33. Bubble Beer

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Part 54-55 versi premium sudah meluncur di karyakarsa, ya...

Part 33 versi premium (dengan panjang dua kali lipat) juga ada di sana. Kalau kamu baru join dan pengin baca lengkap versi premium, juga pengin dapet pdf, tapi ribet beli satuan, beli paket aja, sejauh ini ada dua paket: part 17, 21-35 sama part 36-50 dan masih akan ada lagi. 

Premium tuh isinya beda jauh sama versi gratisan, ya, nggak cuma baca duluan. Jadi kalau kamu udah baca sampai sini, kamu tetap nggak akan rugi ngikutin di karyakarsa dari part 17.

Cerita ini eksklusif buat pembaca kesayanganku, jadi nanti pdf pun hanya akan diberikan untuk pendukung semua part atau semua paket, tidak akan dijual bebas. 

Aku memandangi slip gajiku berulang kali sambil tercenung di hadapan Bu Cynthia.

"Kenapa, Moud? Kurang?" tanya perempuan cantik tapi agak judes itu sambil memperbaiki letak kacamatanya dengan nada jenaka.

"Kalau lebih?" tanyaku.

"Biasanya kalau lebih orang nggak akan nanya," katanya, cengengesan. "Itu uang lembur pengambilan foto dan gambarmu. Sama Mas Albert dan Mbak Mina katanya disuruh masukin lemburan."

Alisku mengerut, "Semuanya juga begitu?"

"Yang lain dimasukkan bonus," sambar Mas Albert yang kubikelnya paling dekat dengan Bu Cynthia. "Kamu kan belum ada setahun kerja di sini, tapi jasamu tetap harus dibayar, jadi dimasukin lemburan. Udah, terima aja nggak usah banyak nanya. Kirim buat ibumu di kampung, dia pasti senang."

Aku menggerakkan bibir, tersenyum tipis. Gajiku dua minggu lalu kutransfer ke rekening Abhi saja dikembalikan lagi. Akhirnya aku mengirimkannya ke Ummi. Itupun dengan sedikit memaksa. Katanya kalau aku mau, mereka akan langsung menyanggupi permintaanku untuk melanjutkan kuliah, atau membuka bengkel mesin sekalian. Tinggal nanti hitung-hitungan dari uang penjualan rumah kakek. Kalau jadi terjual. Aku menolak. Uang belum di tangan, pamali kalau buru-buru dirancang-rancang, apalagi diutang dan dipakai macam-macam.

Semua impianku itu rasanya bisa kutunda sejak Bu Mina semakin sering mengajakku mampir ke apartemennya. Masih ada yang ingin kudapatkan selain materi sekarang ini, yakni beberapa waktu lebih lama bersama perempuan yang sudah kuanggap kekasihku, meski orangnya bisa-bisa saja bercumbu tanpa merasakan apa-apa. Aku agak khawatir mimpiku sekarang jadi agak ketinggian, aku ingin mempersunting Bu Mina. Ya, memang bodoh, tapi namanya juga mimpi. Kalau nggak tinggi, usahaku nggak akan maksimal.

Akhir-akhir ini, tugas-tugas tambahanku sudah tak terlalu kuanggap beban. Aku lebih memilih tidak melihat komentar-komentar buruk yang sempat kubaca karena itu bisa merusak suasana hatiku seharian. Mungkin ada baiknya aku nggak memegang akun itu sama sekali, aku kurang nyaman menghadapi sentimen publik. Lagi pula, aku nggak tambah repot. Kalau aku memegangnya, bisa-bisa waktuku habis untuk memikirkan jam tayang yang tepat buat mengunggah foto.

Hanya saja, kadang-kadang aku suka tergelitik untuk membalas beberapa komentar positif yang menyemangatiku supaya rajin bekerja. Sebagian besar dari mereka memberiku dukungan, terutama yang fotonya mbak-mbak atau ibu-ibu berhijab. Mas-mas juga ada, kebanyakan mereka memuji video-video olah ragaku dan bilang aku ini role modelnya untuk mendapatkan bentuk badan ideal. Beberapa diantaranya sampai kuingat nama akunnya karena tak pernah absen memberiku komentar baik. Malah, seorang pegawai kantoran bernama Halaone selalu memuji otot-otot perutku, katanya dia pengin sandaran di sana, padahal dia laki-laki. Aneh-aneh saja. Aku ingin membalas, aku bukan model, Mas, apalagi tempat bersandar, tapi aku nggak kunjung diberi akses untuk melakukannya.

Setelah aku menyimpan slip gaji ke saku kaus seragam dan berniat masuk pantry, Mbak Riana muncul di tengah tangga dan mengajakku masuk ke ruangan Bu Mina untuk meeting singkat dengan para chief.

Dadaku membusung setiap kali ajakan semacam itu kuterima. Rasanya menyenangkan sekali dilibatkan sebagai staf, bukan hanya keluar masuk ruangan untuk menyajikan teh, atau menanyakan mereka mau makan apa. Mungkin alasan ini pula yang membuatku nggak lagi keberatan disuruh-suruh mengerjakan hal-hal di luar job desc-ku. Semakin banyak foto dan videoku yang diunggah ke aplikasi atau akun medsos, semakin banyak aku diajak serta dalam pembicaraan-pembicaraan serius walaupun lebih sering hanya menjadi pendengar. Siapa yang tak suka perasaan dibutuhkan? Aku lebih menyukai perasaan seperti ini dibanding dijadikan model dan menjadi pusat perhatian.

Aku mengetuk pintu ruangan Bu Mina yang terbuat dari kaca. Tim produksi, teknologi dan marketing sudah berkumpul di sofa tempat Bu Mina biasa menerima tamu. Untuk menghemat listrik, mereka memang mengadakan pertemuan kecil di situ, alih-alih membuka ruang meeting dan menyalakan banyak lampu. Alisku mengerut heran saat netraku sempat menangkap tampilan layar proyektor, sepersekian detik sebelum lambaian tangan Mbak Tamara yang menyuruhku bergabung dari dalam membuyarkan ketercenunganku. Aku membuka pintu dan tersenyum canggung gara-gara apa yang kusaksikan barusan. Apa aku tidak salah lihat? Mengapa ada desain logo nama Bu Mina bersanding dengan namaku di sana? Semua orang bersikap seolah mereka tak melihat apa-apa dan kembali berdiskusi. Mas Gio sudah lebih dulu mengubah tampilan layar ke foto desain tracksuit untuk lelaki dan perempuan.

"Mahmoud, besok sebelum kamu masuk, mampir dulu ke butik Bu Erna, ya?" Bu Mina bicara padaku. Aku mengangguk tanpa berpikir. Sudah beberapa kali aku diutus mengambil pilot desain untuk berbagai produk dari rumah yang lebih mirip lokasi penjahit industri rumahan, daripada butik itu. "Kamu mau diukur supaya track suit-mu nanti pas di badan, kamu mau, kan, Moud?"

Kamu mau kan, Moud? Ahhh... Mu..., lebih cepat lagi tak apa.... Sialan, aku menggoyangkan kepala untuk mengusir rekaman desahan Bu Mina yang terpatri di otakku saat dia bertanya dengan nada sangat lembut di depan bawahannya yang lain. Mas Gio bahkan ikut menaikkan alis mendengarnya.

"Semua orang juga melakukannya," kata Mas Albert yang tahu-tahu bergabung di belakangku. "Jangan lupa kata kuncinya, Mbak Mina," imbuh cowok berbadan tinggi besar dan kuanggap paling berwibawa dibanding yang lain itu, sambil menyerobot tempat yang sedang kutuju. "Kalau sendirian, Mahmoud nggak mau, iya, kan, Moud? Ini kewajiban semua karyawan."

Mas Gio mengekeh kecil. Aku nggak tahu kenapa semua orang lantas tersenyum penuh arti sambil pura-pura sibuk pada catatannya. Mataku beralih pada Bu Mina, meminta penjelasan, dan seperti biasa, dia hanya mengangguk meyakinkanku. Kenapa dia harus bertanya aku mau atau enggak, kalau dia tahu apapun yang dikatakannya akan kulakukan? Aku duduk di kursi plastik terujung dengan perasaan gundah sambil terus berusaha mengikuti diskusi panjang lebar mengenai planning minggu depan. 

"Nah, ini jadwal kamu sampai akhir minggu ini, Moud," Mas Albert menyerahkan selembar print out berisi apa saja yang harus kulakukan untuk memenuhi konten media sosialku. Aku membacanya sekilas. Dua video resistance training, satu video meditasi (aku mengernyit), dua video mukbang menu sehat, dan beberapa foto candid sedang menggunakan produk HBM yang jelas-jelas bukan candid karena semuanya pura-pura. Setelah itu, mereka semua bubar dan aku ditinggal berduaan dengan Bu Mina karena aku harus membersihkan cangkir-cangkir dan bungkus makanan yang mereka tinggalkan sehabis rapat.

"Kamu kelihatan bingung," kata Bu Mina tanpa menatap ke arahku. Dia menyilangkan kaki, memeriksa hasil notulen Mbak Tamara di atas pangkuannya sambil memberikan coretan-coretan koreksi. Pada coretan terakhir sebelum dia melipat kertas itu, dia baru memandangiku dan bertanya, "Ada apa?"

"Apa barusan saya melihat logo nama saya ditayangkan di sana?" 

"Hanya contoh," katanya enteng.

"Apa produk tracksuit itu jadi diluncurkan?" aku mencoba menggali lebih dalam. "Apa selebgram itu sudah bisa keluar dari penjara saat tracksuit itu jadi nantinya?"

"Kamu cukup tahu banyak," kata Bu Mina.

"Saya suka menguping," kataku jujur yang membuat Bu Mina tertawa manis.

"Itu bagus," pujinya. "Itu berarti kamu peduli pada perusahaan ini. Itu yang kubutuhkan dari semua karyawanku, perasaan memiliki. Sense of belonging. Kalau seoang karyawan tak memilikinya dan kemajuan perusahaan seolah menjadi kewajiban satu-dua orang saja, kita akan kesulitan ke depannya."

Lagi-lagi jawaban diplomatis seperti itu. Kadang aku suka merasa tertekan dengan kalimat-kalimat seperti itu. Aku karyawan, aku dituntut untuk ikut memikirkan perusahaan. Logikanya, kalau perusahaan nggak kupikirkan dan aku hanya peduli mereka bisa menggajiku atau tidak, lalu siapa yang akan peduli pada kemajuan perusahaan? Padahal tanpa kemajuan, bagaimana perusahaan akan membayar karyawan? Ujungnya, aku membuat video dengan lebih bersemangat meski tak pernah kulihat karyawan lain melakukan hal yang sama denganku.

"Oh iya, kamu habis gajian, kan, Mu?" Bu Mina bertanya sambil beranjak, lalu meluruskan rok ketat selutut yang membungkus erat pinggang dan pahanya. Aku langsung lupa pada pertanyaanku mengenai tracksuit sewaktu dia menekan dadanya sekilas, kemudian mengurut perut pipihnya untuk merapikan blus biru kecil yang ia kenakan.

Aku berdeham, "Ya—ya, jumlahnya agak terlalu besar saya rasa. Tapi Bu Cynthia bilang, kalau kelebihan biasanya karyawan nggak pernah nanya."

Bu Mina tertawa renyah sambil memasukkan kaki-kakinya ke dalam sepatu berhak tinggi, lalu meninggalkan sofa dan duduk di balik meja kerjanya. Aku menyusul membawakan sleepers yang tadi dipakainya selama menanggalkan sepatu resmi, membungkuk di dekat kakinya untuk menyimpan benda itu kembali ke tempatnya semula. Sewaktu seluruh tubuhku masih tersembunyi di balik meja, Bu Mina mengelus rambutku seperti seorang penyayang hewan yang membelai kucing peliharaan mereka. "Ayo kita rayakan," bisiknya mesra.

Senyum Bu Mina terbit samar, nyaris tak kentara. Dia menatapku dengan ekspresi yang sulit kuartikan. Bola matanya membesar, tapi mimik wajahnya ditekan agar tetap datar. Manik mataku pada manik matanya, mencoba mengira-ngira apa yang sedang dipikirkannya. Mungkin dia sedang kesal di dalam hatinya gara-gara aku mengungkit-ungkit kontribusiku lagi. Lagi-lagi masalah itu, dia pasti sedang berkata begitu di dalam hatinya, atau oke, Mahmoud... apa lagi yang kamu mau sebenarnya? Pindah ke apartemenku sekalian? Atau mengenalkanku pada ibumu di kampung?

Tidak, aku hanya mau kejelasan. Aku ini dijadikan apa?

Kenapa judul part-nya Bubble Beer? Yah... kalau dari versi wattpad emang sering banyak pertanyaan wkwk....

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro