31. Chicken Porridge

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 51-52 TMM versi premium sudah ada di karyakarsa, ya...

untuk pengalaman membaca lebih seru, dua kali lipat lebih panjang, dan mendebarkan, cuz ke karyakarsa.com/kincirmainan

Hubunganku dengan Bu Mina belum beranjak ke mana-mana, tapi ketrampilanku dalam bercinta kuyakin mengalami peningkatan berkali lipat sejak pertama kali kami melakukannya. Kira-kira sekarang kami sudah berbuat sebanyak... sembilan... eum... sebelas kali. Pernah semalam dua kali seperti sebelumnya, pernah hanya sekali karena buru-buru.

"Makasih udah jemput aku tadi pagi, yah? Pakai bawain sarapan bubur segala. Lain kali kalau bawain sarapan tuh dua porsi, dong, biar bisa makan bareng. Thanks again, ya, Moud. Nggak tahu kenapa, tadi males banget keluarin mobil. Selamat bekerja, ya, Mahmoud. Jangan lupa nanti jam sepuluh Albert mau ambil video kamu di gym buat konten instagram. Bye, Mumu!"

Aku sudah mengulang pesan suara lewat WA itu setidaknya sepuluh kali. Bye, Mumu. Bye Mumu. Bye, Mumu. Panas yang terasa membakar pipiku menjalar sampai ke tengkuk, tapi dasar bandel, aku malah mendengarkan bagian itu terus menerus. Jantungku selalu empot-empotan setiap kali mengingat bagaimana Bu Mina menyebut nama kecilku di tengah kami bercinta. Kalau dia mulai keenakan, mulutnya selalu meracau memanggil namaku dengan mesra, bergantian dengan desahannya yang membuatku mabuk kepayang.

Kami pernah membahasnya usai berhubungan terakhir kali. Waktu itu kami berdiskusi tentang apa saja yang membuatnya senang dan apa yang membuatku senang. Bu Mina bilang, "Aku suka caramu memastikan aku sudah mencapai klimaks sebelum kamu mikirin dirimu sendiri. Nggak mudah membuat seorang perempuan orgasme saat berhubungan seksual, Moud. Tentu saja, mencapainya bersama itu lebih menyenangkan, tapi lebih sering... laki-laki berpikir kalau mereka puas, kami juga puas. Padahal belum tentu. Nilai plus-nya, tiap kamu klimaks, aku juga ikutan klimaks. Jadi aku selalu menang dua kali."

Itu memang pembicaraan kelewat dewasa yang bahkan dalam keadaan telanjang sehabis bercinta, aku merasa malu mendengarnya. Kemudian, saat giliranku tiba, aku berterus terang, "Saya suka tiap kali Bu Mina memanggil nama kecil saya. Saya jadi lebih bersemangat."

Sekarang, pikiranku secara resmi hanya terpusat pada Wilhelmina Santoso.

Beberapa waktu lalu, pikiran-pikiran ini sering bikin cawan atau cangkir nyaris meleset dari tanganku. Sekarang, otakku sudah lebih ahli. Aku bisa melamunkan Bu Mina sambil memberesi semua pekerjaan. Tahu-tahu, cucianku sudah beres, lantai sudah licin, tapi melamun jalan terus.

"Mahmoooud!"

Nah... kebiasaan orang kantor yang kayak begini juga sudah bisa kuatasi.

"Yuk, Moud. Udah beres, kan, kerjaan paginya?" ajak Mas Albert.

"Udah, Mas," jawabku.

Tanpa menjelaskan maksudnya, Mas Albert yang belum sempat masuk pantri memutar balik dan menyuruhku mengikutinya ke ruang paling belakang yang berseberangan dengan dapur Bu Stefanie.

Ruangan yang sebetulnya gudang itu sudah disulap menjadi ruang olahraga mini. Beberapa minggu terakhir ini, kalau sedang tidak ada pekerjaan, aku dipaksa menempa otot-ototku dengan gerakan olahraga yang semestinya, supaya badanku makin bugar dan berbentuk.

Hari ini Mas Albert akan mengambil gambarku di situ. Aku akan direkam saat sedang melakukan beberapa gerakan HIIT Cardio yang sebelumnya sudah kuhafalkan sesuai petunjuknya. Katanya, ini untuk kepentingan akun instagram-ku. Akun yang dimaksud, tentu bukan akunku yang dulu. Aku benar-benar sudah lupa kata kuncinya. Mbak Tamara membuat akun baru dengan namaku. Aku sendiri belum diizinkan memegangnya. Menurut mereka akun itu nggak akan optimal membantu pemasaran perusahaan kalau kukelola sendiri.

Sebelum kami masuk, dari dalam, terdengar suara Bu Mina yang dari tinggi lengkingannya seperti sedang berdebat dengan seseorang, "Aku cuma masih kurang sreg sama nama akunnya. Nekat banget sih kamu? Aku kan belum setuju! Mr. Mahmoud, apaan, tuh? Itu kan kayak lagu dangdut zaman dulu, kenapa malah kayak sengaja dibikin kampungan, sih?"

Mengingat hanya dua orang di kantor ini yang bisa bikin Bu Mina naik darah dan salah satunya bersamaku, berarti dia bersama Mas Gio.

"Kampungan gimana, sih, Mbak?" sahut Mas Gio tenang. "Namanya memang Mahmoud, kok, dan itu cukup menjual. Orang Indonesia suka cowok ganteng dengan nama berbau-bau Islami begitu, terutama ibu-ibu. Mbak Mina mesti ingat, dong... target utama kita adalah ibu-ibu dan cewek-cewek yang pengin sehat dan seksi. Mereka butuh motivasi, penggerak, namanya siapa itu nggak penting. Yang penting mah ganteng. Buktinya, belum ada seminggu followers-nya udah mau sepuluh ribu."

"Ya, okelah, namanya memang begitu. Kenapa di depannya ada Mister-nya segala, sih?"

"Ya kan dia cowok, Mbakyuuu... Mbak Cantik... Mbak Baweeel," Mas Gio tertawa-tawa. "Masa cowok namanya Mrs. Mahmoud? Kan lebih aneh lagi. Katanya disuruh ngikutin image HBM yang elegan, nah itu kubikin kebarat-baratan. Nanti kalau Mas Mahmoud, Akang Mahmoud... dibilang kedaerahan. Gimana, sih?"

"Ya kan bisa Mahmoud ajaaa, gitu!" Bu Mina menggeram gemas, tepat saat Mas Albert mengayun pintu membuka. "Bert, lu juga setuju sama ide makhluk aneh satu ini?"

"Aku kan bukan orang marketing, Mbak," Mas Albert berkelit.

"Nah, tuh!" Mas Gio menunjuk ke arahku. "Masa nama Mr. Mahmoud dibilang kampungan, Moud? Mahmoud aja nggak apa-apa, kok, dia fine-fine aja, ya, kan?"

Aku meringis. Brengsek. Waktu itu aku juga mau mengajukan keberatan, tapi katanya semua sudah setuju aku pakai username itu untuk akun instagramku, termasuk Bu Mina. Kami nggak sempat membicarakannya karena sibuk bercinta, baru kali ini kudengar langsung Bu Mina memprotesnya. Tahu gitu aku ngotot pakai nama asliku aja. Namaku bagus, kok, Sigit Handam Almahmoudi. Gagah. Eyang Kakung yang menamaiku.

"Semakin unik namanya, akan semakin mudah diingat, dan dikenal. Mbak kayak nggak paham aja konsep publikasi semacam itu. Username Mbak juga Mina_sans, kurang norak apa? Mina_sans, Mina santai gitu maksudnya?"

Kusembunyikan senyum sambil menanggalkan kaus seragam sewaktu Bu Mina menyepak tulang kering Mas Gio kuat-kuat. Mereka masih terus adu mulut sementara aku berganti pakaian. Semakin berapi-api Bu Mina, Mas Gio makin semangat menggodanya. Diam-diam aku juga ingin bercanda-canda dengan perempuan yang kutiduri seakrab yang lain, tapi... mungkin malah justru itu yang membuatku spesial?

Aku menggerakkan bahu seperti gestur orang berbicara 'siapa tahu?' tanpa kusadari saat mematut penampilanku di cermin besar yang melapisi dinding ruangan. Saat aku melirik ke belakang lewat pantulan cermin, Bu Mina sedang mengernyit memperhatikanku. Dia mengangkat dagunya seperti bertanya 'kenapa kamu, Moud?'

Aku salah tingkah dan menggeleng.

"Mbak, benerin rambutnya Mahmoud, dong," suruh Mas Albert sembari menyetel kameranya. "Dinaikin ke atas biar rapian dikit. Kecuali Mbak mau ngebujuk Cynthia ngeluarin duit buat bayar Jamie tiap kita bikin video Mahmoud."

"Cynthhia tahu benar kondisi keuangan kita," kata Bu Mina sambil menghampiriku. "Kalau dia bilang enggak, ya berarti enggak."

"Wow, looking good, Mahmoud!" seru Mas Gio sambil memijit tulang keringnya begitu melihatku berbalik hanya mengenakan kaus olah raga tanpa lengan. Kentara sekali dia berusaha menengahi sebelum ketegangan antara Bu Mina dan Mas Albert benar-benar terjadi. "Udah pantes banget jadi model. Gimana kalau singlet-nya nggak usah dipake aja? Bagus kan kelihatan perutnya kotak-kotak."

"Ja—jangan, Mas," tolakku, mukaku langsung merah, apalagi Bu Mina sudah makin dekat denganku.

"Aurot itu, Mas," timpal Bu Mina bercanda tepat di depan mukaku.

Mas Gio tergelak kencang.

"Tapi bener juga, lho, Moud," kata perempuan itu lagi. "Aku sih setuju-setuju aja, pasti bakal makin seksi. Biasanya fitness influencer memang pada gitu, Moud."

Aku memelototinya setelah yakin Mas Gio dan Mas Albert tidak sedang mengawasiku.

Bu Mina malah tersenyum menggoda menanggapi keenggananku. Coba saja dia yang disuruh telanjang dada dengan alasan biasanya fitness influencer pada begitu, aku pasti nggak akan rela.

Akhirnya aku hanya bisa pasrah sewaktu perempuan itu menarik kausku naik melewati leher seperti kalau dia melakukannya sebelum kami bercinta. Aku menggeram—hanya dia yang bisa mendengar—tapi dia malah melipat bibirnya menahan senyum. Kubiarkan dia menata rambutku dengan jari-jari lentiknya, sementara aku memandanginya penuh arti. Dadaku masih berdebar setiap kali kami bersentuhan, apalagi di ruangan di mana kami tidak sendirian.

Saat aku siap, Mbak Riana justru masuk memanggil Mas Albert. Ada telepon dari lab, katanya. Dia berniat menyerahkan kamera kepada Mas Gio, tapi ternyata Mas Gio juga harus pergi.

Sungguh skenario yang sangat menarik, sekarang aku hanya berduaan dengan perempuan yang siang ini tampil menawan dalam balutan kemeja satin putih dan rok ketat selutut berwarna gelap. Rok itu digantinya di kantor. Saat duduk di boncenganku, dia mengenakan celana jeans. Rambutnya juga demikian. Tadinya digelung dan disembunyikan di dalam helm, siang ini dibiarkan tergerai jatuh ke bahu. Make-up-nya tipis-tipis. Bibirnya sudah dipulas kembali setelah aku menghabiskan lipstiknya sebelum kami berangkat naik motor inventaris bututku.

Dalam posisi yang nyaris lekat, dengan berani Bu Mina membelai otot dada dan perutku. Kali ini aku yang menahan pergelangan tangannya saat dia seperti hendak menyusur makin ke bawah.

"Kenapa? Biasanya kamu suka dibeginikan," dia memprovokasiku. Bibirnya cemberut.

"Sebaiknya, ibu tidak memancing di air keruh," imbauku. "Biasanya, kalau sampai terjadi apa-apa, pihak laki-laki yang akan jadi korban."

"Kok gitu?"

"Sebab kalau sampai ada yang lihat, ibu pasti nggak mau lagi berduaan dengan saya karena salah satu aturannya sudah terlanggar. Aturan rahasia."

"Memangnya yang rugi kalau kita nggak bisa berduaan lagi cuman kamu?"

"Ya sudah, kalau begitu silakan pegang-pegang lagi, saya sih nggak keberatan," tapi aku malah dicubitnya.

Mas Albert akhirnya kembali dan bertanya apa Bu Mina sudah take gambarku, atau belum. Tentu saja belum, sejak tadi dia hanya menggodaku. Tiap aku menyuruhnya berhenti atau akan kuterkam, dia bilang aku harus mengganti kamera mahal itu kalau sampai jatuh.

Urusan kembali serius di tangan Mas Albert. Aku harus mengulang gerakan sepuluh menit yang kuhafal itu sampai nyaris satu jam. Bu Mina sudah meninggalkan ruangan sebelum lima menit pertama berakhir.

"Ponselmu bunyi, Moud," tunjuk Mas Albert saat aku tiduran di matras melepas lelah dengan peluh bercucuran.

Aku menyambar ponsel dan terkejut melihat wajah Ummi terpampang di layar.

"Assalamualaikum, Ummi," sapaku yang langsung dibalas hangat dengan nada penuh syukur oleh Ummi.

"Kamu bakal segera jadi jutawan, Nak!" katanya.

Aku terhenyak. Punggungku seketika terpisah dari dinding tempatku bersandar.

"Kamu ingat kan Eyang Kakung punya tujuh rumah di desa? Semalam Abhi-mu sama adik-adiknya sudah urun rembug dan membaginya sama rata. Kata bapak, rumah kita pastinya akan diwariskan ke mas dan mbak iparmu, nah... rumah Eyang Kakung jatah Abhi nantinya mau dikasihin ke kamu."

"Ya kalaupun dikasihin ke Mahmoud, itu kan nanti-nanti Ummi. Abhi masih sehat wal'afiat, nanti pamali, Ummi...."

"Diam dulu, to. Biar Ummi jelasin. Dengar-dengar, udah ada orang yang nanyain rumah itu. Kalau benar terjual, kamu bisa buka bengkel mesin bubut, atau motor dan mobil di sini. Nggak usah susah-susah kerja di kota. Jumlahnya bisa sampai milyaran, Mahmoud! Pulang aja, ya, Nak? Bapaknya Lastri juga sudah nanyain kamu!"

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro