19. Hot Lemon Tea

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Seperti biasa kalau habis ada bab yang dijual, pasukan sakit hati pasti pada mogok vote, deh. Mau di wattpad tetap dikasih update, tetep akan ada pihak yang merasa tersakiti. Semoga mereka-mereka ini bitter-nya cuman di wattpad, yah, nggak di real life. Apa perlu dikasih part baca duluan di karyakarsa? hehe... aku sih nggak mau buru-buru karena part TMM ini banyak banget. Sampai sekarang aku belum selesai nulis, tapi outline-nya masih panjang. Maunya kalian engaged dulu sama ceritanya, nanti kalau ada part plus2 aja ku-update di KK. 

Aku mau 800 vote-nya dipenuhi, ya... buat part 17-18 juga. Buat yang hari ini payday, yuk dukung part 17. Red Wine juga di karyakarsa.com/kincirmainan. Kamu juga bisa beli via whatsapp (detail caranya ada di part 17 ya)

Untungnya, semua orang menganggap Gio asal ngomong aja, jadi aku nggak perlu membantah atau meyakinkan secara berlebihan bahwa aku tidak meniduri, atau ditiduri Mahmoud. Tapi tetep aja, jantungku sempat mau copot sampai aku tahu-tahu menginjak rem di tengah lalu lintas kota yang padat merayap. Untung pengemudi di belakangku siaga. Aku terima-terima aja diklaksonin panjang sebagai bentuk protes, yang penting bokong Jaguar Papi tetap mulus.

Kira-kira lima belas tahun kemudian, bercanda, aku tiba di ruko, tapi rasanya memang kayak lima belas jam di jalan. Meeting via grup video call kuakhiri gara-gara aku masih kurang setuju dengan gagasan Gio. Kenapa mesti mengekspos kerjaan Mahmoud sebagai pesuruh, sih? Apa dia nggak akan merasa direndahkan? Kalau memang dia mau dibujuk jadi ikon, aku bakal nyari pesuruh baru, dong. Dengan begitu aku....

(Dengan begitu apa, Min? Bisa meniduri atau ditiduri Mahmoud tanpa merasa sungkan karena dia seorang pesuruh?)

Rasanya kalau bisa, aku ingin sekali memasang lakban pada suara kedua dalam kepalaku yang selalu saja mengungkapkan kebenaran yang ingin kuingkari. Tapi ya memang gitu, kan? Apa kata dunia kalau sampai mereka tahu bahwa Wilhelmina Santoso yang sudah mengalami perubahan dari itik buruk rupa menjadi angsa yang cantik ternyata diam-diam suka merayu bawahan yang job dec-nya bersih-bersih dan nyiapin kopi.

"Kayaknya kita mesti nyari pesuruh baru," kataku pada Tamara saat aku melewati kubikelnya untuk menghampiri Cynthia. Ada beberapa dokumen yang perlu kusahkan berkaitan dengan pembayaran tagihan bulan lalu.

Tamara yang tengah asyik duduk bersisian dengan Albert mengamati engagement post di media sosial dan aplikasi HBM pasca meluncurnya video pagi tadi, melongo sambil mengikuti gerak-gerikku dengan pindaian matanya, "Kenapa, Mbak?"

"Serius? Surat kontraknya aja baru jadi," Cynthia menyambar. "Anaknya baru mau kuajak ke ruang meeting buat tanda tangan habis bikin kopi. Kita nggak ada budget buat OB baru lho, Mbak. Masa orang segini aja perlu dua pembantu?"

Belum sempat menjelaskan maksudku, Gio yang duduk sambil menekuri layar PC tiba-tiba menyeletuk, "Moud! Lu bisa ngaji, nggak?"

Aku yang tak tahu di mana Mahmoud berada karena baru tiba, jadi celingukan mencarinya.

Cowok yang pagi ini sudah mulai mengenakan seragam dari Riana itu tiba-tiba menunjukkan batang hidung mancungnya dari bawah meja Gio. Aku tergemap. Kalimatku barusan seharusnya nggak boleh ia dengar. Maksudku, itu baru wacana karena aku kurang setuju dengan gagasan Gio. Mahmoud menangkap tatapan mataku yang membola dengan sangat tepat sehingga pada sepersekian detik yang singkat, aku merasa seperti seorang bos yang jahat. Entah Gio memang ingin bertanya, atau dia hanya ingin menyetopku dengan memberitahu bahwa Mahmoud sedang ada di situ, yang jelas dia lantas menunduk di samping Gio, menyembunyikan kedua sisi pipinya yang kuyakin bersemu.

"B—bisa, Mas... memangnya kenapa?"

"Mau gue masukin ke biodata staf, Moud," kata Gio.

Aku melirik Tam dan Albert yang menggedikkan bahu, lalu mengembalikan berkas Cynthia dan berjalan memutar. Kusebelahi Mahmoud di sisi kiri Gio. Cowok itu bergeser memberiku tempat. Aku harus bersikap sewajar mungkin, kan? Kalau aku menyelinap di jarak antara Gio dan kursi Albert yang tergeser gara-gara kehadiran Tam, kesannya bakal aneh. Kok Mbak Mina nggak mau dekat-dekat Mahmoud? Lalu mereka bakal mengorek-ngorek tentang perdebatanku dan Mahmoud yang tertangkap kamera henpon jadul semalam. Aku belum sempat menjawab apa-apa tentang itu, niatnya mau kudiskusikan dulu sama Mahmoud pagi tadi, malah dia keburu pergi.

Aku menimbrung sambil membungkuk di balik bahu Gio, "Biodata staf apa, sih? Apa hubungannya sama Mahmoud bisa ngaji apa enggak?"

Gio tersentak kaget, "Astaghfirullah, Mbak Mina, toketnya nyundul-nyundul!" katanya kurang ajar. Aku langsung menyabet lengannya. Malu banget sama Mahmoud! "Biodata staf yang kita omongin beberapa waktu lalu. Hehe... ada hubungannya, dong... kan orang-orang suka cowok ganteng yang pintar mengaji. Iya, nggak, Moud?"

Mahmoud menyengir sambil menggaruk tengkuknya.

Sementara itu, alisku makin bertaut.

Gio menoleh ke arahku dengan mata memelotot memberi isyarat. Aku langsung mengangguk-angguk.

"Memangnya mau dimasukin aplikasi? Kirain di Instagram aja," gumamku mengikuti permainannya.

Padahal topik ini baru di-brainstorming kurang dari satu jam lalu. Aku nggak tahu mesti bangga atau jengkel karena kecepatan kerja staf-ku. Bangganya sih jelas, jengkelnya itu, lho. Mahmoud kan belum bilang bersedia dijadiin model. Lagipula, aku jadi merasa otoritasku dilangkahi oleh Gio. Bukannya aku merasa berhak memutuskan sesuatu mengenai Mahmoud, tapi kan... tapi, kan....

(Tapi apa, Min? Tapi kan kamu udah bobo enak sama dia? Memangnya itu berarti kamu memiliki Mahmoud? Kamu bukan anak kecil yang menganggap seorang pria otomatis jadi milikmu hanya karena kalian berhubungan seksual, kan?)

Sialan.

Aku harus berhenti memberi makan imajinasiku yang satu ini.

"Instagram itu pintunya, Mbak. Nanti untuk kelengkapan biodata, akun media sosial, daily routine masing-masing staf bisa ditemukan hanya via app. Di situ kita bisa kasih video keseharian Mahmoud, termasuk olah raganya Mahmoud apa aja, misalnya, kok badannya bisa aduhai begitu."

What?

"Nah, ntar lo mulai work out yang serius ya, Moud. Sabun cuci piring yang dipake Mahmoud mereknya apa kemarin? Kita juga punya produk sabun cuci piring lho, Moud. Selain itu... kita juga bisa kasih video Mahmoud lagi solat... lo solat, kan? Ngaji..., ngaji juga, nggak kalau habis solat?"

"Ngaji," jawab Mahmoud. "Kadang-kadang...."

"Kenapa ngaji segala, sih? Nggak ada hubungannya, ah!" sergahku.

"Ada, dong, Mbaaak!" seru Gio gemas. "Solat, ngaji, itu kan bentuk lain dari meditasi. Udah, nanti dari namanya aja, orang pasti ngarep Mahmoud bisa ngaji."

"Kok saya?" tanya Mahmoud heran.

"Itu contoh doang, Moud," kata Gio enteng, lalu menyambung, " Nah... kalau mereka tertarik, otomatis mereka ngunduh app, kan? Dari situ, siapa tahu mereka akan tergoda, terus mulai menyelami produk-produk HBM secara lebih menyeluruh. Kalau lewat Instagram sama e-commerce doang, terlalu banyak saingannya. Pancing mereka masuk dulu dengan ngepoin Mahmoud—ngepoin kita semua—maksud gue, dari situ—"

"Memangnya apa menariknya ngepoin staf perusahaan start up?" potongku bodoh.

Gio lagi-lagi mendenguskan buangan napas berat lewat hidung lalu mendelik padaku melewati bahunya. Pelototannya itu seakan bilang, "Ya kalau yang diomongin elu, gue, dan handai taulan kita, memang nggak ada menarik-menariknya buat dikepoin sama netizen! Ini kita lagi ngomongin aset premium yang dengan gobloknya lu jadiin pesuruh!"

Aku pun menelan ludah sambil mundur menyerah.

Saat kembali ke kubikel Cynthia untuk melanjutkan pekerjaanku, Mahmoud bertanya dengan nada lembut kepadaku. Terlalu lembut sampai-sampai aku nyaris bergidi, "Bu Mina... mau dibuatkan kopi sekarang?"

Bukan hanya aku, tapi seisi ruangan itu terhenyak mendengar betapa halus dan manisnya suara Mahmoud. Pipiku seketika merona. Itu bukan suara yang biasa diperdengarkan seorang pesuruh kepada bos perempuannya yang masih lajang. Itu terdengar seperti, "Good morning, Honey. Last night was great, do you want me to make you a cup of coffee for letting my dick slipped smoothly in to your vajaynah?"

Okay, mungkin tidak setidak senonoh itu ditilik dari sikap Mahmoud yang gentleman, tapi tetap saja bikin Cynthia dan Tamara terpelongo.

"Mbak Tamara... juga mau dibuatkan teh chamomile-nya sekarang?" tanya Mahmoud lagi, dengan nada yang kurang lebih sama. Dia cukup peka untuk segera menyamarkan kelengahannya barusan dengan menanyai Tamara menggunakan nada yang sama. Di telingaku tetap saja berbeda karena aku habis dienakin sama suara itu semalam.

"Lu kalau ama cewek lembut banget, Moud. Tadi aja gue minta kopi lu bilang, bentar, Mas. Saya lagi nyapu, cangkirnya belum dicuci!" celetuk Albert tanpa menengok dari layar PC-nya. Kelihatannya cuma dia yang nggak bisa mencium keamisan (something fishy, maksudku) pada cara Mahmoud bertanya. "Kopi gue juga, dong, Moud! Instan aja nggak pa-pa wes!"

"Beres, Mas!" kata Mahmoud sambil mengacungkan jempolnya.

"Gue juga, deh, Moud! Tapi gue lagi nggak kepingin chamomile. Bikinin teh pakai perasan lemon aja. Minta sama Bu Stef lemonnya, pasti ada sisa dari PO dua hari lalu."

"Aku juga boleh, Moud," kataku. Tatapan kami bertemu sekilas, aku buru-buru mengguntingnya dengan bertanya pada Tam. "Lemon cake-nya gimana kemarin?"

"Belum minta data, Mbak. Nanya Riana, dong!" protes Tamara.

Aku mencebik, melirik sosok Mahmoud yang melangkah menuju pantry. Keringat dingin membasahi keningku. Mahmoud sepertinya agak kesulitan bersikap biasa. Pancaran matanya kelihatan banget, orang-orang aja yang belum menyangka bahwa Mahmoud sudah naik ke tempat tidurku secepat itu. Mungkin nanti aku harus curi-curi bicara dengannya. Sekaligus nanya... kok dia pulang tanpa pamit?

Atau aku nggak perlu nanya?

"Mbak!" Cynthia menggoyang lenganku, itu berarti panggilannya barusan bukan yang pertama. Kepalaku terlalu sibuk mikirin Mahmoud. "Jamie nanya, nih, yang di-grooming Mahmoud doang, apa sekalian semuanya?"

"Hah?"

"Mahmoud doang!" sambar Gio enteng. "Yang lain dandan sendiri, nggak usah cakep-cakep biar perhatian fokus ke Mahmoud."

"Ini ada apa, sih?" aku kebingungan.

Gio memutar kursinya, menghadap ke arahku, "Foto staf buat dipasang di instagram. Itu Mas Albert lagi ngurusin desain app-nya. Kita harus gercep, Mbak. Dian Rai lagi OTW dijemput polisi. Semalam ketangkap nyabu." 

Ada yang kangen part Adrian muncul nggak? Adrian ini juga tokoh penting, lho, nanti.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro