1. Cherry Tomato

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Sebelum mulai baca, aku mau nanya dulu:

Kamu biasa makan sehari berapa kali?

Remember this:
The things that matters are what you are eating and how much you are eating.

Yang penting adalah apa yang kamu makan dan berapa banyak yang kamu makan.

(Next, aku akan usahain share fun facts tentang kesehatan setiap kali update)

***

Jangan lupa vote dan spam komen, ya. Aku mau seribu komeeen 😝🤣
Besok aku update lagi kalau bisa 1000 komen. Kalau enggak bisa, dua atau tiga hari sekali baru update.
Kelamaan enggak?

Seharusnya aku membuka pesan kedua Adrian yang isinya: Nul, mobil boleh lu bawa pulang, deh. Gue di rumah Steve. Besok jalan dari flat-nya aja. Di rumah ada sepupu gue dari kampung, namanya Mahmouuud.

Mahmoud? Belakangan aku mikir, masih ada ya orang zaman sekarang yang dinamain Mahmoud sama ibu bapaknya? Ada kan ladu dangdut yang pakai nama itu?

Surat cinta kukirimkan belum juga engkau balas.

Mungkin engkau telah lupa janji kita dahulu.

Hello hello hello... I love you Mr. Mahmoud.

Gio pasti tahu lagu itu.

Saat aku memeluk bahu laki-laki yang terbungkus selimut dari ujung rambut hingga ujung kaki itu, aku masih mengira aku sedang menggerayangi Adrian.

Aku tahu banget kebiasaan kampungan Adrian yang nggak bisa ilang meski sudah tahunan hijrah ke kota besar. Tiap lagi kangen tanah kelahirannya yang dingin, dia nyalain AC kencang-kencang, tapi lalu tidur meringkuk di balik selimut tebal. Cowok ini juga sama. Mana dia bergeming kaku di bawah tubuhku, aku jadi geregetan. Kugosok-gosokkan pipiku ke permukaan lembut selimut seperti seekor kucing yang sedang merayu.

"Adriaaan, bangun, dong...," bujukku mesra.

Nggak ada jawaban dan aku nggak curiga. Adrian paling-paling sengaja. Dia sering memancing nafsuku, baru kemudian menolaknya mentah-mentah.

Memang agak susah membujuk Adrian untuk urusan yang satu ini, padahal aku sudah menawarkan diri menjadi sahabat yang saling menguntungkan saja. Nggak ada ikatan yang akan membahayakan hubungan pertemanan kami.

Adrian bilang, justru karena aku sahabatnya, dia nggak mau. Kalau sama perempuan lain sih masih bisa dipertimbangkan. (Ya kalau sama perempuan lain, namanya bukan FWB-an lah. Teman wanita terdekatnya kan cuman aku.) Namanya juga berbagi hal-hal intim, mau nggak ada ikatan kayak apapun, pasti suatu hari bakal timbul masalah.

Lagian... kamu...? serunya waktu itu. Nggak pake perasaan? Emangnya bisa?

Menurut teori Adrian, justru akulah yang selalu pakai perasaan. Adrian memang bukan saksi bisu sejarah percintaanku. Dia yang secara sabar menyadarkanku supaya nggak terlalu mudah terbawa perasaan sampai kemudian kebablasan. Perubahan besarku dalam penampilan adalah bukti bahwa aku selalu pakai perasaan. Entah berujung baik, atau buruk.

Aku punya trust issues gara-gara pengalaman cinta traumatis yang kalau kuingat-ingat masih membuatku bergidik. Makanya daripada jatuh ke pelukan lelaki di luar sana yang kuanggap sebagai pemangsa, Adrian adalah sasaran empuk pelampiasan hasrat seksual yang paling aman. Terutama kalau hormon bahagiaku sedang meluap minta disalurkan karena kebanyakan angkat beban dan HIIT Cardio. Sudah terlalu lama sendiri bikin aku merasa harus mengubah haluan dan mulai memilih yang praktis-praktis aja soal begituan.

Penginnya Adri, sih... aku punya pacar lagi, tapi jangan sampai menemukan pelampiasan lain. Untuk yang satu ini Adrian bisa bernapas lega sebab aku juga jijik sama cowok-cowok yang punya pola pikir sama kayak aku gini.

Ironis banget, kan? Maunya begitu, tapi nggak mau dibegituin. Adrian jelas berbeda. Dia nggak mungkin menyakitiku, he's my saving grace. My romance safety net.

Aku menyelipkan tangan ke pinggang cowok yang masih kukira Adrian dan mengetatkan pelukan. Yang sudah-sudah, rayuan seperti ini biasanya membuahkan protes keras dari Adri. Dia bakal ngomel-ngomel karena tidurnya diganggu, apalagi besok ada urusan penting yang cukup menentukan nasibnya di kemudian hari. Ini otot-otot perutnya jelas-jelas mengeras menahan remasan lenganku, tapi masih belum ada tanda-tanda dia terjaga.

Dia pasti juga lagi mau, nih, pikirku senang.

Di sisi kepala Adrian yang masih membelakangiku, aku membisik dengan suara paling lembut, agak mendesah, tapi juga licin seperti ular, "Kalau kamu diem aja, artinya kamu nggak nolak, ya? Jangan marah kalau tanganku turun ke bawah."

Kalau kali ini dia masih pura-pura tidur juga, aku bakal benar-benar melancarkan aksi. Bisa-bisanya cowok dewasa yang bugar dan sehat bersikeras membatu ketika punggungnya ditekan-tekan sedemikian rupa? Aku lagi pakai push up bra, lho. Jadi payudaraku sedang bulat-bulatnya.

Meskipun lebih sering menolak, kalau lagi mau, Adrian tetap melakukannya dengan berat hati. Itu yang bikin aku gemas dan menganggap dia actually nggak keberatan. Reaksi alamiah tubuhnya juga nggak menolak sama sekali, otaknya saja yang masih waras. Namanya juga reaksi biologis, kelitnya setiap kali aku berhasil membuatnya meniduriku.

Rupanya Adrian yang ini sedang menjajal kenekatanku. Dia tetap bergeming.

Okay, kalau itu maunya. Setelah mengibaskan rambut panjangku ke balik bahu, aku menyelinap sepenuhnya ke balik selimut. Kegelapan mengurungku. Hanya indra peraba dan penciumanku saja yang bekerja. Sedikit nekat, kulekatkan tubuhku semakin rapat ke punggung Adrian. Hidungku mengendus. Aroma tubuh Adrian malam itu agak lain dari biasa, tapi sama-sama memabukkan untuk hidungku yang lagi sensitif terdorong hasrat. Bibirku mengerucut mengecupi permukaan kulit bahunya yang halus dan wangi, lalu merambat hingga lehernya.

Entah dia mulai nggak tahan berpura-pura, atau memang rangsanganku benar-benar baru saja berhasil mengetuk alam bawah sadarnya, yang jelas Adrian jadi-jadian yang kukangkangi ini terusik.

Yes. Aku bersorak dalam hati. Kalaupun kali ini ditolak lagi, paling enggak untuk mengusir pening kepalaku, aku pengin menggoda orang yang sedang cemas menanti keputusan besar esok hari.

Masih di dalam selimut, aku mengunci pinggang Adri dengan kakiku, dan dengan mudah membalik tubuh cowok itu hingga telentang. Aku menduduki pinggangnya, menangkap kedua pergelangan tangannya ke atas dan menyeringai dalam gelap gulita.

Ini bisa saja dianggap bentuk pelecehan, aku tahu, tapi ini toh Adrian. Sekesal apapun Adri pada usahaku yang tak kunjung letih, dia nggak akan melaporkanku ke polisi atas tuduhan kekerasan seksual. Aku juga setengah main-main saja, kok. Kalau berhasil menggugah singa tidur di dalam tubuh Adri, itu hanya bonus.

Mataku belum kunjung bisa beradaptasi dengan kegelapan di balik selimut.

Aku mulai mengernyit.

Mana ketegasannya selama ini? Mana penolakannya setelah pernah sekali nggak mampu menepis godaan menyaksikanku menangisi seribu bungkus Bento Sehat yang buncisnya basi gara-gara anak buahku menutup kotak sebelum masakannya dingin? Adrian nyaris tak pernah gagal berkata tidak pada ajakanku, atau pada bibir merahku yang sering kubasahi saat merayunya, kecuali saat kami sama-sama mabuk.

Sejujurnya, ini agak menyinggungku, tapi memang begitu kenyataannya. Hanya satu kali pertahanan Adrian roboh saat kami sepenuhnya bebas dari pengaruh alkohol. Hal itu terjadi bukan karena rayuan, melainkan rasa iba. Dia luluh melihatku runtuh menangisi perjuanganku yang gagal. Adrian tak sampai hati membiarkanku. Letih teramat sangat menghantam ketegaranku hingga nyaris berantakan.

Saat seseorang berjuang terlalu keras, satu detail kecil bisa saja menghancurkan semua cita-citanya. Adrian nggak mau aku mengalaminya sekali lagi. Kerapuhanku membangkitkan sisi heroik dalam dirinya. Dengan tangan-tangan kekar hasil bentukan angkat beban tahunan, Adrian membopong tubuhku yang bergetar menangis, membaringkanku di tempat tidur dan menggarapku sampai pagi.

Itu adalah salah satu seks terbaik yang pernah kualami.

Tentu saja, kami nggak pernah mengakuinya.

Aku menunduk, menyatukan bibirku dengan bibir Adrian yang kutahu sedikit terbuka bukan karena terlihat, tapi karena hangat napas beraroma pasta giginya menyapa mesra wajahku. Kukecup bibir bawah lelaki itu. Alisku sedikit mengerut. Terakhir kali kucumbu, aku yakin bibir itu sedikit lebih tipis lagi. Mungkin hanya perasaannya saja, ingatanku sudah kabur. Aku terus memagut lembut. Kurasakan bibir Adri berkedut menyambut. Aku menarik wajahku menjauh, berharap Adrian mengejar bibirku. Akan tetapi bibir itu terus diam menunggu. Aku menggeram gemas, kujulurkan lidahku dan kujejalkan ke dalam mulutnya.

Nadi di pergelangan tangan Adrian dalam cengkeramanku tiba-tiba berdenyut lebih kencang sampai-sampai aku dapat merasakan perubahannya. Menyadari ada sesuatu yang salah, entah apa, aku termangu dengan lidah terjulur dalam rongga mulut Adrian. Jantungku mencelus. Mataku membola.

Aku menggulung kembali lidah dan menyimpannya rapat ke tempatnya semula. Ludahku yang terteguk terasa kecut. Cengkeraman tanganku mengendur. Tubuh di bawahku ikut menegang menahan napas. Tangan-tanganku merayap turun, menelusuri lengan seseorang yang beberapa detik lalu kuyakini sebagai sahabat sejatiku.

Ini Adrian, kan?

Adrian nggak pernah punya kawan pria menginap, jadi itu pasti Adrian. Kuberanikan menyentuh otot bahu pria misterius itu, merasakan hasil tempaan yang kurang lebih sama dengan Adrian. Dada bidangnya yang keras, otot-otot perut yang kencang. Bibirku tergigit kuat oleh gigi-gigiku sendiri. Usaha terakhirku untuk membuktikan itu Adrian atau bukan sebelum menyibak selimut adalah menekankan dua tangan ke otot inti pria itu, tepat di antara pusar dan tulang kemaluannya.

Suara napas tersendat sebenarnya enggak membuktikan apa-apa. Kalau lelaki itu Adrian, sejak tadi dia sudah membantingku ke lantai. Tapi, lelaki macam apa yang diam saja tahu-tahu disergap perempuan tak dikenal?

Ya ampun.

Akhirnya aku menyadarinya.

"Brengsek!" makiku sambil berdiri menjulang menarik selimut bersamaku dalam satu hitungan.

Dia bukan Adrian!

"Mmm... mbak... siapa?" tanya pemuda itu tanpa dosa.

Napasku tertahan dengan mulut menganga lebar. Bola mataku menjegil sampai nyaris jatuh.

Pencuri. Ada pencuri, benakku bersahutan mendesak saraf-saraf otak mengirim sinyal ke seluruh tubuh supaya segera bereaksi. Tapi jangankan berteriak, kembali bernapas saja aku kesulitan. Sampai lima detik kemudian, kalau lelaki kurang ajar berkulit sawo matang yang kukangkangi itu nggak meringkik ketakutan, aku mungkin akan membatu begitu terus sampai pagi.

Bisa-bisanya dia malah yang nanya! Harusnya aku yang protes! Bagaimana dia bisa tidur di kamar Adrian? Kenapa digerayangi dia diem aja???

"Siapa kamu, ngapain di sini?!" jeritku panik. Suaraku melengking naik beberapa oktaf, sementara cowok itu mengerang kesakitan.

Yang paling cepat bereaksi tadi adalah kaki-kakiku. Sebelum turun dari tempat tidur, dengan sengaja kujadikan tulang kemaluan penjahat itu sebagai pijakanku melompat. Aku menengok ke segala arah, sayangnya di kamar Adrian si pecinta damai nggak ada objek yang bisa kusahut untuk membela diri.

"Mbak yang siapa?!" balas cowok itu sambil meringis memegangi perutnya. "Saya lagi enak-enak tidur digerayangi, sampai kaget kirain mau diperkosa!"

Terang aja aku nggak terima, "Enak aja, yang ada aku yang rugi kamu diem aja! Kok bisa kamu tidur-tiduran di kamar Adrian? Siapa kamu? Maling kamu, ya?"

"Jangan sembarangan, Mbak... saya sepupunya Adrian, dari luar kota," jawabnya seraya berusaha duduk meski otot-otot abdomen-nya pasti nyeri bukan kepalang. Tubuhnya melengkung demi meringankan trauma di bagian tengah tubuhnya.

Duh... aku ikut meringis ngebayangin penderitaannya. Sakitnya pasti ngelebihin abs-burn setelah pertama kali latihan intens.

"Bohong!" tuduhku galak. "Diem kamu di situ, ya! Aku panggilin satpam biar diarak bugil kamu masuk-masuk apartemen orang seenaknya! Diem aja lagi dipegang-pegang! Dasar cari-cari kesempatan!"

"Astaghfirullah, Mbak, demi Allah! Saya barusan tidur, nggak ngerasain apa-apa. Kerasa-kerasa saya mimpi mulut saya kemasukan ular!" bantahnya keras.

"Kemasukan ular?!" Aku tergeragap. Lidahku dibilang ular?

"Co-coba Mbak sabar dulu dan telepon aja Adriannya?"

"Di mana Adrian? Jangan-jangan kamu bunuh makanya kamu bisa naik ke tempat tidurnya?!"

"Kalau saya bunuh orang, ngapain saya tidur-tiduran di sini coba?"

"Ya terus... kok kamu bisa di sini?"

"Kan saya sudah bilang! Saya sepupunya dari luar kota. Tadi dia memang bilang mau keluar sama manajernya, takut temennya telat balikin mobil buat jalan besok. To-tolong, Mbak.... Jangan panggil satpam. Takut Adri belum lapor kalau saya mau nginep. Mbak pasti punya nomor Adri, kan?"

Saat itu, aku baru ingat pada pesan kedua Adrian yang kubiarkan. Kepalang malu, aku nggak mau mengendurkan pincingan mataku yang masih menyorot curiga. Tanganku memegangi handle pintu. Aku mulai resah. Perasaanku agak nggak enak. Kayak ada yang salah, tapi karena pikiranku campur aduk, aku nggak kunjung menemukan apa yang salah itu.

Sampai kemudian cowok itu merintih sambil menunduk dengan muka merah padam, "Tolong Mbak pakai baju dulu... mohon maaf, saya nggak enak lihat perempuan setengah telanjang...."

Astaga!

Dari tadi aku berdiri berkacak pinggang cuma pakai kutang doang.

Tebak, mana Mahmoud, mana Adrian?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro