29. Green Tea

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Yuhuuu...
Part 44-45 udah update di karyakarsa.com/kincirmainan yaaa...
Ada end year giveaway dari aku, lho, di part 44-45 ini.
Ikutan yuuuk....
Semoga aja aku bisa ngadain giveaway tiap bulan di 2022. Aamiin...
Jangan lupa tetep simpan semua bukti dukungan kamu, yah....


Part ini versi premium juga tersedia di karyakarsa.
Dapatkan pengalaman membaca lebih seru dan dua, bahkan tiga kali lebih panjang di karyakarsa. Terutama buat adegan mature-nya haha

Aku memberitahunya.

Astaga. Aku memberitahunya, padahal Adrian terang-terangan menyuruhku merahasiakannya. Apa yang kupikirkan? Gara-gara Adrian mengatakan Bu Mina nggak akan mau tidur dengannya kalau tahu Adri punya pacar, aku malah dengan sengaja membeberkannya tanpa tedeng aling-aling. Aku memosisikan diriku sendiri sebagai pesaing Adrian di depan seorang perempuan. Cawan di tanganku tergelincir dan pecah berantakan di dasar wastafel. Aku mengumpat kecil, sabun pencuci piring ini licin sekali busanya.

"Cut!" ucap Mas Albert lemah seraya mengalihkan moncong kameranya dariku, dan mengerutkan alis di depan layar monitornya.

"Maaf, Mas," kataku sambil mencuci tangan di bawah kucuran air keran dan menggosoknya berkali-kali. "Sabunnya licin sekali," kataku membela diri, padahal selain memang begitu, sebenarnya pikiranku yang sedang kurang fokus lah penyebab cawan itu lagi-lagi meleset di tanganku.

Bu Mina dan Mbak Tamara berada di pantry mengawasiku melakukan aktivitas sementara Mas Albert mengambil gambar dan videoku. Mereka menyuruhku mengerjakannya seperti biasa, tapi sebelumnya Mas Albert memberi petunjuk supaya mukaku tetap terlihat di kamera. Mana bisa 'seperti biasa' kalau begitu?

"Bisa nggak ya, saya memakai produk sabun pencuci piring yang biasa?" tanyaku sebelum Mas Albert menyuruhku mencuci piring dan gelas lain yang sudah bersih.

"Kenapa?" Bu Mina angkat bicara. "Itu sabun pencuci piring produk kita, lho, Moud. Kita bikin sepaket sama hand soap dan sanitizer yang sempat dibagikan gratis pada momen pandemi lalu. Semester depan kita mau menjualnya."

"Sabunnya licin, Bu," jawabku. Memang iya, kok. Busanya juga nggak banyak, rasanya kurang mantap saja mencuci nyaris tanpa busa begini.

"Masa, sih? Padahal itu kandungannya alami, nggak pakai bahan-bahan yang menghasilkan busa berlebih," Mbak Tam menggumam sambil membuka-buka catatannya entah untuk alasan apa. Mungkin dia sedang memeriksa kembali kandungan sabun itu.

"Oh, begitu...," ucapku pelan. "Mungkin justru itu jadinya terasa licin di permukaan piring dan tangan saya. Mbak udah pernah nyoba? Lihat, nih, saya harus membilas berulang kali kalau mau sisa licinnya hilang dari tangan saya."

Mas Albert yang posisinya sebagai penanggung jawab pengembangan teknologi dan produk menatapku tajam sementara hasil bidikannya terputar di layar monitor kecil di tangannya, "Kamu gugup aja kali. Kita take lagi aja nanti sorean, atau besok," katanya dingin. "Sabun pencuci piring itu sudah teruji klinis, dan dari sepuluh orang perempuan yang mencoba, delapan di antara mereka bilang hasilnya lebih bersih daripada sabun pencuci piring yang beredar di pasaran."

"Tapi soal licinnya—"

"Kamu santai aja, Moud, yang lain juga mengerjakan aktivitas kayak biasa," potong Mas Albert, masih terdengar tersinggung dengan penilaianku. Dia mematikan kameranya, lalu mendesah berat dan meninggalkan pantry bersama Mbak Tamara. Bu Mina tinggal di dekat pintu geser, menatapku yang menunduk merasa bersalah karena sudah membuang percuma waktu banyak orang. Tinggal aku yang belum beres di-take. Lagi-lagi bagianku diambil jauh lebih serius, dan harus diulang berkali-kali sampai kulit jari-jari tanganku berkerut.

Aku menaikkan bola mata, mempertemukannya dengan tatapan Bu Mina yang seketika meneduh. Senyum maklum terlukis samar di bibirnya yang dipulas warna alami senada warna aslinya. Dia lantas memisahkan punggungnya dengan pintu geser dan menghampiriku. Perasaanku jauh lebih enteng saat dia menggamit tanganku dan menggenggamnya erat.

"Memang licinan, kok," katanya pelan sambil mengedipkan sebelah matanya. "In fact, formula itu memang sedang dikembangkan terus di lab rekanan kita. Albert mengalami sedikit kesulitan menerima kenyataan itu. Tapi, coba jujur padaku... bukan sabun itu yang bikin kamu mecahin selusin cawan, kan?"

Tawa kecilku pecah tanpa suara, "Cuma tiga," kataku. Maksudku cawannya. Leherku yang kembali patah menundukkan kepalaku dalam-dalam. "Saya sepertinya nggak cocok dengan tambahan tugas ini, bagaimana saya mencuci piring dengan wajar kalau harus terus memikirkan bagaimana supaya muka saya terlihat di kamera?"

"Bisa. Kamu pasti bisa, Moud... kamu hanya belum terbiasa saja." Bu Mina menggoyangkan tanganku dalam genggamannya. Aku terus melirik ke balik tubuhnya, mengawasi ambang pintu. Siapa tahu seseorang melintas dan melihat kami berpegangan tangan. Aku nggak mau salah satu syaratnya tak lagi bisa kupenuhi dan aku kesulitan berdekatan dengannya lagi.

"Apa ibu yakin saya harus melakukannya?" tanyaku bimbang.

"Memangnya siapa lagi yang pantas diambil gambarnya sedang menggunakan sabun pencuci piring di kantor ini selain kamu? Masa aku? Jadinya akan nggak wajar, kan? Kenapa CEO perusahaan cuci piring di pantry? Setelah foto kita semua disiarkan dengan fungsinya masing-masing, kita harus bikin video sesuai peran kita di sini. Bu Stefanie memanggang kue, Riana mengganti sepatu hak tingginya dengan sepatu keds, Gio sampai kembung kebanyakan minum teh hijau. Bukan hanya kamu, Moud... coba pikirkan itu. Kalau udah, kamu pasti ngerasa lebih enteng menjalaninya. Ini kewajiban sebagai karyawan."

Kewajiban sebagai karyawan. Aku memandangi wajah cantiknya yang tengah sibuk membujukku, diam-diam hatiku berbunga-bunga. Aku memahami penjelasannya dengan cukup baik, tapi kalau diperlakukan begini, aku jadi ingin merajuk. "Berapa lama perusahaan ini berjalan, Bu Mina? Lima tahun? Sepuluh tahun?" tanyaku.

"Ini memasuki tahun ke-tiga," jawabnya dengan bola mata bergerak-gerak mengikuti gerakan bola mataku, mencoba menerka ke mana arah yang kutuju dengan pertanyaanku itu. "Kenapa?"

Aku menggerakkan bahu resah, "Kenapa baru sekarang ide ini muncul? Tepat setelah saya bergabung di kantor ini? Apa saya perlu mengingatkan sekali lagi bahwa saya tidak tertarik mengambil tawaran menjadi bintang iklan waktu itu, meski itu masih dalam bentuk wacana?"

"Aku masih ingat," tukas Bu Mina cepat. "Justru karena kamu nggak mau, makanya gagasan ini muncul. Mungkin memang sudah saatnya kami nggak menggantungkan image perusahaan pada satu, dua orang saja seperti aku, kamu, atau Dian Rai. Kita harus mulai dengan apa yang kami punya, yakni kita-kita sendiri, para pemilik perusahaan ini. Orang-orang yang menginginkan kemajuan Healthy By Mina. Perusahaan ini mungkin saja bisa jadi masa depan yang menjanjikan, kenapa kita tidak mengusahakannya sendiri. Iya, kan?"

"Apa saya juga punya masa depan di sini? Masa depan seperti apa? Menjadi pesuruh teladan, begitu? Atau berhasil mencuci piring dengan mata tertutup tanpa memecahkannya?"

"Jangan sinis begitu. Jangan berpikir aku nggak mikirin kemungkinan kamu mendapatkan posisi yang lebih baik di kemudian hari. Kamu di sini karena memang hanya ini posisi yang kosong, tapi asal kamu tahu... semua perusahaan start up memulai dengan tenaga terbatas, dengan modal terbatas, tapi seiring dengan majunya perusahaan... kita akan terus membutuhkan orang-orang baru mengisi posisi-posisi yang saat ini dirangkap oleh satu orang. Suatu hari kita akan membutuhkan technology officer baru, misalnya, atau teknisi... dan banyak posisi lain yang aku yakin bisa kamu isi. Kalau... kamu masih betah di sini dan nggak ada tawaran lebih baik untuk kamu di luaran sana. Tapi sekarang... perusahaan ini membutuhkan partisipasi lebih dari kita semua. Kamu mengerti, kan, Moud?"

Aku tidak langsung menjawab pertanyaan itu, kepala dan pandanganku masih menghadap ke bawah, ke kedua tangannya yang menggenggamku erat. Aku mengusap lembut punggung tangannya dengan ibu jariku yang kemudian ia entakkan untuk memberikan efek kejut pada lamunanku. Otomatis aku mengangkat kepalaku menemui tatapannya. Bu Mina melepaskan genggaman tanganku, mataku membeliak saat ia mengusap kedua sisi rahangku dengan tangannya. Jantungku berdebar berharap sentuhan itu menarik wajahku maju untuk dilekatkannya menjadi ciuman.

Bibir bawah Bu Mina yang tergigit mendesirkan darahku. Terlebih saat ia lantas menggandengku ke sisi kanan pantry yang agak tersembunyi dan punggungku didesakkannya di dinding. Napasku tertahan saat tengkukku direngkuhnya hingga punggungku membungkuk supaya bibirnya bisa mencapai bibirku.

Pada sepersekian detik pertama, aku masih tak menyangka perempuan ini bahkan berani menciumku di ruang publik. Kupikir kami hanya akan bemesraan di tempat-tempat pribadi, misalnya saja... di setiap sudut apartemen mewahnya. Membayangkan di mana saja kami akan memupuk keintiman ini di apartemennya seketika memenuhi ruang berpikirku dengan desakan gelora. Aku merengkuh pinggangnya, memperdalam pagutan bibirku pada bibirnya.

Aku begitu menyukai rasa bibirnya, juga kehangatan rongga mulutnya yang seakan merasuk ke dalam sukmaku. Entakan-entakan pagutan bibirnya yang lembut membuatku tak kuasa berhenti membalas. Memangnya mengapa aku berpikir untuk berhenti membalas? Perasaan ini begitu menyenangkan, menentramkan, sekaligus mendebarkan. Kubiarkan Bu Mina menguasai permainan, kuikuti kapan saja bibirnya melepaskan pagutan untuk mengulum bibir bawahku yang kemudian kubalas pada bibir bawahnya, lalu ia pagut lagi, dan ia kulum lagi. Saat aku tak mampu lagi hanya menerima, kutarik bibir bawahnya menjauh dengan gemas. Bu Mina merintih, tapi sebelum ia menyadarinya, aku sudah mengulumnya lagi.

"Mahmoud," sebutnya sambil menahan kedua tanganku yang mulai berani menyentuh pinggulnya.

Aku mengetatkan rahang, memaksa tunduk gairahku yang nyaris membuncah. Kusatukan dahiku dengan keningnya saat wajahnya berpaling seakan ia lupa siapa yang mengawali semua sampai kami mengambil risiko seberat ini. Kedua tangannya menekan pundakku, aku menarik mundur diriku dan membenturkan punggungku ke dinding. Sekujur tubuhku bergetar seperti tersengat, aku memejamkan mata dan membuang napas perlahan lewat mulut. Saat mataku membuka, kulihat pipi Bu Mina masih merona.

Aku mengendurkan sentuhanku di pinggulnya. Mulutku nyaris mengucapkan maaf, tapi urung karena menurutku... kalau ada yang harus memintanya, orang itu bukan aku. "Kalau saya yang mengawali seperti barusan... ibu akan menyebut saya melanggar aturan konsensual," kataku alih-alih.

Bu Mina pura-pura terkejut, "Oh, jadi yang barusan itu nggak konsensual?"

"Saya nggak bilang begitu."

Dia tertawa kecil salah tingkah, pergelangan tanganku di sisi-sisi pinggang terus ditahannya.

"Yang jelas seharusnya ibu tidak mengajak saya berciuman di pantry saat semua orang masih sibuk bekerja," imbuhku. Bibir Bu Mina membuka, siap memprotesku lagi, tapi aku menyerangnya kembali. "Ibu bisa melanggar aturan kedua, lho. Aturan rahasia."

"Maaf, ya, Mouuud...," katanya geli, tawa kecilnya menyembur renyah.

Tapi, mendadak aku justru menjadi teramat serius saat mengadu manik mataku dengan manik matanya. "Konsensual adalah satu dari tiga aturan yang menurut saya tidak memberatkan sama sekali. Menurut ibu... kalau suatu hari saya berhasil menjadi bagian dari perusahaan yang lebih sukses dan mengisi posisi yang tak lagi pantas diambil gambarnya sedang menggunakan sabun pencuci piring... apa ada kemungkinan aturan ibu diubah sedikit?"

Bu Mina tergemap, jelas sekali aku sudah menakutinya, "Mm—maksudmu?"

Sambungku nekat, "Aturan kedua dan ketiga itu... apa akan ada kalau saya bukan pesuruh di kantor ibu?"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro