2. Eggplant

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Siapa yang suka makanan dan minuman manis?

Healthy fun facts 2

Sugar is more dangerous than cigarettes.

Kebanyakan gula mengakibatkan obesitas yang menjadi penyebab belasan juta kasus kematian per tahun. Tiga kali lipat lebih tinggi daripada kematian yang disebabkan oleh rokok. Gula juga bertanggung jawab akan timbulnya penyakit kelainan jantung dan diabetes. Gula yang dimaksud bukan hanya gula pasir, lho. Pemanis pada minuman kemasan yang kadang kamu konsumsi setiap hari mengandung gula yang sangat tinggi. Bahkan, kalau kamu sedang berusaha menurunkan berat badan, lebih baik kurangi mengonsumsi jus buah karena buah yang dijus kadar gulanya meningkat. 

***

Vote dan komenku mana, nih? Latihan menuju 1k komen, gimana kalau 300 komen dulu?
Jangan lupa follow Instagram dan akun Wattpad-ku yah...

Aku hanya mengenakan kemeja kembali tanpa mengaitkan butir-butir kancingnya.

Awalnya kucoba, tapi karena panik dan terburu-buru, kancing-kancing itu justru terjambret jam tanganku dan sebagian berhamburan di lantai. Rokku masih ada di tempatnya. Aku sudah sempat merapikannya meski sambil menjerit-jerit setelah menyadari lelaki yang kutindihin bukan Adrian. Horny-ku juga sudah menguap. Aku bahkan lupa soal mabukku. Yang ada di kepalaku sekarang ini cuma bom atom yang siap meledak gara-gara hasrat yang nggak jadi tersalurkan.

Aku sadar penampilanku sangat provokatif. Kemeja stretch yang tepat ukuran dengan badanku ini bagian dadanya nggak mau menutup tanpa dikancingkan, meski aku sudah mendekapnya erat. Buah dadaku menyembul dari dekapan lengan. Diam-diam aku malah menyukai penampilan badass-ku dari pantulan cermin lemari pakaian. Kalau enggak, aku pasti lebih memilih kabur daripada menunggui cowok jelek yang diam saja kugerayangi itu.

Anyway, push up bra ini benar-benar bagus.

Mendadak aku justru memikirkan berapa banyak uang yang bisa kutabung kalau rencana implan payudara tahun depan kubatalkan. Aku bisa memakai uang itu untuk memperlebar studio foto. Gio sudah sering menyuarakan itu hampir setiap briefing pagi.

Kayaknya push up bra aja udah memadai, nggak perlu implan-implan segala. Dadaku yang nggak seberapa montok tampak meluap tertopang bra hitam keluaran merek terkenal. (Jarang-jarang memang aku pakai penutup dada seperti ini. Kurang nyaman buat sehari-hari. Makanya aku baru nyadar pengaruhnya cukup signifikan.)

Paling-paling nanti kalau aku harus rilis video work-out baru, aku bisa menyumpalnya sedikit. Implan entar-entar saja lah (tapi tetap harus.)

This is the dark side of getting slimmer, kata personal trainer-ku waktu kusadari ukuran dadaku ikut mengecil, bukan hanya lingkar punggungku.

"Kamu butuh banyak nutrisi untuk membentuk otot dan menggembungkan bagian-bagian tubuh yang seharusnya tetap bulat meski yang lainnya mengecil dan menyempit. Kalau di sisi lain masih defisit kalori, memiliki payudara sintal itu hampir mustahil. Satu-satu dulu, kurus dulu, baru membentuk lengkungan."

Aku sudah melewati tahap pertama, tapi aku nggak ingin mengambil risiko kegemukan lagi demi membesarkan payudara. Buatku, implan adalah kunci.

(In fact, unpopular opinion, hampir semua fitness influencer dengan body fit tapi dada tetap montok bisa dipastikan implan.)

"Apa kamu lihat-lihat?" Aku ujug-ujug menyalak.

Tatapanku yang sedang serius mengagumi diri sendiri tadi tahu-tahu bersirobok dengan lirikan takut-takut si cowok misterius lewat pantulan cermin.

Begitu disemprot perempuan galak, kepala lelaki itu sontak menunduk.

Padahal sebenarnya apa coba salahnya? Aku kok yang merangkak di atas tubuhnya. Dia masih asyik-asyik tidur di atas kasur empuk, kecapekan sehabis menempuh perjalanan jauh lewat darat dari pulau Jawa, tau-tahu ada yang mengunyah bibirnya.

"Kamu tetap di situ, tangan di belakang sampai Adrian kembali!"

"T—tapi, Mbak...."

"Mbak... Mbak...." aku mendumal. "Panggil aku ibu! Nggak sopan, emang ibu kamu ngelahirin aku apa kok kamu berani manggil aku embak?"

Bagaikan tangkai bunga yang layu, leher cowok itu kembali melengkung lesu. Badannya yang mungkin masih pegal-pegal semalaman menghabiskan perjalanan di bus pasti nggak keruan rasanya. Kakinya yang ditekuk di atas kasur sekarang ini pasti udah mulai kesemutan, tapi dia nggak berani bergerak. Tangannya juga kusuruh taruh ke belakang, mau benerin selimut di pinggangnya aja susah. Mana dingin banget AC kamar Adrian.

Salah sendiri tidur nggak pakai baju!

Kasihan.... Udah dingin, dapat stimulus pula meski sekadar uji coba. Mati-matian aku menahan diri untuk nggak melirik ke bagian-bagian tubuh yang nggak seharusnya kulirik. Begitu kulakukan, aku malah menelan ludah antara malu dan penasaran. Soalnya setelah dilihat-lihat, orang asing itu lumayan juga. Oke... sedikit agak lebih dari lumayan. Itu baru nilai mukanya doang, belum bentuk badan, belum soal ukuran anggota tubuh terlarang lainnya.

Sewaktu kududuki pinggangnya tadi, aku sempat merasakan sesuatu yang keras dan mengganjal di belahan pantatku. Aku nggak bisa memastikan apakah benda itu sudah beraksi atau belum, tapi kalau dari liatnya daging saat menyundul area pribadiku... aku yakin dia sudah bangun paling tidak beberapa saat sebelum aku sadar bahwa dia bukan orang yang kumaksud.

"Tutupin tuh bagian bawah kamu," titahku sambil pura-pura memalingkan muka ke arah lain. Kubilang pura-pura karena lewat ekor mataku, aku masih bisa melihat cowok yang ngaku-ngaku sepupu Adrian itu bergegas mengumpulkan selimut buat ditumpuk di atas pinggang hingga pahanya yang berotot dan kencang.

Syukurlah. Aku bisa kembali fokus sekarang.

What took Adrian so long?

Aku ngantuk bukan main, tapi tidak berani beranjak ke mana-mana. Badanku juga pegal-pegal. Setelah seharian bekerja lembur membungkus ratusan pesanan resistance ban gara-gara pesuruh kami terpaksa kupecat setelah kedapatan mencuri, lanjut menghadiri pesta ulang tahun Dian Rai, harusnya sekarang aku sudah berkelana ke alam mimpi.

Sempat tergoda untuk meninggalkannya sendirian supaya aku bisa tiduran di sofa barang sebentar. Toh, dia kelihatannya harmless, malah sangat penurut dan ketakutan gara-gara aku histeris dan sempat mengancam mau mengadu ke polisi.

Tapi, jangan lengah, Min! Kepalaku menggeleng kasar sekalian buat ngusir kantuk. Cowok ganteng di mana-mana nggak bisa dipercaya! Bisa aja dia pura-pura kalem dan takut, tapi kalau dibaikin ternyata beringas.

Aku sudah bertekad tidak akan luluh pada pesona pria ganteng dari belahan bumi manapun, baik yang hedon, sampai yang kampungan. Semua lelaki nggak bisa dipercaya.

Lima tahun lalu, aku pernah punya pacar yang sejak awal jumpa nyaris tak bisa kutemukan sisi buruknya karena memang disembunyikannya dariku. Namanya Edwin. Orangnya tinggi semampai, ganteng udah pasti. Walaupun jarang digunakannya padaku, ukuran kejantanannya sangat memukau.

Aku tahu cowok itu memacariku bukan karena aku cantik, ramping, apalagi seksi. Aku cukup sadar diri bahwa aku tidak termasuk dalam tiga kategori itu. Mungkin karena sudah belasan tahun termakan toxic positivity dari Mami dan seluruh anggota keluarga yang kelewat sayang padaku, aku bisa terima ada cowok sesempurna Edwin yang percaya mitos inner beauty.

(Sampai sekarang, aku bisa tahu-tahu tertawa sendiri setiap kali mengingat kebodohanku. Inner beauty-ku bahkan nggak cakep-cakep amat. Pokoknya kalau inner beauty di dimensi lain merupakan standar kecantikan, sosok Mina lima tahun lalu juga bakal begitu-begitu saja. Jelek banget enggak, cantik juga enggak.)

Rayuan maut Edwin membuatku lupa bahwa aku adalah putri tunggal seorang pengusaha kaya yang hanya dengan merengek selama lima detik via panggilan video di tengah kesibukan Papi, uang sewa kontrakan Edwin yang menunggak tiga bulan bisa langsung dilunasi.

Kalau aku mau melanjutkan meratap sampai satu jam, Edwin mungkin bisa beli mobil baru. Cowok itu juga sangat pintar memanipulasi, dia membuatku nyaman dengan segala kekuranganku supaya satu-satunya cowok yang bisa memanfaatkanku hanya dia seorang.

Rambut kamu tuh bagus kali sayang, lembut, tipis, lurus, kalau aku belai-belai langsung bisa kena batok kepala kamu, nggak usah sering-sering ke salon.

Kamu tuh nggak gemuk kali, ngapain sih pengin sering-sering olah raga, nanti kamu malah kecapekan, kena tipes, lho. Aku nggak mau ah kamu sakit.

Kamu kalau maem karbonya cuma dikit, nanti lemes.

Aku nggak keberatan kamu gemuk, aku malah suka kamu agak gemuk. Ada yang bisa dipegang-pegang.

Diabetes mah nanti gampang diobatin. Tanteku juga kena diabetes masih hidup sampai sekarang.

Hidung kamu tuh nggak pesek, cuma nggak mancung aja.

Udah, nggak usah ngabisin duit ngobatin jerawat. Mungkin kamu dulu pubernya telat aja, makanya sekarang kamu udah tua baru puber.

Emang lagi musim kemarau kali, makanya bibir kamu pecah-pecah. Pakai lip balm gitu nggak akan menolong. Ini tuh kehendak alam. Jangan kemakan iklan.

Waktu itu aku cinta buta, kupikir Edwin adalah cowok baik yang menerima perempuan apa adanya. Dia nggak mau aku cantik-cantik banget, nanti digebet cowok lain. Kupikir itu romantis. Itu bukan gaslighting. Edwin hanya nggak ingin aku memakai standar orang lain untuk menentukan kecantikanku.

Itu benar. Kita nggak perlu memakai standar cantik siapapun, tapi aku sama sekali nggak kepikiran bahwa menjadi lebih cantik, lebih sehat, lebih ramping kubutuhkan untuk diriku sendiri, bukan semata-mata demi kenyamanan Edwin.

Lalu, tepat saat berat badanku mencapai 75 kilogram, aku memergoki Edwin sedang bergulat di lantai apartemen yang kusewakan untuknya dengan seorang perempuan. Telanjang bulat. Duniaku jungkir balik saat itu juga.

Yang lebih menyakitkan, Edwin hampir tidak pernah menyentuhku. Lagi-lagi selama ini aku menganggap... oh, sungguh mulia hati Edwin. Dia suci seperti Dalai Lama. Dia lelaki seribu banding satu. Dia nggak mau menyentuh perempuan sebelum menikah.

Omong kosong.

Bajingan itu nggak pernah mengajakku bergulat telanjang karena dia tidak berselera. Edwin sengaja meng-grooming-ku menjadi kucing persia buluk yang gemuk dan malas supaya tak seorang pria pun di dunia ini sudi mendekati tambang emasnya.

Aku tidak punya masalah dengan cewek gemuk selama dia sehat dan energik. Gemuk atau kurus bukan standar kecantikan, aku cukup paham hal itu. Masalahnya kegemukan selalu identik dengan tubuh yang kurang sehat. Adrian menguliahiku setiap hari mengenai hal yang sama. Sampai-sampai aku muak dan membentaknya. Hal seperti itu hanya terjadi ketika aku mengencani Edwin.

Tentu Edwin senang bukan main. Adrian memang satu-satunya lelaki yang susah sekali dijauhkan dariku.

Satu, kami memiliki ikatan yang kuat.

Dua, dia terpaksa harus membagi isi dompetku dengan Adri.

(Adrian dan Edwin sama-sama butuh uang tambahan buat menyambung hidup di Jakarta yang keras. Bedanya, Adrian selalu mengembalikan uang yang dipinjamnya dariku, Edwin tidak meminjam. Edwin menganggap uangku adalah uangnya. Timbal balik pun tak ada. Seks sangat jarang, kencan romantis juga aku yang bayar.)

Sisi positifnya, diam-diam aku punya mental baja.

Aku hanya lemah karena terjebak cinta beracun. Begitu racun itu dikeluarkan dari tubuh, aku menemukan titik balikku.

Itik buruk rupa itu pun berubah menjadi Little Monster. Born this way bukan lantas membuatku menerima diri apa adanya dan menolak memperbaiki apa yang Tuhan kasih. Enam bulan setelah memergoki Edwin berselingkuh dengan teman sekantornya yang muat dalam size 4, aku berhasil membuang 25 kilogram lemak yang dijejalkan Edwin ke balik kulitku, sekaligus merintis kerajaan bisnis yang salah satu misinya adalah mengedukasi perempuan supaya nggak cuma cantik dari dalam, tapi terutama dari luar.

Cantik dari dalam doang hanya membuat perempuan gampang dibego-begoin kaum dajal.

Bel pintu berdentang.

The dream Cast mau aku post duluan di instagram, malah Instagram down.

Tapi sekarang udah, cus ke instagram-ku, ya? Cucok, ndak?

Ayo dong vote dan komennya, mau dipost gratis enggak, nih?







Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro