30. Hot Spicy Buffalo Wings

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Good morning...

Siapa yang nungguin Mas Mumu?

Oh iya... selamat tahun baru, ya...

Anyway...  versi premium cerita ini (dengan panjang 2-3 kali lipat dan cerita yang lebih seru, detail, mature (ehm...) dan kadang berbeda dari wattpad) sudah sampai part 50 di Karyakarsa. 

Sekarang aku bikin paket di setiap akhir periode supaya kamu yang baru nemu cerita ini bisa dukung paket sekaligus, nggak satu-satu. Kalau ngikutin dari awal kan nggak kerasa, ya, tapi kalau nyusul mesti dukung satu-satu takut ada yang kelewat dan segala macem.

Selamat membaca...

Mataku mencelang menatap teduh tatapannya yang terluka. Sesuatu yang menyesaki dadaku memekat, napasku tersengal. Aku tidak mundur ke manapun meski Mahmoud lantas melepaskan pinggangku sama sekali. Aku merasa begitu jahat dan sewenang-wenang.

Meskipun kami melakukannya atas dasar suka sama suka, bisa saja Mahmoud nggak terima karena syaratku memberatkannya. Apakah dia tersinggung? Apa dia berpikir aku memberi syarat itu hanya karena dia seorang pesuruh? Atau jangan-jangan, dia mulai punya perasaan khusus padaku? Bisakah dua insan terus berintim-intim seperti kami tanpa perasaan apa-apa?

Tapi aku dan Adrian bisa. Walaupun... aku dan Adri tidak pernah melakukannya se-intens itu dalam kurun waktu yang sangat dekat. Harus ada yang mendesak jika aku dan Adri memutuskan melakukannya, sementara aku dan Mahmoud, ah... ini semua salahku. Aku tak bisa menahan diri karena Mahmoud begitu penurut, begitu memesona secara natural, tidak dibuat-buat untuk mengesankanku. Dia nggak perlu tebar-tebar, dia sudah memesona dengan sendirinya. Pelukannya begitu hangat, lengannya begitu kokoh, permainan cintanya begitu... oh, hentikan, Mina! Kamu hanya akan memperkeruh keadaan kalau kekagumanmu padanya terus kamu pupuk. Kendali itu di tanganmu! Seharusnya di tanganmu.

Sejujurnya, itu bukan pertanyaan pertama yang kudengar. Sebelumnya, beberapa kali aku mempertanyakan hal yang sama kepada diriku sendiri. Apa aku akan menyuruhnya diam kalau dia bukan pesuruhku?

Aku menunggu Mahmoud memintaku melupakan pertanyaannya, tapi sepertinya ia justru menanti jawabanku. Alis tebalnya menukik, dia memperjelas maksudnya dengan pertanyaan yang jauh lebih menyakitkan lagi, "Apa ibu malu?"

Apa aku malu? Ya, mungkin saja. Aku, hook up sama seorang pesuruh? Apa kata semua orang? Aku sendiri bahkan pernah punya pikiran menaikkan derajatnya supaya orang maklum mengapa Wilhelmina Santoso meniduri Sigit Handam Almahoudi. Oh, dia seorang model, oh, dia seorang staf yang tidak bertugas mencuci piring dan mencatat pesanan makan siang orang sekantor, atau oh, apa saja asal dia bukan seorang pesuruh.

Dan yang lebih menjijikkan lagi, yang membuatku semakin merasa aku nggak punya hati nurani, adalah perasaan legaku saat mendengar 'apa ibu malu'-nya. Paling tidak, dia hanya merasa tersinggung, bukan berharap lebih pada hubungan tanpa status ini. Aku masih ingin berdekatan dengannya, memanfaatkan posisinya sebagai bawahanku, tapi tidak ingin repot memikirkan anggapan orang-orang kalau Mahmoud mulai menuntut. Aku tidak lagi merasa sewenang-wenang, aku merasa sangat brengsek.

"Bukan masalah malu, Moud...," kataku tenang. Ayo pikirkan jawaban yang masuk akal, Mina! "Buat apa aku malu?"

"Ya, karena saya cuma pesuruh," kata Mahmoud lancar. Kupikir dia akan memantulkan umpan balikku, tapi malah justru menangkapnya.

Seperti buaya, aku menertawakan ucapan Mahmoud seakan itu hal paling tak masuk akal di dunia, "Kamu tuh pernah ngaca di kamar mandi apartemen Adrian nggak, sih? Kan ada cermin gede banget, tuh, di sana. Bahkan Tamara dan yang lain aja pengin jadiin kamu brand image perusahaan ini, lho, dibanding memilih salah satu influencer terkenal"—pret, padahal alasan utamanya adalah budget promosi yang serba terbatas—"muka kamu, badan kamu, itu pantas dipamerin ke mana-mana, ngapain aku mesti malu?"

"Terima kasih atas pujiannya," tukas Mahmoud tanpa tampak terkesan sedikitpun, sudut bibir kanannya tertarik ke samping hingga lesung pipi samarnya muncul, tapi bukan tersenyum. "Tapi tetap saja, kan, saya cuma office boy."

"Kamu jadi office boy juga aku yang minta," aku menyergah nggak kalah cepat. "Kalau aku malu, ngapain kamu nggak kujadiin asistenku?"

"Karena nggak ada kursi kosong untuk posisi itu," cetusnya cerdas dan tepat menohok ulu hatiku. Matanya mulai berani menyorot tajam padaku, menuduh dan menghakimiku. Aku gelagapan dibuatnya. "Makanya saya nanya, kalau posisi saya di kantor ini bukan pesuruh, apa dua syarat itu akan tetap ada?"

"Aku nggak mengajukan syarat itu karena malu," tegasku saat posisiku di ujung tanduk. "Aku... aku...."—duh, aku apa, ya?—"Aku memang nggak punya rencana untuk menjalin asmara dalam waktu dekat!"

"Itu jawaban untuk syarat yang ketiga," Mahmoud menyimpulkan dengan nada mendesak, jawabanku jelas tidak memuaskannya. "Lalu syarat rahasia? Selain ibu merasa malu—anggap saja begitu—apa ibu begitu takut Adrian tahu apa yang kita lakukan di belakangnya?"

Adrian?

Aku terpelongo. Jadi semua ini gara-gara Adrian?!

Astaga, ragaku lemas dalam sedetik setelah nama itu tersebut olehnya. Setelah membuatku berpikir keras menemukan jawaban yang nggak menyinggung perasaannya, ternyata justru itu yang terlintas di benaknya? Lalu, buat apa dia bawa-bawa kata malu segala? Apa dia mencoba menjebakku? Dia tahu pasti aku akan menolak anggapan itu, dia menantiku memberinya jawaban yang menurutnya jujur, yakni mengenai Adrian. Adrian lagi. Aku sendiri sampai bosan gimana harus menjelaskannya. Memang sesusah itu dia paham betapa hasrat seksual kadang nggak memandang siapa? Bukannya dia sendiri sedang begitu denganku? Kenapa dia bersikeras aku menyukai Adrian?

Posisiku yang masih sangat dekat dengannya memudahkanku mencengkeram kerah polo shirt seragamnya. Aku menggeram gemas, "Aku dan Adrian nggak ada hubungan apa-apa!"

"Adrian menyuruh saya merahasiakan mengenai perempuan itu dari ibu, saya pikir kalian sebenarnya punya ketertarikan satu sama lain yang tak terungkapkan. Ibu melampiaskannya pada saya, dan malu kalau sampai Adrian tahu, makanya—"

Aku memotong dengan gusar, "Astagaaa, jadi kamu nggak nanya soal malu karena kamu merasa tersinggung?"

"Saya tidak tersinggung karena saya maklum soal itu," jawabnya tanpa beban. "Saya mengerti ibu tidak ingin bawahan ibu tahu soal kita berdua, tapi kenapa Adrian juga, dan kenapa Adrian juga harus merahasiakan hubungannya dari ibu? Kalau kalian memang saling menyukai, saya tidak ingin menjadi penghalang—emph!"

Aku membungkam mulut Mahmoud yang menyerocos dengan bibirku. Aku gemas dan geregetan sekali. Sulitnya menjelaskan bahwa aku nggak punya rasa sama Adrian, tanpa punya perasaan padanya. Pikiran Mahmoud terlalu sederhana. Kalau kamu nggak cinta Adrian, berarti kamu harusnya cinta padaku, kita sudah berhubungan seks! Seperti itu. Baginya, hubungan seks harus ada hubungannya dengan perasaan suka, atau cinta. Aku sudah menarik kesimpulan bahwa saat ini Sigit Handam Almahmoudi sudah jatuh hati kepadaku. Dan aku mencegahnya bicara lagi karena sesungguhnya aku takut pada apa yang akan kukatakan tanpa kuingin katakan. Kucengkeram kerah bajunya erat-erat sampai nyaris mencekik lehernya. Wajah Mahmoud memerah, dia menatapku ngeri.

"Sekali lagi kamu bawa-bawa Adrian, nggak akan kubiarkan kamu menyentuhku lagi!" kecamku penuh percaya diri. Aku sudah 90% yakin, Mahmoud melakukannya karena cemburu. Pemicunya tentu perintah Adrian untuk merahasiakan mengenai perempuan itu dariku. Aku nggak tahu alasan Adrian apa, biasanya dia nggak peduli. Biasanya dia justru pura-pura dekat dengan si ini, atau si itu supaya aku nggak merayunya.

Setelah berkata begitu, aku merapikan kerah polo shirt Mahmoud dan mundur. Namun, saat aku berbalik hendak meninggalkannya, dengan berani Mahmoud mencekal pergelangan tanganku dan mengentaknya supaya aku kembali berhadapan dengannya. Aku tercekat, tapi Mahmoud tak memberiku kesempatan mempertahankan diri. Dia merengkuh pinggangku dan menukar posisiku dengannya. Punggungku menghantam dinding, Mahmoud merangsek menyasar bibirku.

Aku berpaling ke kanan, ke kiri menghindari ciumannya, "Non-consensual! Time out! Time out!" racauku.

"Barusan kamu juga menciumku dengan cara yang sama, aku nggak pernah merasa di-non-konsensuali!" katanya tajam, tangannya merengkuh erat tengkukku, membuat napasku tertahan paksa. Kata 'kamu dan aku' dalam kalimat Mahmoud yang diucapkannya di pantry kantor membuat dadaku sakit menahan luapan excitement yang tak semestinya. Tatapanku beralih ke bibirnya yang mengatup karena rahangnya mengetat. Aku berhenti meronta, Mahmoud mendekat semakin rapat. Aku menahan dadanya. "Aku nggak ada perasaan apa-apa sama Adrian," tegasku lemah.

Mahmoud mengangguk sepakat, dia juga tak mau berhenti bersentuhan denganku. "Tidak ada Adrian," katanya berat sebelum melekatkan bibirnya kepadaku.

Oh, ya Tuhan! Darahku bergolak seperti air yang mendidih, aku menjambak rambut Mahmoud dan menekan kepalanya kepadaku supaya pagutan bibirnya menguat. Napas kami memburu, kakiku naik sebelah mengunci pinggangnya. Kami mungkin akan nekat berbuat di sana kalau saja aku tak mendengar langkah-langkah cepat Riana menuruni tangga sambil memanggil-manggil namaku.

Aku mendorong Mahmoud menjauh. Mahmoud melompat gesit berpura-pura mengambil sesuatu di kabinet, sementara aku sibuk membenahi rambutku yang berantakan. Kelihatannya Riana lebih dulu mengecek ke kubikel karyawan sebelum akhirnya kembali ke pantry, wajah manisnya melongok ke dalam. Matanya memincing curiga, "Hayooo...," katanya sambil menunjuk ke arahku dan Mahmoud bergantian. "Ngapain hayoh berduaan di sini, hayooo!"

"Apaan, sih!" kataku dengan tekanan sedikit berlebih gara-gara napasku masih tersengal. Aku meninggalkan pantry dengan langkah-langkah cepat, melewati Riana di ambang pintu yang langsung mengekori langkahku.

"Mbak Mina jangan marahin Mas Mahmoud, dong," katanya manja saat kami tiba di kantorku. Aku melepas napas lega tak kentara, untung dia nggak benar-benar curiga. "Dia kan orang kampung, Mbak, nggak pernah pakai medsos, mungkin jarang difoto, apalagi di-video. Kasihan, Mbak.... Mas Albert juga tadi dimarahi Mbak Tam karena terlalu keras sama Mas Mahmoud. Nanti kalau dia resign...," suaranya memelan. "Kita juga yang repot. Bang Dian Rai udah resmi masuk bui, tadi dia udah bikin statement di depan wartawan dikawal polisi!"

Aku duduk dengan gusar seolah keresahanku berasal dari informasi Riana, bukan lantaran jantungku yang masih berpacu cepat karena yang barusan itu nyaris sekali ketahuan. Dan yang barusan itu juga... kalau benar-benar kejadian... pasti bakal enak sekali. Adrenalinku tadi berpacu sangat cepat sampai-sampai kepalaku masih pening gara-gara itu. Oh Mina, aku memijit pelipisku. Itu seharusnya jadi obat pelepas stres, bukan malah nambahin stres kalau tiap saat hasratku jadi nggak terbendung begini!

"Mbak Mina!" suara ketuk di pintu dibarengi panggilan namaku oleh Gio. "Barusan kata Mas Albert, vendor kita bilang udah nggak bisa nunda produksi lebih lama lagi. Mereka peak season bulan depan, kalau kita nggak sesuai jadwal, bakal kegerus orderan lain. Aku udah resmi ngebatalin desain sebelumnya, Dian Rai paling nggak dibui sekitar empat sampai enam bulan, masih harus pulihin nama baiknya kalau mau masang muka dia buat jadi brand image produk kesehatan. Kita nggak punya waktu, apalagi pilihan lain, Mbak. Instagram Mr. Mahmoud kudu segera diluncurkan."

"Apa?"

"Instagram-nya Mas Mahmoud, Mbak," Riana memperjelas seolah aku tuli.

"Aku tahu!" pekikku jengkel. "Tapi kenapa namanya harus Mr. Mahmoud, sih? Norak banget!" 

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro