13. Salmon Skin Roll

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo...

Selamat malam minggu. Ini ditemenin Mas Mahmoud.

Kencengin lagi dong vote komennya.... 

Kalau enggak 650 votes, 500 komen, aku belum mau update, yaaa... Yang suka cerita ini rekomen ke temen-temenmu, dong.

PS: lupakan healthy fun fact. Ini aja update keburu-buru. Kayaknya emang idealnya 3 hari sekali, sih.

"Gusti Allah!" seruku kaget.

Untung sedan mewah ini mentul-nya jempolan. Dibelai pedal rem-nya dikit langsung nurut. Kalau ini truck Abhi, moncongnya pasti udah menyosor bumper belakang Mercedez yang sekilas lihat sama mewahnya dengan Jaguar milik Bu Mina.

Kamu mau jadi pasanganku?

Hanya dengan satu kalimat, perempuan di sampingku ini nyaris bikin sekeluargaku bangkrut kalau sampai refleks-ku barusan kurang canggih. Seketika napasku habis, degup jantungku ikut-ikutan berhenti. Sialan, dia mungkin berpikir, pasti lucu sekali bikin cowok kampung kebaperan. Coba saja kalau moncong Jaguarnya ambyar, apa dia masih bakal berpikir itu lucu?

"Nabrak?" tanyanya. Sambil memanjangkan leher jenjangnya ke depan, jari-jari tangannya mencengkeram erat pundakku.

Mataku sontak melirik ke tangannya yang bersarang di sana. Pada saat bersamaan, mata indah Bu Mina mengerjap menatapku. Hitungan waktu di dimensiku seakan memulur, gerakannya melambat seperti adegan film. Aku tertegun. Memaku. Liurku hampir mengucur. Fokusku terperangkap kemolekan leher itu....

Luar biasa leher itu..., walau otot-ototnya tertarik, permukaan kulitnya tetap mulus.

Bening, sebening leher Bunga Citra Lestari.

"Moud! Mahmoud!" seru Bu Mina mengejutkanku. "Nabrak, enggak? Kok bengong?"

"Ti—tidak, Bu," jawabku tergagap-gagap.

(Lagian memangnya kalau nabrak dia nggak bakal kerasa?)

Bu Mina membelai dadanya, "Syukurlah...."

Aku berdeham, mengembalikan perhatianku ke depan sambil menggumam, "Iya, syukurlah... masih disayang Tuhan."

Bu Mina tertawa kecil. Tawanya tersembunyi di balik lipatan bibirnya, membuatku penasaran dan menoleh lagi. Masyaallah. Dia tidak menggoda, tapi aku terus merasa tergoda oleh kulitnya yang putih bersih, yang menurutku sangat cocok dibungkus gaun warna marun, "Siapa yang masih disayang Tuhan? Jaguarnya?" tanyanya.

"Saya-nya," jawabku. "Kalau Jaguarnya sampai nabrak, saya yang celaka."

"Kan ada asuransi."

"Oh... jadi boleh saya tabrakin?"

"Memangnya badan kamu juga diasuransiin?"

"Kalau badan saya kan ada asuransi kesehatan dari kantor, kata Bu Cynthia."

"Emang asuransi kesehatan kantor ngover luka cakaran dan cubitan dari bos-mu setelah Jaguarnya kamu tabrakin?"

Deg.

Brengsek.

Luka cakaran dan cubitan?

Telingaku panas, tapi bukan karena amarah. Sampai mau ketawa supaya nggak ketahuan bahwa bagian tubuhku yang tidak bisa kusebutkan secara vulgar di sini sedikit bereaksi saja sulit. Apa-apan itu, Mu? Apa yang bikin darahmu berdesir sampai ke bawah-bawah dari kata cakaran dan cubitan? Kucing Ummi di rumah juga mencakar, anak Mas Ahmad kalau digodain juga mencubit, tapi kalau perempuan seksi yang pernah melecehkanku mengatakannya, kenapa efeknya bisa jadi begini?

"Kok diem?" Bu Mina bertanya. "Salah tingkah?"

Sudut bibirku tertarik ke arah di mana lesung pipitku biasa muncul. Biasanya, lesung pipit begini suka bikin para gadis setengah jadi klepek-klepek, apa wanita matang yang seksi dan jelas suka menggoda seperti Bu Mina juga masih mempan digoda dengan lesung pipit?

Mari kita coba.

"Sedikit," jawabku, jujur, tapi malu-malu. "Mohon maaf, saya agak tersanjung karena cuma mau dicakar dan dicubit setelah nabrakin Jaguar. Biasanya kalau supir lain mungkin digebukin, lebih parah lagi potong gaji seumur hidup buat ganti."

Kali ini Bu Mina tergelak sambil menutup mulutnya dengan ujung jari-jari. Aku melirik (yang niatnya untuk terakhir kali) sebelum bertekad memusatkan konsentrasi ke jalanan di depanku daripada jantungku ser-seran terus dan membahayakan perjalanan kami. Tawa renyah dan pipinya yang bersemu merangsang perutku bergolak samar.

Aku menghela napas tak kentara, terus kuingatkan diriku supaya jangan ketinggian kalau ngayal, nanti jatuhnya lebih sakit.

Beberapa menit perjalanan kemudian, kira-kira pukul tujuh, Bu Mina mengambil ponsel dari dalam tasnya. Kelihatannya dia memosting sesuatu ke akun media sosial. Kalau nggak salah lihat, sih, instagram.

"Besok mau ada video workout baru di aplikasi kita, kamu udah unduh belum app-nya? Nanti minta tolong ke Tamara buat di-upgrade jadi premium kalau udah ngunduh, ya? Promosiin ke teman-teman kamu biar instal juga," katanya.

Aku mengangguk-angguk. "Apa saja konten aplikasi kita, Bu?" tanyaku.

"Macem-macem yang kaitannya sama diet dan hidup sehat. Ada kalkulator hitung kalori buat yang mau weight gain atau weight loss, selebihnya kalau premium bisa akses video work out, online class, resep-resep Stef yang lebih advanced, macem-macem. Kita kerjasama sama fitness influencer juga, kayak Dian Rai, chef WillBroz, sesekali aku ngisi workout juga, yang gampang-gampang."

Angguk-anggukku makin kuat, mulai punya bayangan tentang apa saja yang dilakukan orang-orang di kantorku.

Selanjutnya Bu Mina mengutak-atik ponselnya lagi, kemudian memegangnya agak jauh dan mengarahkannya ke wajahnya sendiri. Aku berusaha tidak melirik, tapi tak bisa. Di depan layar ponsel, perempuan itu melenggak-lenggokkan wajahnya seperti sedang mencari angle yang tepat untuk diambil gambar. Kupikir dia akan mengambil swafoto, sampai kemudian dia bicara sendiri, "On the way ke party-nya Adi Sas, nih."

Bu Mina menghadapkan layarnya ke arahku sekilas dan membuatku kaget, aku buru-buru berpaling. "Jangan lupa, besok jam delapan pagi, workout bareng gue, ya? Unduh aplikasi Healthy By Mina dan langsung subs premium biar lebih hemat, atau langsung unduh video training-nya hanya dengan lima belas ribu rupiah saja. Stay fit and healthy, guys... jangan lupa istirahat dan makan cukup. Bye!"

Video dimatikan.

"Barusan muka saya masuk ke video, lho, Bu," kataku panik. "Maaf, saya nggak sempat nengok tadi."

"Nggak apa-apa," ucapnya santai.

"Dihapus dulu saja, Bu," kataku lagi.

"Ih, kenapa? Masalah kalau kelihatan di kamera? Malu ya pergi sama aku? Kenapa? Ada yang bakal marah, ya?"

Aku menyengir. "Ada."

Mata Bu Mina membola. "Eh, serius? Ada?"

"Adrian yang bakal marah," kataku pelan, semoga nggak terdengar terlalu memancing. Aku beneran penasaran ada hubungan apa antara Adri dan Bu Mina. Aku belum paham juga sampai sekarang, bagaimana mungkin dia salah mengira aku sebagai Adrian dan memperlakukanku seperti itu kalau di antara mereka tidak ada apa-apa? Okaylah kalau tidak ada hubungan romantis, tapi tentu ada rasa saling menyukai, kan? Adrian tidak pernah mau mengaku.

"Ngapain Adri marah?" sergahnya. "Dia marahnya karena aku jadiin kamu pesuruh. Aku dan Adri nggak ada apa-apa, kok."

Lalu kenapa kamu menyelinap di balik selimutnya kalau nggak ada apa-apa?

"Adri ada ngomong sesuatu memangnya tentang aku? Kok bisa kamu menarik kesimpulan seperti itu?"

"Oh... eng... nggak ada, Bu...."

"Pasti karena kejadian waktu itu, ya? Aku tuh susah jelasinnya, tapi memang aku dan Adri hanya sahabat. Nanti kalau kamu lamaan tinggal di kota besar dan menghabiskan waktumu untuk bekerja, lalu cinta tidak bisa masuk dalam prioritas hidup... kamu juga akan paham."

Oh, begitu... sebenarnya, nggak perlu lama tinggal di kota besar, aku sudah lumayan paham. Maksudnya soal pelampiasan nafsu, kan? Tapi, apa yang melandasinya? Bisakah dua orang manusia melakukan kegiatan seintim itu hanya karena dorongan kebutuhan? Entah kenapa, aku terus berusaha mencari jawaban pasti, padahal yang namanya perasaan nggak ada yang pasti. Mungkin maksudnya, karena cinta tidak menjadi prioritas dalam hidup Bu Mina dan Adri yang super sibuk, mereka mencari kepuasan yang seharusnya didapat dengan cinta dari cara lain, misalnya mabuk.

"Moud," panggilnya. "J

"Iya?"

"Jadi kalau Adrian nggak marah, kamu nggak masalah, kan?"

"Yah... saya hanya mencoba supaya nggak ada masalah di kemudian hari, tapi kalau menurut ibu muka saya layak disiarkan di video ibu, saya ikhlas. Kalau saya jelas tidak ada yang akan marah, Ummi dan Abhi saya nggak main media sosial," kelakarku.

Bu Mina memandangi layar ponsel yang kemudian memperdengarkan suara manis yang ia rekam tadi, "Muka kamu layak banget, Moud," katanya, lalu tersenyum ke arahku, entah apa maksudnya.

Mobilku memasuki lobi sebuah night club mewah tempat acara yang akan dihadiri Bu Mina berlangsung. Sejak terlibat dalam kemacetan menuju jalan masuk tadi, aku dan Bu Mina sudah berhenti mengobrol. Dia sibuk meneliti penampilannya di pantulan cermin bulat, aku sibuk mencari celah supaya mobil tidak diserobot dalam antrean yang berjejal.

"Em... Bu Mina... apa saya boleh simpan nomor ponselnya?" tanyaku sebelum perempuan itu melepas sabuk pengamannya, aku butuh menyimpan nomor itu supaya bisa lebih cepat merespons kalau dia membutuhkanku.

"Boleh, nanti, ya?" katanya.

"Oh... ya sudah, kalau begitu. Nanti saya ubah pengaturan supaya bisa menerima semua nomor tidak dikenal. Dulu nomor saya pernah tersebar gara-gara ikut-ikutan MLM abal-abal, banyak sekali telepon penipuan yang masuk, jadi memang nomor-nomor tidak dikenal saya halangi," terangku panjang lebar.

"Oke," kata Bu Mina bingung.

Aku keluar lebih dulu dari pintu di sampingku dan berlarian kecil untuk membukakannya pintu penumpang. Bu Mina mengulurkan tangannya dalam posisi telungkup, aku menyambutnya dengan gugup. Dia lantas berdiri, menebarkan senyuman ke sana kemari meski kalau kulihat-lihat tidak ada yang tersenyum padanya. Sebelum kusadari, Bu Mina menyelipkan tangannya ke lenganku, merapatkan tubuhnya padaku.

Aku menatapnya heran.

"Apa?" tanyanya.

"Saya... tunggu di mobil nanti, di parkiran," kataku. "Apa saya harus ngantar ibu ke dalam dulu? Lalu mobilnya?"

Bu Mina gantian menatapku dengan alis mengerut, aku sampai mengusap pipiku mengira ada sesuatu yang aneh di sana. Seorang pria berpakaian seragam karyawan hotel menghampiri kami dan menyerahkan selembar tiket kepadaku. Aku menerimanya, mengira mungkin memang itu prosedur parkirnya, tapi lalu mobilku dibawa pergi.

"Eh—eh... lho... mobilnya...."

"Mau kemana?" Bu Mina menahan lenganku.

"Mobilnya mau dibawa ke mana? Nanti saya kebingungan kalau harus menjemput ibu ke sini."

"Mahmoud!" sebutnya tegas. "Sudah kubilang, kamu ke sini bukan sebagai supir, melainkan pasanganku. Apa menurutmu ada pasangan yang menunggu di mobil sementara pasangannya jalan sendirian?"

Hah?

"Meski aku bosmu, dalam tugas khusus begini, ada hal-hal yang boleh kamu lakukan dalam peranmu sebagai pasangan. Ini salah satunya!" Dia menunduk ke bawah sambil menggoyangkan lenganku. "Hal-hal lain berikutnya nanti kujelaskan sambil jalan. Sekarang belai jariku di lenganmu dengan tanganmu yang satunya dan tersenyumlah seakan kamu senang mendampingiku!"

Hah?

Penampakan Mas Mahmoud pas udah kena jampi2 Minul dan mau dipoto-poto

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro