22. Goat Milk

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Capek nungguin Wattpad?

Part 23-24 udah bisa diakses di Karyakarsa, ya.

Selain itu, buat yang udah baca part 21-22 versi Wattpad dan pengin baca versi Karyakarsa, kamu nggak akan rugi, kok. Semua part di Karyakarsa jauh lebih panjang dan detail, istilahnya versi premium gitu, ya.

Jadi selain baca duluan, kamu juga dapat pengalaman membaca yang lebih seru di sana.

Untuk part-part seperti part 17 tetap akan dibikin setiap kali ada adegan mature. Contohnya nanti part 25. Uhuk.... Biasanya part seperti ini harganya sedikit lebih dari part premium baca duluan per dua part (atau mungkin lebih kalau nulisnya udah beres) karena lebih memeras otak dan bikin panas dingin. Haha...

Ya udah... have fun, ya.

Untuk yang mau akses part 21-22 dan 23-24 premium via WA udah bisa, ya, karena berarti harganya 17k untuk 4 part. Udah bisa transfer via BCA, kalau sebelumnya cuma 8500 kan nggak bisa.

JANGAN LUPA SIMPAN SEMUA BUKTI PEMBAYARAN KAMU BAIK VIA WA ATAU KARYAKARSA. Bukti pembayaran KaryaKarsa bisa kamu temui di email kamu yg terdaftar. Langsung SS dan simpan, ya....

Kenapa?
Sebab pas cerita ini kelar, pendukung yang nggak pernah bolong ngasih dukungan di KaryaKarsa akan dapat PDF lengkap Trapping Mr Mahmoud.

Jadi nanti setiap part bakal ada versi Premium-nya, kak?

Bisa iya, bisa enggak. Tergantung menurutku part itu bisa dibikin lebih seru atau segitu aja cukup. Kalau misal part2 tersebut nggak perlu dibikin premium, aku tetap akan bikin part baca duluan tapi lebih murah, ya. Misal 8500 untuk empat chapters.

Oh iya terus kalau kamu ada kendala di KaryaKarsa, mending DM instagramku, soalnya kadang aku balas komen kalian, tapi aku nggak tau kalian baca terus paham atau enggak. Jangan sampai kamu dukung, terkendala, dan nyerah, ya. Kalaupun nggak ada solusi dari KK, tapi kok terbukti dukunganmu masuk, aku bisa kirim file-nya lewat email.

Anyway... tolong dong yang akses via Wattpad, vote dan komennya. Biar jarak update-nya nggak kejauhan sama Karyakarsa.


Dalam kurang dari dua puluh empat jam, aku sudah mulai lupa apa yang biasa kupikirkan sebelum Bu Mina mengajakku tidur bersamanya. Salatku nggak khusyuk, aku mengulang Dzuhur dua kali, Ashar tiga kali. Setiap kali mataku memejam berharap lantunan surah-surahku bisa lebih fokus seperti biasa, malah bokongnya yang mulus yang melintas dengan kurang ajarnya di benakku. Aku ambil wudhu lagi, salat lagi. Pada akhir salam ke-tiga aku nyaris menangis, yang barusan itu pasti langsung ditolak sama malaikat. Tapi aku mengurungkan niatku mengulanginya hingga kali ke-empat karena... ya sudahlah, aku memang bukan orang suci. Tiga puluh menit menjelang Maghrib aku belingsatan mengambil air wudhu, mengira aku belum ambil waktu Ashar, padahal aku sudah salat sebanyak itu tadi. Tiga kali. Kacau. Kalau sekarang ini di sekitarku ada orang yang ternyata bisa membaca pikiran, aku pasti sudah dilaporkan polisi dianggap orang cabul berkeliaran yang harus segera diamankan.

Sementara aku berjuang keras menjalani hari kerja tanpa memecahkan gelas, atau membuang mie instan pesanan Mas Gio alih-alih bungkusnya ke tempat sampah, Bu Mina tetap galak dan tegas seperti sebelum kami bercinta. Mungkin karena baginya, itu hanya bagian dari aturan kencan yang mumpung bisa kami lakukan. Selepas itu, dia menganggapnya tak pernah terjadi, atau tak akan terjadi dua kali. Aku masih berharap, tentu saja. Dia begitu seksi. Masih ada banyak hal yang ingin kupelajari dan kutunjukkan padanya, aku merasa seharusnya semalam performaku bisa lebih baik lagi. Sayangnya, makin siang, harapan itu kayaknya harus ikut kucampakkan bersama buntalan sampah ke tempat pembuangan akhir.

Bu Mina sepertinya sangat tidak setuju dengan keterlibatanku dalam pemotretan staf tadi, makanya dia jadi agak ketus dan menyuruhku duluan tanpa mengawal lembur. Sejujurnya, aku masih ingin tinggal. Di apartemen aku juga sendirian. Adrian belum tentu pulang. Soal pemotretan itu, aku sepakat dengannya. Buat apa sih, pesuruh saja ikut difoto-foto? Mana aku pakai didandanin segala kayak perempuan meski hasilnya sama sekali nggak kayak perempuan, sementara yang lain tinggal mengganti kemeja beberapa menit sebelum disorot kamera juga nggak masalah. Mas Gio bahkan nggak menyisir kumisnya, sementara bulu hidungku pakai dirapikan segala. Mbak Tamara cuma kebagian satu take lalu melesat turun karena ponselnya bunyi. Aku yakin dia bahkan nggak memakai bedak atau gincu.

"Mahmoud belum-belum udah jadi kesayangan Bos, niiih!" celetuk Mas Irfan yang jarang kutemui karena kebanyakan tugas lapangan seraya menyerahkan kunci motor invetaris kantor kepadaku. Aku hanya menyengir sambil berterima kasih. Mas Albert, Mbak Tam, dan Bu Mina menjubeli kubikel Mas Gio sambil berdiskusi di depan satu layar komputer.

Aku mendekat untuk berpamitan ketika Bu Mina menaikkan bola matanya dari layar komputer dan berdiri tegak tanpa mengurai lengannya yang terlipat di depan dada. "Udah pegang kunci motornya, Moud?" dia nanya. Aku mengangguk. "Hati-hati di jalan, ya? Kamu tahu jalan pulang, kan?" Aku mengangguk lagi.

Bu Mina tersenyum tipis sambil kembali menunduk sementara orang-orang di kubikel itu membalas salam perpisahanku sambil lalu. Aku sengaja menoleh sekilas di ambang pintu, berharap sekali lagi mata kami bertemu, tapi Bu Mina sudah terlibat diskusi serius dengan Mas Gio. Aku mengendarai Astrea butut yang sudah susah sekali distarter menuju alamat apartemen Adrian. Sebelum pulang, Mas Albert sudah menjelaskan rute yang harus kuambil dan aku melaluinya tanpa kesulitan berarti.

Sewaktu aku tiba di apartemen, ternyata Adrian dan temannya yang tempo hari menjemput sedang sibuk mencari-cari sesuatu.

"Nyari apa, sih?" tanyaku sambil meletakkan ranselku di atas kasur lipat.

Teman lelaki Adrian yang sedang berjongkok mengobrak-abrik lemari di bawah televisi menengok dan terpelongo melihatku.

"Mu," Adrian muncul dari dalam kamar. "Kamu ada beresin barang-barangku di kamar? Nggak ada yang kamu buang, kan?"

Aku menggeleng.

"Aku udah bilang kamu nggak usah bersih-bersih kayak pembantu, biarin aja. Aku nyari surat kontrak yang kutinggalin di atas meja kamar, pas banget malem sebelum kamu datang. Kamu lihat?"

Aku diam berpikir. "Suratnya kayak apa?"

"Ya kayak surat, masa kayak kaleng kerupuk!" kata Adri ketus sambil kembali mengacak-acak kamarnya. Aku berdiri di ambang pintu mengawasinya mengobrak-abrik setiap sudut kamar yang sudah kubersihkan sebagai tanda terima kasih sudah diizinkan tinggal.

"Kamu naruhnya terakhir di mana?" tanyaku tenang, sementara kawan Adrian mengekoriku dan bikin aku risih dengan caranya memperhatikanku dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Mohon maaf, Mas. Mas kenal saya?" tanyaku padanya.

"Di meja ini!" Adrian menjawab pertanyaanku sambil menarik seprai kasurnya sampai lepas untuk melampiaskan kemarahan.

"Mas ini model, ya?" tanya teman pria Adrian.

"Modal-madul, kali, Mas. Bukan!" jawabku malas. "Kalau yakin naruhnya di meja, kenapa pakai ngacak-ngacak lemari dan kasur segala? Aku nggak lihat apa-apa di meja itu, isinya Cuma kondom, parfum, deo, semuanya kutaruh di laci."

"Bukan teman modelnya Adrian?" Si mas-mas gemuk itu masih nanya-nanya lagi.

Aku baru mau menyalak saat Adrian memotong, "Itu sepupu gue dari kampung, pesuruh doang di kantornya Mina, bukan model!" terangnya keji. Aku menahan napas. Adrian ini katanya nggak setuju aku diangkat jadi pesuruhnya Bu Mina, tapi nerangin pekerjaan sementaraku kok dengan nada seakan itu profesiku, sih? Aku agak tersinggung, lalu masuk ke satu-satunya kamar di unit itu dan mengganti baju di balik pintu.

"Mas nggak tertarik ya jadi model?" orang itu nanya lagi.

"Enggak, Mas," jawabku sabar setelah kerah kaus yang biasa kupakai tidur melewati leherku.

"Mina ini pasti!" Adrian menggumam.

Aku baru mau menanggapi begitu nama itu disebutnya, tapi teman Adrian lebih dulu mengasongkan kartu namanya padaku, "Mas, kalau tertarik jadi model, selebgram, bahkan bintang film, saya bisa bantu."

"Steve!" Adrian menghardik.

"Saya nggak tertarik, Mas," kataku tegas hampir bersamaan dengan hardikan Adri. "Sekali lagi Mas ngomong modal-model, modal-model, saya balik ke kampung, nih"-aku mendekat ke tempat Adrian duduk-"Maksudnya kontrak kamu ada sama Bu Mina?"

"Terakhir kali aku lihat surat itu di atas meja, itu sebelum aku jalan ke rumah Steve waktu Mina menginap. Ada di sebelah tas tangannya. Dia pasti keliru masukin amplop itu ke dalam tasnya. Nih, buktinya." Adrian menyodorkan sebuah amplop berisi brosur tebal berbahasa inggris kepadaku.

Aku membukanya dan konten brosur itu langsung menjegilkan mataku. Setiap lembarnya berisi berbagai tipe payudara dari yang kecil, menjadi montok, dan sangat-sangat montok. Kubalik amplopnya, ada nama Wilhelmina Santoso berikut alamat lengkapnya tertera di sana. Kop suratnya menerangkan brosur itu dikirim dari sebuah rumah sakit bedah kecantikan di Singapura. Ludahku tertelan.

"Mina mau implan payudara, pasti dia lagi ngecek itu malam sebelum tidur, lalu paginya ketuker," Adrian mengimbuhi.

Tapi buat apa?

Payudaranya sudah cukup seksi, kok-aku memprotes entah pada siapa-nggak terlalu besar, nggak terlalu kecil. Pas banget dalam cengkeraman tanganku.

"Mu... kamu bisa bantu aku, nggak? Tolong tukerin amplop itu sama amplopku di tas-nya Mina. Aku butuh itu segera buat besok pagi, mau ku-review ulang sama manajer dan agensiku. Malam ini aku ada kerjaan, nggak bisa nemuin dia."

Aku menimang brosur di tanganku. Tentu saja aku nggak keberatan meski badanku masih capek, tapi menukar brosur itu dengan amplop Adrian? Aduh... aku menggaruk pelipisku. Bagaimana kalau Bu Mina merasa malu?

"Nggak usah sungkan," kibas Adrian seolah bisa membaca pikiranku. "Rencana Mina itu semua orang di kantornya juga tahu dan mendukung. Dia kan muka perusahaan itu. Dia memang butuh dadanya kelihatan lebih montok kalau pakai baju senam. Biar mereka bisa bikin sesi workout mengencangkan dan membesarkan payudara."

"T-tapi...," payudaranya sudah ideal! Dan harusnya Adrian juga tahu itu!

"Ya udah lah kalau kamu nggak bisa bantu," kata Adrian sambil menyambar brosur di tanganku sebelum aku bahkan tahu 'tapi'-ku barusan itu mau kulanjutkan apa. "Nanti aku ke kantornya aja meski arahnya berlawanan sama studio. Paling telat sejam dua jam menampakkan diri di depan perusahaan yang baru aja ngasih aku job besar, risikonya nggak diperpanjang kontrak karena brand luar negeri gitu biasanya nggak mentolerir keterlambatan...."

"Biar aku aja yang nukerin," kataku, merasa terpojok. Kurebut kembali brosur itu, tapi Adrian mempertahankannya.

"Kalau kamu nggak enak sama Mina, tinggal aja brosurnya. Biar aku yang kasihin kapan-kapan, sekalian aku mau bilang supaya dia mengurungkan niatnya. Susunya sudah ideal segitu, nggak terlalu besar, nggak terlalu kecil. Pas dalam cengkeraman tanganku-"

"Biar aku aja!" kataku kesal sambil menjambret amplop yang kedua ujungnya sama-sama kami pegangi.

Enak saja, bukan cuman dia yang tahu bahwa perempuan itu sama sekali nggak butuh implan payudara!


PS: Oh iya... sorry kalau aku memutuskan mute komentar-komentar yang mengganggu.

Ngomongin apaan ini Mas Mahmoud di part 24? 😏😏😏

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro