34. Watermelon Sugar

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Ampe mau lupa ngepost Mahmoud di wattpad 🤣

Habisan pada baca di sana, di sini sepi.

Kalau banyak hal yang bikin bertanya-tanya di sini, kok berasa ngelompat, ya emang ini cuma draft awal. Jadi berantakan. Draft beresnya di Karyakarsa. Kenapa kok judulnya Watermelon sugar, padahal isinya biasa aja, ya soalnya biasanya baru akan paham kalau baca versi premiumnya.

Di karyakarsa udah sampai part 56-57, ya... aku lagi ada GA juga di part ini. Ikutan, yuk!

"Mbak Mina, mau balik sekalian, nggak? Aku bantu kunciin pintu," Gio membuka pintu kantorku tanpa mengetuknya.

Aku melirik arloji di pergelangan tangan kiriku. Sudah hampir pukul delapan malam, Mahmoud kusuruh pulang sebelum petang. Kami orang terakhir yang bertahan di kantor. Aku melongok dari balik layar monitor berniat menolak tawaran bantuan Gio, tapi dia belum selesai bicara.

"Soal password itu, kasihin aja nggak apa-apa. Daripada Mahmoud mikir macam-macam, malah jadi runyam urusannya. Kita memang udah saatnya fokus, nggak main kucing-kucingan lagi. Kalau memang Mbak udah yakin kita siap collab sama Mahmoud, kan harus ada kontrak yang jelas. Kalau dia menolak, apa boleh buat? Kita harus nyari orang lain. Tapi aku yakin Mahmoud nggak akan keberatan tetap bantuin kita, for the sake of being a good employee, buat dia kan yang penting bukan model sebutannya."

"Okay, nanti kukasih ke dia kalau dia nanya lagi. Anyway nggak usah dibantuin kunci pintu, nanti biar Ujang aja. Ada yang mau dikasihin Papi ke aku malam ini, take care di jalan, ya? See you tomorrow."

"See you!"

Gio lantas menutup pintuku kembali, beberapa saat kemudian lampu di ruang kerja karyawan dipadamkannya. Aku menutup jendela-jendela di layar dan memulai proses mematikan komputer. Begitu kudengar suara motor Gio menderu dan menghilang, aku beranjak meninggalkan kursi kerja dan kuraih tas tangan bersamaku ke toilet di dalam ruangan pribadiku. Di depan cermin, aku memperbaiki riasan wajah, memulas bibirku dengan pemulas dan kutekan-tekan pipiku lembut dengan perona. Sesudah merasa rambutku jatuh lebih rapi di kedua sisi bahu, aku keluar lagi.

Langkahku tertahan di ambang pintu rest room saat kulihat siapa yang berdiri menyambut sejajar denganku di pintu yang lain. Walaupun jarak kami berjauh-jauhan, tapi mata kami bertaut begitu cepat tanpa perlu saling menemukan. Mahmoud tak lagi mengalihkan pandangan dariku atau malu-malu, dia semakin terang-terangan menunjukkan perasaannya lewat tatapan mata jika kami berduaan dan akhir-akhir ini jantungku berdenyut meresahkan setiap kali lelaki itu menatapku dengan kedipan lambat khasnya yang penuh pemujaan atasku. Bibirku tak kuasa menahan senyum, aku yakin ini bukan kupu-kupu pertama yang menggelitiki perutku sejak aku mengenal Sigit Handam Almahmoudi. Entah sejak kapan dia muncul, tapi aku berusaha menahannya supaya tidak beranak pinak. It's not the right time to fall in love, Mina. He's just a boy who fall in love with you madly, menyambut perasaan pemuda hijau dengan cinta membara sama riskannya dengan mencintai seorang pria dewasa yang tak menginginkanmu.

Mahmoud meletakkan jaket bekendaranya di atas sofa terdekat tanpa menggunting tatapannya dariku, aku menutup pintu di balik punggungku. Masih tak ada kata yang kami tukar, entah mengapa hal seperti ini seakan jadi ritual pertemuan kami. Mahmoud memang selalu begitu, dia lebih suka meyakinkanku bahwa ia mengagumiku dengan tatapannya. Dia seakan tahu jika ia mengucapkannya, aku akan ketakutan dan menjauh. Bisakah aku menjauhi Mahmoud?

Dia begitu menawan. Garis wajahnya sempurna. Hidungnya, matanya, kulitnya, bahkan rambut tebalnya yang dipotong pendek dan disisir ke atas seakan tak bercacat. Aku sangat menyukai bibir tipisnya yang sering ragu-ragu tersenyum, padahal jika ia benar-benar tersenyum, lesung pipi samar-samar itu selalu berhasil meningkatkan level ketampanannya berkali-kali lipat. Aku sering diam-diam memperhatikannya tertawa lepas saat berbincang dengan Albert atau Gio, tawa yang kunanti-nantikan saat ia sedang bersamaku.

Malam ini, dia mengenakan kemeja putih yang demikian pas membalut dada bidangnya yang tegap dan gagah. Celana jins biru tuanya dilipat rapi di ujung kaki dan kulihat dia mengenakan sepatu yang sepertinya baru. Astaga, memang baru. Kemeja dan celananya juga terlihat kelewat bersih, aku yakin dia belum mengusir bau toko dari busananya malam itu.

"Kamu habis belanja?" tanyaku tak tahan sambil berjalan pelan menghampirinya. Aku memaksanya mentraktirku makan malam dengan jumlah gajinya yang lumayan besar, padahal sebenarnya aku hanya cari-cari alasan untuk keluar dengannya malam ini. Tentu saja tujuan awalnya adalah mengusir keresahan Mahmoud mengenai akun instagram yang tak kunjung bisa diaksesnya sendiri, tapi selebihnya siapa yang tahu? Aku habis libur seminggu dan selama itu aku tidak mengundangnya ke apartemenku. Aku ingin bercinta.

Mahmoud menggaruk bagian belakang rambutnya yang tersisir rapi sambil meringis.

"Buat jalan sama aku?" tanyaku lagi.

Dia mengangguk, "Tapi ini hanya baju biasa yang saya beli di toko dekat gedung apartemen Adrian, saya merasa nggak punya baju yang layak buat ngajak Bu Mina jalan-jalan. Saya belum mencucinya, hanya menghaluskannya saja, apa ini berlebihan? Apa malah terlihat mencolok? Ngomong-ngomong... saya nggak tahu harus membawa Bu Mina makan malam di mana," katanya panjang lebar, gelisah, dan menggemaskan.

"Coba berputar," pintaku usil saat jarakku dengannya hanya tinggal dua langkah.

Mahmoud mengernyit.

Aku mengangguk menjawab keraguannya, kubuat isyarat memutar dengan jari telunjukku supaya ia mengikutinya.

"Saya merasa Bu Mina seperti Mbak Tamara setiap habis menyuruh saya ganti baju," gerutunya, tapi dia benar-benar mengerjakan perintahku. Mahmpud berputar pelan searah jarum jam, kemudian merentangkan rendah kedua lengannya seolah sedang mempresentasikan dirinya di hadapanku. "Bagaimana?"

Kepalaku mengangguk-angguk seperti akan bilang lumayan, lalu tertawa kecil, "Nggak, deng. Bagus banget, kok, Mahmoud. Yah... harus kubilang kamu main aman, tapi memang itu sesuai sama karaktermu. Sederhana. Kadang, yang sederhana-sederhana kayak kamu yang bikin orang penasaran. Nilaimu 9 dari 10."

Mahmoud pura-pura kaget, "Tinggi sekali, tapi apa yang bikin saya nggak dapat nilai sempurna?"

"Hmmm," aku mengusap daguku dengan jari telunjuk, membuat-buat mimik berpikir sambil diam-diam merapat padanya. Mahmoud menanti, bibirnya tergigit manis menahan senyum. Sewaktu kami berdiri lekat, dadaku nyaris menyentuh dadanya, Mahmoud meneguk ludah. Aku mengusap di sekitar tulang selangkanya dengan berani, mencengkeram kerah kemejanya erat hingga leher Mahmoud terentak maju. Bibirnya terpisah sangat tipis dari bibirku, kemudian kulepaskan kerahnya lagi sebelum bersentuhan, membuat Mahmoud penasaran. "Aku tahu kenapa."

"Kenapa?" tanya Mahmoud dengan rahang mengetat. Aku tahu dia tidak benar-benar peduli dengan jawabanku.

"Karena... kesempurnaan hanya milik Tuhan!" candaku sambil berkelit menjauh karena kutahu Mahmoud sudah sangat nyaris menyentuh pinggangku. Aku tahu itu sia-sia dan sejujurnya aku sudah memperhitungkannya. Aku hanya sengaja menggodanya sehingga ketika Mahmoud merengkuh pinggulku dan menarik tubuhku rapat kepadanya, aku mencengkeram kedua bahunya erat dan menyatukan bibir kami dalam ciuman.

Mahmoud mengusap punggungku, mendekap erat pinggangku. Aku menekuk lenganku menahan dadanya yang merangsek dengan bernafsu sambil memimpinnya bercumbu. Pagutan bibir Mahmoud terasa lebih tegas dan menggelegak, sepertinya diam-diam dia juga merindukan bersentuhan denganku. Saat kutahan dadanya lebih kuat dan kupisahkan bibirku darinya, Mahmoud masih berusaha maju lagi, tapi kemudian berhenti saat mataku menyorot tajam tepat ke manik matanya. Konsensual, Mahmoud, ucap tatapan mataku. Dia mulai mengerti batas-batas konsensual itu. Hanya karena aku mengawali ciuman, bukan berarti aku mau meneruskannya meski dia kesulitan menahan birahi. Pelukan Mahmoud melonggar.

"Ada yang harus kusampaikan," kataku setelah melipat bibir dan mengatupkannya rapat untuk mengeringkannya dari saliva kami yang tertukar. Sumpah mati, aku juga masih ingin bercumbu lagi, tapi kurasa kadang-kadang Mahmoud perlu dibikin lebih penasaran. "Gio bilang, aku boleh memberitahu kata kunci media sosialmu."

"Kenapa?"

Aku menarik dagu saat meraba kekecewaan Mahmoud pada caranya bertanya kenapa, "Bukannya kamu ingin bisa mengaksesnya?"

"Iya," ucap Mahmoud seperti diingatkan. "Maksud saya... kenapa tiba-tiba boleh? Apa Mas Gio tidak akan lagi mengatur konten-kontennya?"

"Tentu masih," jawabku. "Kecuali kamu keberatan, tentu saja."

Kerutan di antara alis Mahmoud terlukis dalam, "Apa karyawan lain-"

Aku memotongnya kesal, "Kenapa sih kamu selalu nanyain apa karyawan lain begini dan begitu? Memangnya kalau aku memintamu lebih banyak membantuku, kamu nggak mau? Kalau ternyata aku memang butuh kesediaanmu lebih besar dari yang lain, kamu akan menolak?"

Seperti kata Gio, kami tidak bisa main kucing-kucingan lagi. Aku harus lebih tegas memberitahu Mahmoud apa yang kuinginkan darinya sebab kalau kami sudah siap berkolaborasi dengan melibatkan image dan namanya, hal itu tak bisa dilakukan dengan kedok karyawan lain juga melakukannya. Karyawan lain memang tidak bisa, hanya Mahmoud yang bisa.

"Saya cuma-"

"Kalau aku beginian sama kamu, jangan-jangan diam-diam kamu juga nanya, apa karyawan lain juga begini sama aku?" tembakku saat Mahmoud gelagapan. Aku melepaskan diri darinya dengan mudah gara-gara pertanyaanku selanjutnya bikin Mahmoud tersentak hebat. Kubiarkan dia terus berdiri mematung saat aku duduk di ujung sofa panjang sambil melipat lengan. Memasang muka suntuk untuk mengganggu pikirannya.

Mahmoud melesat ke sisiku dan duduk, "Tentu saja saya tidak pernah berpikir begitu. Kalau pernah, saya pasti sudah menanyakannya."

Aku berpaling, membuang mukaku jauh-jauh.

"Maaf, saya merepotkan," katanya, yang langsung bikin aku menoleh kembali padanya. "Padahal saya membantu seperti yang lain, tapi hanya saya yang banyak tanya sampai ibu harus berkata begitu. Tentunya, semua orang memberikan kontribusi yang berbeda-beda untuk kantor ini. Saya hanya... sejujurnya... saya bertanya-tanya... saya ini sedang apa di sini."

"Kamu sedang membantuku membangun perusahaan ini," kataku, dengan cepat mengurai lipatan lenganku dan menggenggam erat kedua tangannya. Aku mengubah posisi dudukku miring di atas sofa supaya kami bisa berhadapan. "Tapi kamu benar... kadang porsi dan bentuk bantuan karyawan berbeda-beda, Moud... dan kadang aku capek kamu terus menanyakan hal yang sama. Kamu dengar tadi siang, kan? Pertanyaanmu sudah mulai jadi bahan becandaan di depan staf lain. Harusnya kamu nggak perlu nanya, tentu saja karyawan lain juga berkontribusi, tapi... nggak semua kontribusinya sama."

Mahmoud mematahkan lehernya ke bawah, kepalanya menunduk. Aku harus menegakkannya kembali dengan menangkup erat kedua sisi rahang perseginya yang kokoh. "Moud...," panggilku lembut. "Kamu mau bantu aku, kan?"

Bola mata Mahmoud bergerak-gerak membalas tatapanku yang mencoba menyelami ke dalam hatinya, mempermainkan perasaannya yang sudah lama berlutut di kakiku. Aku menginginkan lebih, Mahmoud, bisik hatiku yang sepertinya tersampaikan saat kulihat Mahmoud menghela napas panjang. Kedua kelopak matanya menutup dan sewaktu membuka kembali, alisnya melengkung mengikuti, "Apapun," katanya. "Apapun akan saya lakukan."

Aku tergemap mendengarnya. Tak mengharapkan jawaban sebulat itu, apalagi diucapkan dengan nada kecewa yang sangat kentara. Sejenak tadi, Mahmoud mungkin tengah menyadari dirinya sedang dijebak, tapi sudah tak bisa ke mana-mana. Aku menggoyang lengannya manja sebelum Mahmoud tenggelam dalam pikiran yang bukan-bukan. Orang sepolos dia mungkin saja merasa sedang disuruh mengkhianati hati nurani kalau diminta melakukan pekerjaan yang tak disukainya. Sungguh merepotkan, memang, tapi mau bagaimana lagi?

"Kamu kok ngomongnya kayak lagi disuruh bunuh orang aja, Moud!" kataku jenaka sambil mengelus pelan pipinya. Mahmoud tersenyum kecut, tapi matanya membelalak saat aku mengecup pipinya seolah itu kecupan pertamaku kepadanya. "Apa, sih?" tanyaku geli. "Kayak nggak pernah dicium saja sebelumnya."

Aku menaikkan kedua kakiku sambil berpegangan pada bahu Mahmoud, berlutut di hadapannya. Napas Mahmoud masih tertahan saat aku menggunakan berat badanku untuk mendorong tubuhnya hingga punggungnya terbaring datar di permukaan sofa. Aku duduk tegap menjulang di atas pinggang Mahmoud sambil melepaskan butir-butir kancing kemejaku dan menanggalkannya. Mahmoud meremas pinggulku saat tubuh bagian atasku roboh menindihnya. Bibirnya membuat celah kecil yang menunjukkan gelap rongga mulutnya sebelum kubungkam kembali dengan bibirku dan kupagut lembut sampai aku mendapatkan balasan.

Baca adegan yang terpotong ini di Special part 35 di Karyakarsa.

Yang wattpad part 35 besok versi syariah aja, yah. Kalau mau yang bikin deg2an, silakan dukung di karyakarsa. Jadi adek2 di bawah umur yg nggak punya uang tetap aman.
Hahaha...

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro