23. Soft Bread

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Haloooo...

Lama ya update-nya? Lama sih voment-nya. Hihi

Tapi di karyakarsa.com/kincirmainan, part 26-28 sudah terbit, ya...

Jadi sejauh ini di karyakarsa ada:

1. Extended Part 17 (berisi mature scene)

2. Extended Part 21-22

3. Extended Part 23-24

4. Extended Part 25 (berisi mature scene, kayak part 17 ya)

5. Extended Part 26-28

Semua yang ku-post di karyakarsa NGGAK SAMA kayak versi Wattpad, ya. Semua lebih dari dua kali lebih panjang, lebih detail, lebih lucu, dan tentunya lebih seksi. Uhuk... istilahnya, Wattpad tuh versi sensor, di Karyakarsa retouched and uncensored. wkwk...

Lengkapi dukungan kamu karena hanya pendukung lengkap yang akan dapat PDF Trapping Mr. Mahmoud versi Premium.

Kayak Marrying Mr. Shark, aku belum ada rencana jualan pdf lengkapnya di mana pun. Untuk buku, TMM juga belum ada rencana apa-apa. Tinggal kalian nanti minta apa enggak aja. Haha

Yang udah dukung di KaryaKarsa silakan baca ulang dan bandingin bedanya, ya. Part ini 1200 kata, di KaryaKarsa 2400 kata.

Kalau ini vote dan komennya makin dikit, aku update makin lama gpp, yah? Kalau mau tau lebih cepat ceritanya bisa baca di KaryaKarsa, kok.

Biar sama-sama enak. Di sini kan tinggal pencet bintang sama komen doang.

***

"Ujang sudah papi kirim ke kantormu buat ambil Jaguar Papi. If you don't wanna make a scene, titipin aja kuncinya ke ofiice boy-mu-"

"Office boy-ku sudah pulang!"

"Ya udah titipin yang lain, atau kamu sendiri kasih ke Ujang. Kantor sekecil itu, nggak akan patah kakimu bolak-balik ke bawah. Serah kamu mau make scene kek, Papi nggak peduli. Udah dibilangin kalau minjem jangan yang Jaguar, itu kesayangan Papi. Habis dipermak ratusan juta ludes main kamu parkir di depan ruko aja, kalau dibaret gelandangan gimana?"

"Kan ada asuransi, Papi!"

"Sembarangan, asuransi mana ada mau ganti kalau lihat orang sengaja markir Jaguar di lahan sempit begitu? Mana lagi kalau dipegang-pegang tukang tambal ban yang mangkal depan ruko-mu itu. Haduh... kalau dikencingin orang gila... haaah!!! Nggak, nggak!"

"Terus Mina gimana pulangnya nanti?"

"Jalan kaki aja biar sehat. Daripada kamu jam-jaman di atas treadmill, malah lebih efektif fast walking betulan!"

"Ih Papi reseh, ah...."

"KAMU tuh yang reseh! Bodo amat, kalau enggak... suruh tuh... siapa pacar kamu jemput, yang kemarin muncul di akun gosip murahan itu? Tck... itu beneran orang video-in, apa kalian sendiri bikin gimmick gara-gara Dian Rai kena skandal? Norak. Pacarmu itu? Orang mana? Pegang perusahaan apa? Nyari yang levelnya nggak ketinggian biar kamu nggak diinjek-injek sama laki-laki, ngerti? Anak perempuan lebih baik pegang kendali!"

"Apaan sih, Pi!" aku makin jengkel aja karena sebagai bisnisman, papiku memang selalu tajam soal begituan.

"Kalau dah seriyes, bilang-bilang Papi. Nenekmu belum mau mati kalau kamu belum kawin," katanya.

"Papi!"

"Jangan bilang mamimu," kekeh papi.

Papi memang keterlaluan, yang barusan dibicarakannya itu nenekku dari Mami. Memang sudah beberapa tahun terakhir ini stroke, beberapa kali koma, tapi terus bertahan meski kondisinya semakin mengkhawatirkan. Papi terang-terangan bilang itu hukuman karena dulu nenek suka memandang rendah menantunya, Tuhan sedang meringankan dosanya supaya bisa masuk surga. Papi menutup telepon dan nggak lama kemudian, Ujang datang membawa pulang Jaguar-nya.

"Nggak ada yang nawarin aku tebengan, nih?" tanyaku di depan Gio, Albert, Irfan, dan Tam yang sedang berkemas-kemas pulang.

"Nge-grab aja kan bisa, Mbak," kata Irfan. "Aku nge-bis, motornya kan udah dikasihin Mahmoud."

"Ya emang bisa! Siapa bilang nggak bisa, tapi kalau punya anak buah boncengannya pada nganggur kenapa enggak?"

"Duh ngeri, deh, kalau entar tali tas tangan Mbak Mina kesamber spion orang pas aku yang boncengin. Kalau dengkulnya yang lecet tinggal obat merahin, kalau tas-nya? Duit gaji cuman cukup buat jalan-jalan ke Bandung, Mbak, nggak nyampe Paris! Nge-grab aja mending, atau next time, bawa jaket berkendara sama helm sendiri kalau mau nebeng. Bye!" Tamara kabur duluan, disusul Irfan tanpa basa-basi.

"Aku jemput cewekku, Mbak," kata Gio.

"Kita nggak searah, Bos," timpal Albert.

"Hei! At least bantuin kunci-kunci pintu, dong!" seruku nggak terima mereka berhamburan keluar begitu aja.

"Salah sendiri lembur-lembur nggak ngajak Mahmoud!" Gio menstarter motor besarnya. "Itu, kan tugas office boy karena Mbak Cyn nggak mau longgarin budget buat bayar satpam!"

Aku menggeram jengkel di ambang pintu, nyaris mengentakkan kakiku seperti anak kecil. Dasar cowok-cowok start-up ini! Hubungan antara atasan dan bawahan kelewat dekat, sampai kadang nggak ada batesan. Mana ada coba di kantor Papiku yang berani beginiin dia? Akhirnya aku kembali ke dalam, mengecek pintu, AC, dan jendela sebelum mengunci pintu depan. Kepalaku celingukan nyariin satpam ruko supaya bisa kumintai tolong nurunin rolling door, tapi nggak satupun kelihatan lagi patroli. Begini ini kalau nggak punya satpam sendiri, lain kali aku mau sok baik sama Mahmoud, aku harus ingat-ingat hari ini.

Dengan malas, aku mengambil pengait yang disimpan di ruang sempit antara pintu kaca dengan rolling door, lalu berusaha mencari lubang yang biasa disangkutkan di kail pengait itu supaya bisa ditarik turun. Gara-gara tinggiku yang cuma 165 cm aja nggak nyampe, aku kesulitan menemukan lubang tersebut. Tiba-tiba, seseorang berdiri di belakangku, dan menjulurkan tangannya yang lebih panjang untuk mengambil-alih pengait dari tanganku. Aku melonjak kaget. Pengait besi yang cukup berat itu refleks kulepaskan. Aku menutup telinga karena tahu benda itu pasti akan menimbulkan bunyi keras ketika menghantam lantai keramik, tapi sebelum benar-benar jatuh, Mahmoud menangkapnya dengan sigap.

Kami bersitatap.

"Mahmoud!" sebutku setengah jengkel karena dia mengejutkanku. Kuelus dadaku berulang-ulang kali. "Ngapain kamu di sini?!"

"Saya disuruh Adrian balik ke kantor," jawabnya, lalu menarik turun rolling door dan melakukan apa yang sudah menjadi tugasnya. Kunci kantor itu dikembalikannya padaku sambil bertanya, "Adrian nggak menghubungi Ibu Mina?"

Aku masih aja heran mendapati cowok itu tahu-tahu muncul di depanku seperti hantu. Untuk mengecek kata-katanya, aku mengeluarkan ponsel. Tidak ada pesan dari Adrian. Aku menggeleng. "Dia kayaknya masih marah sama aku. Ada apa, sih?"

"Adri sepertinya sedang sibuk, makanya saya yang diutus kemari," ralat Mahmoud. "Sepertinya waktu terakhir kali ibu ke apartemen Adrian, ada dokumen Adri di meja yang tertukar. Isinya dokumen kontrak, kalau tidak salah. Adrian membutuhkannya besok pagi, sebagai gantinya... saya membawakan... amplop ibu yang tertukar."

Amplop? Aku sama sekali nggak paham apa yang Mahmoud katakan. Rasanya aku nggak pernah melihat amplop Adrian di manapun. Satu-satunya amplop yang kuterima sore sebelum menghadiri pesta ulang tahun Kak Dian Rai cuma... oh sial. Aku tersenyum kecut menyaksikan brosur penawaran operasi payudara yang kuminta lewat surel, tapi ternyata justru dikirim via ekspedisi gara-gara aku salah pencet itu sudah berada di tangan Mahmoud.

Kuasumsikan, Mahmoud sudah melihat isinya.

Aku menggigit bibir bawahku demi menahan malu saat menyambut amplop di tangannya itu. Aku mengipaskannya ke leherku dengan salat tingkah, lalu saat kami saling memandang, senyumku dan senyumnya melebar menjadi tawa. Aku memukul dada Mahmoud, "Jangan ketawa!" larangku, padahal aku yang ketawa duluan.

"Saya ketawa karena ibu ketawa," katanya pelan sambil menggosok dadanya yang kupukul. Mahmoud celingukan. "Mobil ibu di mana?"

Aku langsung bete lagi dan merajuk, "Dirampas sama Papiku. Mana anak-anak yang lembur langsung pergi gitu aja, nggak ada yang mau bantuin aku nutup ruko. Jangankan ngasih tebengan. Semoga aja jam segini masih ada taksol mau nyamperin."

"Masih banyak, kok, kelihatannya. Masih belum larut. Saya temani sampai taksolnya datang."

Napasku terembus berat, ini orang memang agak nggak peka, sih. Dia kan bawa motor inventaris perusahaan, kenapa nggak nawarin diri mengantarku pulang? "Memangnya kamu sibuk?" tanyaku agak gemas.

Mahmoud menggeleng tanpa dosa.

"Kamu kan bawa motor kantor," kataku seraya menunjuk satu-satunya motor yang terparkir di depan ruko.

"Oh, iya...," celetuknya sambil menoleh mengikuti ujung jari telunjukku menunjuk. Habis itu, udah. Dia memandangiku lagi, tersenyum memperlihatkan lesung pipinya, tapi dari raut mukanya, aku tahu dia nggak paham sama maksudku.

"Kamu nggak sibuk, bawa motor, tapi nggak mau nganter aku pulang?" kuterangin sekalian seperti mengajar anak SD. "Lagi pula, kamu harus ngambil amplop Adrian, kan? Kalau benar tertukar, berarti amplop itu masih ada di tasku yang lain di rumah."

Mahmoud malah mengerutkan alis tebalnya, lalu berkali-kali menoleh ke motornya, lalu ke aku. Ke motornya, lalu ke aku. "Itu Astrea Prima keluaran-paling tidak-dua puluh tahun yang lalu," katanya. "Rujinya sudah harus diganti, karet ban-nya sudah tipis, rantainya sudah bunyi. Joknya sudah nggak kerasa busanya."

"Memangnya kenapa?" tantangku. "Irfan atau Susanto sering ngantar aku kalau mobilku rusak. Memang kurang nyaman, tapi cukup aman."

"Saya sih nggak keberatan, tapi kasihan sama ibu. Memangnya... naik Grab mahal?"

"Bukan masalah mahal, masalah safety!"

"Memangnya naik motor lebih safety daripada naik mobil?"

"Bukan safety itunya, Mahmoud!"

"Ohhh... ya sudah," katanya berat. Tapi masih terus berusaha, "Tapi helm-nya cuma satu."

"Nggak apa-apa, nggak ada polisi malam-malam begini."

"Tapi lubang di jalan kan tetap ada, mau ada polisi atau enggak."

"Ya udah, nggak apa-apa kalau nggak mau," kataku sambil membuka kuncian layar ponsel, mencari cepat, dan memencet aplikasi Grab.

Mahmoud menyentuh lenganku samar, tapi seketika mampu menghentikan aksiku yang kekanakan. "Ibu yang pakai helm-nya, biar kalau ada lubang di jalan, saya aja yang kena."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro