14. Winter Squash

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Semoga yang ini nggak eror-erorejring lagi kayak part 13. 

700 votes 500 komen bisa laaah...

Nggak maksa, kok, tapi ngarep. 

Jumlah vomennya kok dikit, ya? Apa ceritanya kurang syur? Ingin yang syur? Sana jebyur syumur.

Follow sosmed-ku, tapi jangan unfollow :3

Iya aku memang penulis banyak maunya, manja, galak, tapi aku rajin update, kan?

Tamara mengirimiku pesan.

"Cakep banget, Mbak. Mahmoud-nya ketangkap jelas. Udah dicek belum, banyak nggak yang nge-DM?"

Aku membiarkan pop-up message-nya begitu saja, tak kubuka.

Di sampingku, Mahmoud masih tampak kebingungan. Sejak kusuruh membelai tanganku di lengannya tadi, dia belum sekalipun berhenti melakukannya. Aku jadi geli, tapi gemas juga. Kayaknya mesti benar-benar ngasih panduan satu per satu kalau anaknya lugu banget begini. Semoga saja rencana ini berjalan lancar.

"Banyak bintang sinetronnya, ya, Bu?" bisiknya.

Aku mengajaknya ke tepi setelah mengucapkan selamat ulang tahun ke yang punya acara. Formalitas aja, Adi Sas-nya sama sekali nggak mengenalku.

"Itu... itu, Bu!" imbuh Mahmoud antusias sambil nunjuk-nunjuk ketiaknya, maksudnya aku disuruh nengok ke balik badannya. Aku masih harus berjinjit supaya penglihatanku bisa melampaui pundaknya. "Mukanya sering saya lihat di televisi setiap malam dari pukul tujuh sampai sepuluh, Ummi saya ngikutin setiap hari, sampai Abhi suka marah karena makan malamnya jadi sering terlambat,"

"Iya," jawabku tanpa memastikan siapa yang ditunjuknya.

"Ibu nggak akan menyapa mereka? Kalau saya minta tanda tangan buat Ummi saya, boleh nggak, ya, Bu?"

"Boleh saja, tapi kamu minta sendiri. Aku nggak mau nemenin," kataku, Mahmoud langsung cemberut.

Aku sedang sibuk sendiri mencari-cari di mana kira-kira orang yang dipasang Tamara untuk mengambil video candid-ku dengan Mahmoud yang akan dikirim ke akun gosip. Kalau aku nggak tahu yang mana, itu berarti aku harus terus menempel padanya. Yah, bukannya aku keberatan. Toh, Mahmoud sedikitpun tak memalukan. Kalaupun orang tahu dia bekerja untukku, aku nggak keberatan dianggap sugar mommy-nya. Menurutku itu lebih keren. Aku terlahir kaya, jadi ide tentang sugar daddy sama sekali nggak menarik buatku.

"Haus," keluh Mahmoud. "Ibu mau saya ambilkan minuman?"

"Ambil barengan aja."

"Ini tetap harus dibelai begini?"

Aku malah baru ingat belum memperbarui perintah. "Enggak, Moud. Kamu boleh naruh tanganmu ke pinggangku. Begini," kataku sambil menarik tangan kirinya dan menempelkannya di jarak antara punggung dan pinggulku. "Jangan diturunin, atau dikeatasin."

Mahmoud menelan ludah. "Kenapa nggak boleh?"

"Kalau dikeatasin, itu menandakan kamu punya power lebih terhadap pasanganmu. Kadang kita nggak sengaja melakukannya, tapi orang yang ngelihat bisa punya pandangan lain. Terkesan mengontrol. Kalau kamu taruh tepat di situ, itu tandanya kamu care sama aku, ingin melindungiku, dan nggak mau jauh-jauh dariku."

Muka Mahmoud merebak merah padam.

"Akting saja ya, Moud," bujukku, tahu dia salah tingkah. "Kamu sering nonton sinetron, kan? Nah, begitu. Harus senyum, jangan kaku. Mana lihat senyumnya?"

"Bu Mina jangan begitu," kelitnya. "Saya malu."

Aku menyecar, habisnya gemas. Kepala Mahmoud melenggak-lenggok menghindari tatapanku, "Kenapa malu? Ih... kenapa malu? Aku memalukan memangnya?"

"Bu Mina tahu benar bukan itu maksud saya," dia menggerutu. "Saya bingung kalau-kalau nanti ada yang nanya."

"Nanya apaan?"

"Ya... siapa tahu ada yang nanya, siapa saya, saya mesti bilang apa?"

"Nanti yang ditanyain pasti aku, kok, bukan kamu."

"Nanti ibu akan bilang apa?"

"Belum tahu. Kamu maunya dijawab apa?"

(Udah, Min... kasihan anak orang....)

"Kamu haus, kan?" tanyaku. "Yuk... kita jalan ke bar itu, lalu pesan minuman."

Mahmoud berdeham.

"Santai aja, Moud. Nggak usah gugup. Di sini nggak banyak yang kenal aku, kok. Aku cuma diundang karena bapaknya yang punya acara rekan bisnis papiku. Kebetulan dia ngasih aku harga yang bagus buat material produk baru kita. Ini cuma formalitas aja. Kita nggak akan ditanyai macam-macam."

Kelihatannya, apa yang kuomongkan sama sekali nggak membantu. Muka Mahmoud kembali pucat, semburat malu-malu saat kugoda tadi langsung lenyap. Dalam ruangan dingin begini, sebutir keringat meluncur mulus dari keningnya. Pikirku, karena mungkin ini bisa jadi momen yang bagus kalau orangnya Tamara mencuri-curi gambar atau video, aku mendongak dan menghapus keringat itu dari kening Mahmoud. Dia malah makin tersentak, tangannya refleks mencengkeram punggungku. Kalau dia melakukannya ke atas sedikit, kait penutup dadaku bisa terlepas.

"M—maaf," ucapnya.

"It's okay! And stop saying sorry!" kataku, agak galak. Aku lantas menggandeng tangannya dan menariknya ke bar yang kumaksud sebelum Mahmoud pingsan karena gugup.

"Kamu mau minum apa?"

Mahmoud menggeleng, "Air putih saja."

Aku mendesah, tapi apa boleh buat? Aku memesan segelas sparkling water untuk Mahmoud dan Bloody Mary untukku sendiri. Jujur, aku juga gugup. Sedikit alkohol mungkin bisa merelakskanku.

Kasihan banget anak orang dikerjain begini. Aku ngerasa bersalah banget sama Mahmoud.

Kalau ternyata dia merasa terpaksa, gimana? Coba saja kalau aku bertukar posisi dengan Mahmoud, apa aku nggak merasa dilecehkan sama bosku kalau begini? Hanya karena dia laki-laki, apa lantas dia nggak boleh merasa keberatan kalau yang ngajak bos perempuan? Gio seenaknya bilang, hanya karena dia pesuruh, dia pasti mau aja diajak ke pesta sama nona bos. Mana bisa begitu? Pemaksaan tetap saja pemaksaan. Dia nggak akan menolak bukan karena dia pasti mau, tapi karena nggak berani berkata tidak.

Mahmoud duduk tegak di kursi bar, di sampingku. Kepalanya menoleh ke sana kemari memperhatikan sekitar.

Aku membiarkannya, mencoba mengalihkan perhatianku dengan mengecek akun instagram. Ada sekitar 150an pesan baru di request messages. Hampir semuanya bernada tanya, siapa itu, kak? Pacar Kakak, ya? Ganteng, Kak! Akun instagramnya apa? Model baru ini pasti!

Lalu aku berhenti menggulir tepat saat bartender menyajikan minuman kami dalam posisi yang salah, tapi sebelum aku sempat memperingatkan, Mahmoud sudah meraih dan meneguk bloody mary-ku.

Dia terbatuk, aku nggak bisa nahan ketawa.

"Kebalik, Moud," kubilang. Aku mengeser sparkling water-nya, dan meminta kembali bloody mary-ku.

"Barusan ada alkoholnya?" Mahmoud nyaris memekik.

"Sedikit," jawabku santai. "Kesiniin."

"Astaghfirullah, berapa tetes tadi yang saya teguk?" serunya panik.

"Memangnya kenapa? Nggak akan mabuk, kok, kalau segitu."

"Setetes saja sudah cukup buat bikin saya digoreng di neraka," dumalnya, kontan saja aku mengakak. Mahmoud menggeser gelas cocktail semain jauh dariku. Katanya, "Ini sudah kena ludah saya!"

"Memangnya kenapa?" tantangku, nekat mengambil alih gelas cocktail yang digeser Mahmoud dan menyicip cairan merah yang ditampungnya. "Aku juga sudah pernah kena ludah kamu sebelumnya, kan?"

Mahmoud sontak menjegil.

Astaga... kenapa sih aku pakai ngomong gitu? Dia itu bukan Adrian yang hanya akan memutar bola mata kalau aku sok genit. Mahmoud benar-benar salah tingkah, dan bukannya minta maaf, aku malah pura-pura santai menjilati bibirku yang terasa manis-manis pedas berkat kandungan rempah dan tabasco campuran cocktail vodka dan jus tomat dalam bloody mary itu.

Tiba-tiba, Mahmoud menghela napas berat. Tangannya di atas meja mengepal.

Jantungku mencelus, apa akhirnya dia akan marah juga? Kupikir setelah aku memperlakukannya sedemikian rupa di apartemen Adrian dan dia lebih memilih mengalah, dia bukan tipe melawan.

Namun, setelah rahangnya mengeras dan matanya memejam seperti menahan emosi, pundaknya yang terangkat tinggi turun lagi begitu matanya bersitatap denganku. Kepalanya menunduk, mukanya rongseng, "Saya tunggu di mobil saja, ya, Bu?" izinnya.

Aku menahan lengannya. "Lho, kenapa?"

"Nggak apa-apa. Saya lebih cocok di sana."

"Tunggu, Moud... kamu marah, ya? Maafin aku, aku udah lancang. Harusnya aku lebih peka, pastinya kejadian di apartemen Adrian itu bikin harga dirimu terluka. Please... Moud... stay beberapa menit lagi aja, aku juga nggak niat lama-lama, kok. Aku tahu kamu kepaksa—"

"Bukannya saya kepaksa... tapi," Mahmoud mendesah. "Saya boleh bicara?"

"Boleh, Moud. Sejak tadi juga kamu sudah bicara," kataku tanpa melepaskan tanganku dari otot lengannya yang masih teraba kokoh meski dibalut kemeja dan blazer.

(Aku belum bisa membiarkannya pergi sekarang. Bagaimana kalau orang suruhan Tamara belum sempat mengambil foto kami berdua?)

"Jujur saja, saya nggak merasa pantas berada di sini. Kenapa ibu jadiin saya pesuruh, lalu ngajak saya ke pesta begini dan pura-pura jadi pasangan ibu? Bukannya harusnya ibu benci sama saya setelah kejadian di... apartemen Adrian waktu itu?"

Aku menarik wajahku menjauh. "Lho... kupikir harusnya kamu yang benci aku. Kamu kan yang merasa dirugikan—"

"Saya nggak merasa dirugikan," potongnya. "Apa jangan-jangan... ibu memberi saya pekerjaan, lalu mengajak saya ke sini karena ibu merasa saya merasa dirugikan padahal saya justru merasa ibu yang merasa dirugikan?"

"Berarti kita sama-sama tidak merasa dirugikan!"

"Kenapa waktu itu ibu marah-marah?"

"Ya... ya karena aku malu!" kataku akhirnya. "Coba aja kamu jadi aku, apa kamu nggak akan merasa malu? Reaksi awalku ya menyalahkanmu, sebab kamu diam saja. Kenapa kamu diam saja waktu itu?"

"Saya sudah jelaskan kenapa saya diam saja. Ibu tidak pernah menunjukkan bahwa ibu tidak merasa dirugikan."

"Aku sudah minta maaf."

"Ibu hanya minta maaf karena ibu mabuk, ibu tidak pernah minta maaf atas reaksi ibu sesudahnya. Saya yakin ibu sudah tidak mabuk lagi waktu marah-marah ngatain saya maling dan mau manggil satpam buat diarak bugil!"

Aku gelagapan. Mahmoud memandangku dengan tatapan menghakimi. Inti matanya pada inti mataku. Begitu intens. Begitu murka. Aku tak pernah menyangka pemuda kampung yang sangat ketakutan melihat gadis kota mengamuk itu bisa semarah ini. Belum genap sehari aku jadi bosnya, dia sudah begitu berani. Darahku bergolak ingin membantah, tapi lidahku kelu karena di sisi lain... ada bagian dari diriku yang sangat terpesona pada bagian dirinya yang baru pertama kulihat. Pipiku memanas, aku justru membayangkan hangat rongga mulutnya saat bibirku menyosornya tanpa izin.

Detik berikutnya, tatapanku tergunting duluan.

Aku tak bisa mencegah lagi saat Mahmoud meninggalkan meja bar. Keinginannya begitu kuat. Takutnya kalau aku bersikeras, kami malah akan membuat keributan.

Aku memutuskan menenangkan diri di meja bar, menghabiskan bloody mary-ku dan memesan segelas lagi.

Tak lama kemudian, ponselku menyala. Ada pesan dari Tam.

"Mbak, kok ini yang ngirim video candid bukan orang kita? Udah diposting di akun gosip Mbak lagi adu mulut sama Mahmoud, bukannya mesra-mesraan!"

Anyway kalau aku bikin cerita rumah tangga yang premisnya gini mau nggak?

Menatap masa depan bersamaku yuk, Moud?

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro