kau akan menemukan jawaban yang kau cari-cari selama ini.'

"Baiklah, jadi di mana rumahnya...?" Aku mencermati peta alamat nan kecil lagi sederhana yang tergambar di kertas. "Ah, lewat sini."

***

Aku sampai di depan rumah yang besar, tetapi tampak sederhana. Berdiri beberapa saat, aku melihat-lihat, mencocokkan antara rumah asli dengan gambar di kertas.

Aku mengangguk. Segera kulangkahkan kaki menuju pintu depan. Setelah sampai, kuketuk daun pintu beberapa kali. Sesudah pintu dibuka dari dalam, seorang wanita paruh baya menyambut. Wajahnya keriput, mata tampak lelah, serta badan agak membungkuk.

Dia mempersilakan aku masuk, memandu menuju suatu ruangan tanpa berucap sepatah kata pun. "Anda istrinya Bapak, ya?" Orang yang ditanya mengangguk.

Aku dibawa ke suatu ruangan dengan pintu kayu geser. Selepas pintu dibuka, terlihatlah ruangan dengan jendela di seberangnya yang dimasuki sinar matahari. Sinar itu masuk secara diagonal ke arahku laksana juluran-juluran cahaya. Aku baru ingat ini sudah lewat tengah hari.

Seorang pria paruh baya duduk santai di sofa yang menghadapku. Ada meja di seberangnya. Di atas meja terdapat cangkir berisi cairan kecokelatan yang menguar uap. Pria itu termenung memperhatikan cangkir tersebut.

Selepas kami balas mengangguk, wanita paruh baya menutup pintu geser dan pergi. Aku duduk pada sofa yang berseberangan dengan pria itu. Posisi dudukku menghadap sinar matahari datang sehingga agak silau, tapi beberapa saat kemudian netraku sudah bisa terbiasa.

"Selamat sore, Pak Pungi."

Kudus, 6 Januari 2020

±1230 kata

###

Catatan:
Ingatlah, para pembaca yang setia (semoga ada)! Jika kalian muslim, hukum dari mendatangi tukang ramal dengan keyakinan bahwa tukang ramal tersebut benar adalah tidak diterima sholatnya selama empat puluh hari. 😱

Nenek Xixixi: "Dasar author kurang ajar! Lalu apa peranku di cerita ini?!"
A: Ya, nanti lah, ada saatnya Nenek berperan penting dan membuat plot twist di cerita (づ ̄ ³ ̄)づ
Nenek Xixixi: "Berperan penting? Plot twist? Baiklah, nanti di akhir aku akan pindah haluan bisnis menjadi penjual es krim atau gula-gula, supaya banyak anak-anak yang suka aku!"
A: Ya gak gitu juga ._.

Dhuaaarrrrrr!!!

Rasanya lelah ngetik satu bab isinya dialog :"(

Mana aku gak bisa bikin dialog bagus lagi. Lagi belajar hehe :((()))

Ya, tapi moga pembaca yang baik hati sekalian bisa lancar baca cerita ini bagai air mengalir (づ ̄ ³ ̄)づ /ngelem/

Dan, jangan lupa tekan bintang untuk memberi dukungan vote, dan tinggalkan komentar yuhuuu~~~~

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro