32. Sweet Berries

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Trapping Mr. Mahmoud Part 53 Special Part Mature Content sudah bisa dibaca di Karyakarsa, ya...

Buat kamu yang hanya mau baca part-part special aja, bisa mendukung part ini. Ini sifatnya sama kayak part 17, 25, 35, dan 41. Tiga kali lipat lebih panjang, mengandung adegan yang sama sekali tidak ada di Wattpad (bukan extended part) dan mature content (mengandung adegan pergulatan lol).

Part 32 ini juga ada versi panjangnya di Karyakarsa. Kalau menurutmu versi wattpad udah oke, berarti kamu akan menggelepar2 dengan versi Karyakarsa LOL

Buat kamu yang mendukung semua part TMM di Karyakarsa, nanti akan dapat PDF cerita lengkap yang tidak akan kujual di manapun.

Untuk buku, apabila ternyata aku pengin cetak, editannya bakal lain lagi dengan versi wattpad, atau karyakarsa. Pasti lebih bagus dari Wattpad, tapi tetap tidak selengkap karyakarsa karena di KK ajegile panjangnya nggak kuad.

Jangan lupa follow aku di medsos, dong...

Love you muach!


"Nih."

Aku menyerahkan ponselku. Mahmoud yang malam itu belum memakai kembali kausnya karena kami baru saja... yah... tahu sendirilah... memandanginya ragu. Tangannya yang sedang mengaduk secangkir teh terhenti. Gara-gara inilah kemarahan Mahmoud tersulut dan permainan cinta kami jadi lebih panas daripada biasa. Sudah lama sejak aku mengingat semua pria yang marah jadi makin hebat di atas ranjang, termasuk Mahmoud.

Padahal, dia sudah sangat senang saat Gio mengajaknya bergabung di meeting produksi tadi sore. Namun, saat untuk pertama kalinya Mahmoud mendengar seberapa besar dampak waktunya tiap hari yang disabotase Albert demi pengambilan gambar dan video untuk HBM, dia justru merasa kesal. Pasalnya, selama ini, meski kami bilang itu adalah akun instagram pribadinya, Mahmoud sama sekali belum bisa mengaksesnya. Penjelasan andalan Albert-semua karyawan juga melakukannya-sudah kurang mempan. Dia merasa dimanfaatkan.

Kurang lebih begitu yang kudengar dari mulutnya sebelum akhirnya ia tak bisa menahan diri melihatku menanggalkan kemeja di hadapannya. Gio hanya bersikeras Mahmoud tak akan bisa menghandle akunnya sendiri, tapi tidak mau ikut memikirkan bagaimana menjinakkan pria perkasa yang kecewa. Ujung-ujungnya, hanya aku yang bisa melakukannya, dan walaupun aku sangat menikmatinya, aku tahu cara ini suatu hari nggak akan ampuh lagi. Akhirnya, aku mengambil inisiatif tanpa mendiskusikannya dengan yang lain, yakni menunjukkan pada Mahmoud hasil kerja kerasnya selama ini.

"Ambil, dan periksalah," kataku.

Mahmoud melupakan cangkir tehnya dan menerima uluran ponselku yang sudah kubuka di halaman akun Instagram-nya. Aku mendekatinya sementara Mahmoud menggulirkan layar ponselku dengan hati-hati. Kulingkari pinggang rampingnya yang berotot dengan lenganku, "Belum ada sebulan, kamu sudah berhasil mengumpulkan 93K fans setia."

"K?" tanyanya bingung.

"Ribu," jelasku. "Maaf, kalau kuterjemahkan, nanti pikirmu aku meremehkan kemampuan bahasa Inggrismu."

Mahmoud mengulas senyum tipis sambil terus menggerakkan ibu jarinya. "Ini nggak kelihatan seperti saya," gumamnya. "Dan bukan saya yang mengumpulkan pengikut ini. Bagaimana mereka bisa setia kalau saya tidak melakukan apa-apa?"

"Of course you did," bisikku. "Itu semua gambar muka kamu, Mahmoud. Kami hanya membantu, kamu yang melakukannya."

Mahmoud meringis. "Username-nya... kelihatannya memang sengaja dibikin supaya sesuai dengan profesi saya sebagai pembantu, ya? Agak norak."

Aku tidak menanggapi penilaian Mahmoud seperti aku memprotes Gio beberapa waktu lalu. Sebagai gantinya, aku hanya mengelus lengannya dan memberinya kecupan lembut. Lagipula, Gio benar. Dia berhasil menjual kenorakan nama Mr. Mahmoud yang berbanding 180derajat dengan foto-foto, IG TV, dan story Mahmoud yang semuanya dibuat seartistik dan setampan mungkin sampai kadang dia tampak serupa Barbie Ken.

Semua produk kami yang dipakai Mahmoud meningkat penjualannya. Stefanie nyaris harus berhenti menangani orderan pribadinya dan fokus dengan PO menu sehat yang beberapa hari sekali disantap Mahmoud dan disiarkan di IG TV. Albert juga mengambil video Gio dan yang lain sedang menyantap bento, atau lemon cake, tapi tak satupun dari mereka benar-benar menayangkannnya di akun pribadi. Mereka maunya dibayar endorse. Endorse apaan, followers aja seribu belum genap. Kurang ajar sekali.

Yang jelas, belum resmi dijadikan image brand saja, penjualan kami sudah melampaui target yang selama ini ditetapkan oleh Albert. Untuk semua kerja kerasnya, kami hanya membayar tambahan upah lembur Mahmoud yang nggak sebanding dengan betapa banyak penjualan yang didongkraknya. Cynthia sempat bergidik ngeri kalau-kalau kami menyalahi aturan, tapi toh Mahmoud memang tidak menandatangani kontrak apapun. Memang benar kalau dia merasa dimanfaatkan.

Mahmoud masih memasang muka serius, terutama setiap kali dia membuka satu per satu unggahan foto-fotonya. Aku duduk di atas meja di sampingnya, mengambil teh yang tadi diseduhnya dan mulai menghirup uapnya. Inilah yang kutakutkan kalau Mahmoud akhirnya melihat-lihat akun instagramnya. Selama beberapa waktu hal ini cukup menggangguku. Terakhir kali kulihat, masih banyak saja orang yang komennya sinis karena Mahmoud hanya seorang office boy. Memang banyak yang memberinya dukungan sesuai prediksi Gio, tapi efek sampingnya tak kalah banyak.

Ada yang bilang nggak seharusnya perusahaan kami mempekerjakan orang yang diperas untuk kepentingan marketing sebagai pesuruh, ada lagi yang bilang-yang lebih menyakitkan buatku-perusahaan miskin, nggak mampu hire model profesional dan memanfaatkan orang kampung yang nggak tahu apa-apa. Eksploitasi lah, sekarang orang kere juga bisa jadi model, modal tampang doang, segala macam, dan tak ada yang bisa kami lakukan untuk meredamnya.

"Nggak semuanya menyukai saya," kata Mahmoud dengan nada sendu.

"Itu nggak benar. Komentar buruk sebagian kecil dari mereka nggak berbanding lurus dengan hasilnya, Moud. Rencana kita berhasil, kamu-maksudku kita semua-berhasil mendongkrak penjualan tanpa harus memakai jasa orang lain. Jangan percaya komentar negatif di media sosial, bisa saja yang ngomong begitu diam-diam mendukungmu," kataku, mengutip persis ucapan Tamara saat aku mengkhawatirkan hal yang sama.

Namun, bahkan ketika hal itu sudah kuucapkan dengan nada lembut dan manis penuh bujuk rayu, air muka Mahmoud masih tampak keruh.

"Tampang filteran, nih, mungkin aslinya buluk. Badannya juga paling dapet dari nimba air di sumur, bukan dibentuk di gym. Mana ada pesuruh bisa bayar langganan gym mewah begitu?" Mahmoud membaca salah satu komen miring itu dengan nada sinis seolah dia sendiri yang menyusun kata-kata jahatnya.

"Sudah," kataku, berusaha merebut ponsel itu darinya, tapi Mahmoud tak mau menyerahkannya. Aku menggeser dudukku ke hadapan Mahmoud, kaki-kakiku menjepit erat pinggangnya sehingga ia tak punya ruang lagi di depannya untuk mengamati ponsel. Aku merangkul lehernya, mencium bibirnya, diam-diam mencabut ponselku dari tangannya dan menyingkirkannya jauh-jauh. Mahmoud membalas cumbuanku dengan enggan. "Moud... kamu harus fokus, dong. Kamu di sini kan bantuin perusahaan supaya lebih maju. Bully-an kayak gitu udah biasa di internet, dan nggak ada yang bisa kita lakukan untuk meredamnya selain menutup kedua telinga."

Mahmoud tak punya pilihan selain menatapku. Tanganku benar-benar menangkup kedua sisi telinganya, "Ini lah kenapa saya nggak ingin jadi model," katanya tegas. "Saya tahu sejahat apa mulut orang di dunia nyata, apalagi di dunia maya. Saya nggak didesain untuk menghadapi komentar-komentar seperti itu."

"Kamu nggak sedang jadi model, Mahmoud," aku mengelabuhinya-lagi-lagi-sesuai briefing Gio kalau-kalau suatu hari pembicaraan seperti ini tak terhindarkan. "Kamu sedang menjadi bagian dari masyarakat dewasa ini, mengunggah kehidupan sehari-harinya di media sosial. Semua orang melakukannya, bedanya... kamu bisa sekalian membantu perkembangan perusahaanku, di dalamnya ada nasib banyak orang, Mahmoud. Aku ingin kamu tahu, yang kamu lakukan ini bukan hal yang remeh, kamu bikin semua orang dapat bonus akhir tahun yang nggak bisa kuberikan secara layak tahun lalu!"

"Hanya saya saja, kan? Saya kurang yakin yang lain juga melakukannya! Akhir-akhir ini terutama, saya nggak lagi melihat Mas Albert mengarahkan kamera ke selain saya. Semua orang bekerja secara profesional, hanya saya yang tidak."

"Siapa bilang? Semua karyawan masih melakukannya, kok, mungkin kamu nggak melihat kapan Albert mengambil gambar. Tapi memang... kamu yang perkembangannya sangat pesat. Ini rejekimu, Moud...."

"Ini bukan rejeki saya, ini kepintaran Mas Albert dan Mas Gio mengisi konten instagram saya," sanggahnya lesu sambil menggoyangkan kepalanya dari rengkuhan tanganku. Mahmoud menjauh mundur, menyandarkan pinggangnya ke tepi wastafel.

Aku hanya bisa bungkam mengamatinya sebab aku tahu tak banyak yang bisa kukatakan. Aku bersamanya hampir setiap hari dan sudah cukup sering mendengar keresahan-keresahan hatinya. Dia sering memohon supaya ditunjukkan hasil-hasil fotonya, takut dia nggak cukup baik merepresentasikan image perusahaan. Dia sangat peduli pada anggapan orang, anggapan keluarganya, anggapan Adrian. Ada kalanya anggapanku saja tak cukup baginya karena toh, aku juga merahasiakan hubungan kami dari semua orang. Aku punya firasat, hal-hal seperti ini akan menciutkan nyali Mahmoud yang memang tak punya keinginan untuk dikenal banyak orang.

"Ya udah," kataku lemah. "Kamu maunya aku bagaimana? Meminta Albert berhenti mengganggumu meskipun nyatanya kehadiranmu bikin mereka punya harapan dapat bonus dari penjualan produk-produk HBM?"

Mahmoud mendecapkan lidah bosan.

"Kamu nggak mau... suatu hari... saat perusahaan sudah berkembang pesat, kamu bisa mengambil peran lebih besar bersamaku?"

Mata Mahmoud menyorotku tajam saat sebaris kalimat itu kuucapkan. Aku merentangkan tanganku, memintanya menghampiriku. Oh, Mahmoud.... Perlahan pemuda itu bergerak mengikuti perintahku. Aku memeluknya erat, mengusap punggungnya yang lebar dan kokoh. Apapun yang kuminta, Mahmoud akan memberikannya. Kami hanya perlu mengutak-atik cara penyampaiannya saja. Dia meringkuk dalam pelukanku, mengendusi lekuk leherku. Bocah besar yang malang. Jauh-jauh datang ke kota hanya untuk dimanfaatkan perempuan jahat sepertiku, dijadikan alat pencari uang, ditiduri pula, tapi tidak diizinkan mengharapkan apa-apa.

Di daun telingaku, dia membisik, "Saya menginap, atau pulang saja?"

Bibirku terlipat untuk menahan senyum puas yang bisa gawat kalau dilihat Mahmoud. Rayuanku masih manjur. "Memangnya... Adrian nggak tidur di apartemen, kok kamu berani nanya mau menginap apa pulang aja?"

Bahu Mahmoud bergerak menggantikan jawabannya.

Aku balas membisikinya, "Satu kali lagi aja, yah? Terus kamu pulang."

Mahmoud menarik wajahnya untuk mempertemukan muka kami dalam jarak dekat, "Dua kali," rengeknya.

"Ih!" aku mencubit hidung bangirnya. "Keenakan kamu, ya?"

"Memangnya ibu nggak keenakan?" dia mulai menggoda sambil memagutku pelan dan mencubit bibir bawahku dengan bibirnya. Kubalas perbuatannya dengan mengajaknya bercumbu lebih dalam. Kalau sudah begini, semua hal yang membebani pikirannya kupastikan telah terhempas jauh entah kemana. Mahmoud menyisir rambutku saat kami berhenti berciuman, merapikannya ke balik kedua daun telingaku. Dia memindai wajahku dengan sorot kagum yang tak lagi membuatku salah tingkah. Dia lantas bertanya, "Kalau saya bilang... saya mau melakukan apa saja buat ibu, apa ibu percaya?"

"Termasuk jadi model?" tanyaku cepat.

"Kecuali itu," jawabnya sambil mengadu puncak hidungku dengan hidungnya.

Mahmoud lantas merengkuh bagian belakangku dan memindahkan tubuhku dalam gendongannya. Saking seringnya kami melakukan ini, Mahmoud bisa membawaku kembali ke dalam kamar nyaris tanpa perlu membuka matanya yang memejam saat aku menekan tengkuk dan mengulum bibirnya.

Seandainya kamu tahu, Moud... kamusekarang sudah melakukan apapun yang kuminta. Kamu sudah jadi model tanpabayaran, selain memuaskan hasratku tanpa aku harus dicekam ketakutan akansakitnya pengkhianatan. Kalau kamu bilang iya, aku justru bisa membalas jasamudengan setimpal.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro