15. Coconut Milk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Selamat pagi 😘
I wrote this from Bali, literally pagi-pagi, terus hotelku tuh naturalis banget, hotel buat bulan madu, ada suara burung berkicau dan ayam jantan berkokok di luar. Wkwk

Aku bisa aja libur update seminggu lebih, but here I am. Siapa bilang nulis di Wattpad itu nggak butuh komitmen? 😝😝😝

Selamat membaca, ya...
Hadiah votes dan komennya yang banyak dong buatku. 700 votes, 500 komen lagi ya!

Memangnya kenapa? Aku juga udah pernah kena ludah kamu sebelumya, kan?

Aku juga pernah kena ludah kamu sebelumnya, kan?

Udah pernah, kan?

Ludah kamu.

LUDAH.

Astaghfirullaaah!!!

ARRRGH!!!

Enteng sekali dia bicara bawa-bawa ludah.

Pukul satu dini hari.

Aku sudah menanggalkan blazer Mas Gio gara-gara gerah nunggu di parkiran hampir empat jam lamanya. Ngapain coba perempuan itu nggak buru-buru pulang? Pesta ulang tahun apa lama banget sampai berjam-jam?

Aku sudah mengubah pengaturan ponselku sehingga semua pesan dan panggilan bisa kuterima. Namun, berkali-kali, yang menelepon malah adikku yang kecelakaan di jalan, Bapakku yang nyuruh transfer uang karena ditekan rentenir, yang terakhir istriku minta dikirimin pulsa buat pesan gojek karena kena macet di jalan.

(Kalau memang aku punya istri dan dia punya pulsa buat nelepon, kenapa dia nggak paketin data aja buat pesen ojol?)

Kuputuskan kembali ke dalam meski ragu. Bu Mina pasti marah besar, mungkin sekarang aku sudah dipecatnya. Aku benar-benar kesulitan menahan diriku gara-gara dia ngomong seenaknya. Baginya, mungkin bertukar ludah itu sudah biasa, bagiku itu sakral.

Masalahnya, aku masih pegang kunci yang kuminta dari petugas valet supaya bisa nunggu di dalam Jaguar. Sejam, dua jam sampai aku ketiduran, nggak ada yang mengusikku. Apa dia pulang bareng temannya? Lalu gimana nasib Jaguar ini? Apa dia sudah terlalu kaya sampai nggak peduli aku bisa saja melarikan mobil mewah ini? Mungkin dia tahu orang kayak aku nggak bakal ngerti juga kalau udah nyuri-nyuri Jaguar, lantas mau kuapakan?

Di dalam kelab yang beberapa jam lalu kutinggal, suasananya sudah jauh berubah. Atmosfer hangat dan eksklusif ketika para tamu baru mulai berdatangan seakan lenyap tak berbekas, menjelma menjadi pesta betulan. Musik berisik menghantam gendang telingaku, aroma alkohol dan asap rokok mengambang pekat di udara, aku menyisir lautan manusia yang dihujani cahaya lampu warna-warni dengan pindaian mataku. Kucoba meneliti satu per satu dari tempatku berdiri, tapi percuma. Kalau Bu Mina turun ke lantai dansa, terpaksa aku harus menunggunya di luar entah sampai kapan. Tapi mengingat pesan-pesan Adrian jika wanita itu mabuk, rasanya aku tak sampai hati membiarkannya. Aku mencoba peruntunganku dengan kembali ke bar.

Dadaku berdesir lega.

Dia masih di situ.

Aku menghampirnya. Dia sedang berusaha menopang dagunya yang nyaris merosot, matanya sudah tinggal lima watt, duduknya tak keruan. Kakinya menyilang tinggi, gaunnya tersingkap. Paha kencang dan kaki jenjangnya terpapar. Seorang pria duduk di kursi yang kutempati tadi dan jelas-jelas sedang mencoba meletakkan tangannya di paha mulus itu. Semakin dekat langkahku padanya, tatapan matanya semakin terpusat pada satu titik di balik badan si pria yang memunggungiku.

Aku.

"Sudah saatnya pulang," kataku padanya, tanpa merasa harus lebih dulu meminta izin pada pria yang sedang mengajaknya bicara. Bahuku sempat disentuhnya, tapi saat aku menoleh menajamkan mataku, dia langsung mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi sebelum menyingkir.

"Mahmoud...," sebutnya berat, mencoba membuka kelopak matanya lebih lebar. "Kupikir kamu pulang duluan...."

Kuberanikan diri menyentuh pundaknya dan membimbingnya turun.

"Aku barusan menghubungi Adrian, tapi pandanganku buram. Aku salah terus mencet nomor Dian Rai. Dia lagi nangis dan malah curhat ke aku... katanya dia nggak selingkuh, dia malah nggak tahu kenapa cewek itu mutusin dia."

Aku nggak menanggapi ocehan dalam pengaruh alkoholnya, termasuk perasaan dongkol saat dia bilang menghubungi Adrian, padahal aku jelas-jelas ada di luar memegang kunci Jaguarnya.

Apa peduli, Mu? Tugasmu sekarang sebagai bawahan dan lelaki yang terhormat adalah memastikannya pulang dalam keadaan selamat. Aku membantunya turun dari kursi bar, tenaganya sudah hampir tidak ada. Tubuhnya terhuyung hingga aku harus menahan perut dan pinggang rampingnya. Dengan sabar kupapah dia keluar dari ruangan.

Bu Mina bersandar nyaman di dadaku saat aku membuka pintu mobil sambil menahan pinggangnya. Lengannya mengalungi leherku saat aku menunduk membantunya duduk di kursi depan, menaikkan kakinya satu per satu. Tatapanku bertemu dengan matanya yang menggelayut sewaktu aku menarik sabuk pengaman di sisi tubuhnya, bisa kurasakan dia terus mengawasiku saat aku meraba pinggulnya dan menjepit ujung sabuk ke pengaitnya.

Jantungku berdenyut-denyut tak nyaman, tapi juga terasa mendebarkan. Aku bisa menangkap gelombang rasa ingin yang juga diam-diam kurasakan ketika bibirnya yang basah membelah, membuat celah kecil yang gelap. Aku seperti melihat terowongan yang mengundangku masuk, tapi aku tahu di dalamnya mungkin ada bahaya yang menanti. Saat aku mencoba mengalihkan pandangan, aku malah tak kuasa melirik ke belahan dada rendahnya yang sangat menggoda.

Dia bosmu, Mahmoud.

Terlebih, dia lawan jenismu.

Terlebih yang kedua, dia sedang tidak sepenuhnya waras. Itu bukan gelombang rasa ingin seperti yang kurasakan, itu dorongan berahi yang timbul sebagai efek jangka pendek mengonsumsi minuman keras. Itu tidak nyata. Hanya ilusi.

Sayangnya, semua daftar logisku terhempas jauh saat lengannya yang mengalung di leherku mengerat. Kusadari aku tidak mencoba mempertahankan diri ketika perempuan cantik itu membawa wajahku lebih dekat ke wajahnya.

Tahu-tahu, bibirku sudah melekat di bibirnya.

"Mmmhhh...," Bu Mina mendesah, mengulum bibirku yang mengatup.

"Tolong, jangan," pelasku tak berdaya.

"It's okay," bisiknya.

Tidak. Itu tidak Oke.

"Saya takut tidak bisa menahan diri," tolakku lemah.

Omong kosong. Harusnya aku bisa. Aku masih seribu persen sadar bahwa perempuan ini mencumbuku dalam pengaruh alkohol.

Tapi bibirnya begitu lembut dan kenyal mengulum bibirku. Rasanya seperti mengulum permen karet yang empuk dan siap untuk ditiup. Bukan seperti permen keras yang belum dikunyah.

Dengan gampangnya aku terbawa suasana. Aku tak kuasa menahan bibirku agar tetap menutup. Aku membukanya lambat, membalas kulumannya. Memasrahkan bibirku dalam pagutannya. Lidahnya menjulur menjilat bibirku, dan aku melakukan hal yang sama.

(Ya Tuhan... aku laki-laki lemah. Tak bisa melawan syahwat. Pendidikan agama dari Abhi-ku sia-sia.)

Detik berikutnya aku sudah terlibat masalah besar saat lidahku membelit erat lidahnya dalam rongga mulutku, lalu menggulungnya penuh nafsu. Aku menyentuh rahangnya yang halus, meraba lehernya, menelusuri tulang selangkanya yang kurus. Bu Mina meremas kerah kemejaku. Bibir kami terus saling pagut. Napasku hampir habis sepersekian detik sebelum tanganku meremas sesuatu yang tak seharusnya kuremas.

(Benda itu begitu nyaman untuk disentuh, seolah memang diciptakan Tuhan untuk itu.)

Tidak.

Aku menyatukan dahiku dengan dahinya.

Ini bukan kamu, Mahmoud!

Itu setan.

Lalu aku menarik diriku menjauh.

"Kenapa?" tanya Bu Mina, terdengar kecewa.

"Ibu tidak tahu apa yang ibu lakukan," kataku, seperti orang suci. Dia mabuk, tapi aku tidak, dan aku tetap mencumbunya. "Saya antar pulang saja, ya? Besok pagi saya harus sudah tiba di kantor sebelum pukul delapan. Saya tidak dipecat, kan?"

"Kenapa kamu dipecat? Siapa yang mecat?" tanyanya linglung.

"Saya antar pulang?"

Dia menggeleng.

"Lalu mau ke mana? Ke tempat Adrian?" tanyaku dengan rahang mengatup seolah aku berhak menyebut nama itu dengan gejolak yang kurasakan. Aku nggak seharusnya cemburu, memangnya siapa aku?

"Maafin aku, Moud...," katanya.

"Tak apa, Bu Mina, namanya juga orang mabuk. Saya juga minta maaf, semoga kejadian barusan tidak terekam di memori ibu esok hari."

Dia terus menggeleng, "Bukan begitu. Maksudku... sama seperti waktu itu..., aku sudah nggak mabuk sekarang. Yah... sudah nggak terlalu. Aku memang begini kalau minum sedikit saja."

Aku semakin ingin menarik diri darinya saat mendengar pengakuan itu, tapi kemejaku ditahannya. Diremasnya. Dahinya diketukkan pada daguku. "Aku selalu terlihat seperti sangat mabuk, padahal sebenarnya tidak. Bukan selalu seperti apa yang kamu pikirkan."

Ya Tuhan... tebalkanlah iman hambaMU ini. Rambutnya begitu halus menyapu bibir dan kulitku saat dia menggeser kepalanya dan keningnya bergesekan dengan kulitku, wanginya luar biasa. Butuh kewarasan tingkat tinggi untuk tidak mengecup dan semakin mengacaukan segalanya, "Tapi ibu baru saja mengajak saya bercumbu dalam keadaan mabuk, waktu itu juga alasannya mabuk."

"Tapi yang ini bukan alasan!" bentaknya ganas, sebelum suaranya kembali melembut, "Saat ini aku nggak semabuk itu adalah bukan alasan..."

Tubuhku memaku. Tatapanku terkunci pada celah di antara bibirnya yang masih merah meski tak semerah gincunya. Sejenak aku mempertanyakan moralku, benarkan aku semulia itu? Benarkah aku membalas cumbuannya hanya karena terbawa suasana? Atau memang sejak dia menempelkan bibir itu padaku, aku selalu berharap bisa merasakannya lagi?

"Sebaiknya saya antar ibu pulang saja," kataku, membentengi diri sebelum makin terhanyut. Aku merampas kemejaku dari rengkuhannya dan menarik diriku dengan sungguh-sungguh. Jangan termakan rayuan setan, Moud. Dia jelas-jelas mabuk dan masih bisa merayu. Sewaktu aku masuk ke kursi kemudi, kepalanya sudah meneleng hingga nyaris menimpa bahu telanjangnya.

Aku menyalakan mesin mobil, menunggu sebentar sambil memikirkan cara terbaik memulangkannya tanpa melibatkan Adrian. Aku memutar otak, Mbak Tamara sepertinya akan bisa membantu. Aku menulis pesan WA, kukatakan bahwa Bu Mina terlalu lelah untuk memberitahu ke mana aku harus mengantarnya pulang.

"Mbak Mina mabuk?"

Pesanku hanya dibaca, lalu orangnya meneleponku secepat kilatan cahaya. Aku membenarkan tebakannya.

"Aduuuh... Mbak Mina agak reseh kalau mabuk, apa Mas Gio nggak ngasih tahu kamu harus menjaganya biar tetap sadar? Sebentar," ocehan Mbak Tamara tertahan beberapa saat, lalu sebuah pesan dikirimkan padaku. "Antar ke apartemennya saja, jangan ke rumah Papinya, nanti dia kena marah. Jangan ke tempat Mas Adrian, takutnya lagi begini malah bikin skandal. Kabari aku begitu kamu sampai sana ya, Moud. Kamu boleh berangkat agak siang kalau malam ini kecapaian."

Kakiku baru mau menginjak pedal gas ketika kudengar Bu Mina sekonyong-konyong bicara, "Aku nggak pernah begitu selain pada Adrian."

"Adrian pasti istimewa sekali buat ibu. Nanti saya sampaikan."

"Adrian sahabatku, cuma dia yang kupercaya."

Aku menoleh, melihatnya menatap pantulan dirinya sendiri di kaca jendela.

"Sudah lama sekali sejak aku memercayakan diriku pada seorang pria, apalagi dalam keadaan mabuk. Jangan bilang ke Adrian bahwa selama ini semua yang kukatakan padanya supaya dia mau membantuku melepaskan hasrat nggak lebih dari omong kosong. Aku belum pernah merayu atau membiarkan diriku jatuh di pelukan pria mana pun... setelah Edwin," Bu Mina memindah letak kemiringan wajahnya ke arahku. "Kenapa aku melakukannya ke kamu, Mahmoud?"

Wajahku mengeras.

Dia begitu menggoda, tapi lahan parkir ini bisa saja ada CCTV-nya.

Mungkin sebaiknya aku segera pergi tanpa mencari tahu omongannya itu bualan orang mabuk yang sedang ingin ditiduri, atau serius.

Lagi bulan madu ni sama Mas Mahmoud :3 (dilempar Minul ke sawah)

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro