35. Kiwi

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Udah tau ada part special lagi, kan, di karyakarsa?
Part 58 Special Part di Karyakarsa sama kayak part 35 ini, ya. Yang kamu baca ini versi pendek dan minus adegan dewasa. Adegan di part special sama sekali nggak ada di wattpad, selain bagian2 lain lebih panjang dan detail seperti extended part lainnya.
Kalau suka cerita ini, ikutin versi premiumnya di karyakarsa. Buat pendukung lengkap akan dapat pdf yang nggak akan kujual bebas di manapun.


PArt 58, sama dengan part 35 di karyakarsa berisi mature content. Harap kamu udah 18 tahun kalau mau membacanya.

TAMBAHAN INFO PER AGUSTUS 2022 TENTANG DUKUNGAN DI KARYAKARSA

Buat kamu yang belum tahu, sekarang dukung karya di karyakarsa kalau lewat aplikasi, harus top up saldo koin dulu. Koinnya juga cukup mahal.

SOLUSINYA:

1. Buka akun karyakarsaku lewat web (Browser, kayak google chrome, atau browser yang ada di Hp atau laptopmu.) Link Karyakarsaku ada bio wattpad/ instagram.

2. Lakukan dukungan via web saja. Setelah dukungan kamu lakukan, baru baca di aplikasi (atau langsung di web juga nggak apa-apa)

3. KENAPA?

Sebab, di web kamu masih bisa mendukung per part dengan Rupiah menggunakan e-wallet (Shopeepay, DANA, OVO, transfer bank, dsb) seperti biasa.

Di WEB kamu juga bisa TOP UP saldo koin dengan harga jauh lebih murah dan sesuai konversi 1 koin=100 rupiah

Jadi di aplikasi, kamu kalau beli 200 koin (Senilai 20ribu rupiah) itu seharga 29ribu rupiah. Di web, harganya tetap 20ribu rupiah.

Jadi saranku, supaya kamu tetap bisa akses karyaku dengan mendukung sesuai harga yang kuberikan, dukunglah via web saja. Atau kamu bisa beli koin di web, lalu koin itu bisa dipake beli via aplikasi, dan kamu bisa baca di aplikasi.

Terima kasih,

Kin

Mataku mencelang menatap langit-langit yang lampunya menyala terang benderang. Tanganku menopang kepala di sandaran kursi sementara yang lainnya membelai bahu telanjang Bu Mina yang terlelap letih di dadaku. Rasanya ini kali pertama kami bermain cinta tanpa memadamkan lampu. Aku bisa melihat semuanya dengan sangat jelas. Lekuk-lekuk tubuhnya, mulus kulitnya, selulit-selulit tipis di sekitar paha dan pinggul yang membuatku tersadar bahwa ini bukan mimpi dan dia bukan bidadari yang rutin menyinggahi alam bawah sadarku.

Bu Mina melenguh saat aku melamun. Mataku memejam secara refleks, pura-pura tidur. Seperi dugaanku, dia menarik diri tanpa berpikir dua kali. Perlahan sekali ia duduk. Dari kelopak mataku yang mengintip, kulihat ia meraup mukanya dengan kedua tangan, lalu menyibak rambut panjang indahnya ke belakang. Hela napas beratnya membuat dadaku seperti terhimpit. Apa yang dipikirkannya dalam beberapa detik sebelum ia memunguti busana dan membawanya berjingkat ke toilet di balik meja kerjanya?

"Kamu sudah bangun?" tanyanya dalam keadaan sudah berpakaian kembali. Bu Mina menutup pintu di balik punggungnya, menyisir rambutnya yang sudah rapi dengan jari. Senyumnya terbit canggung, persis seperti malam-malam sebelumnya. Tak ada yang berubah. Ikrarku tak mengubah perlakuannya terhadapku. Baginya, aku hanya bawahan yang diajaknya tidur dan ia selalu merasa malu pada dirinya sendiri karena sudah melakukannya.

"Ibu nggak berniat membangunkan saya?" tanyaku sambil berdiri mengaitkan kancing celanaku. Aku tadi telanjang bulat, di mana aku menaruh mukaku kalau tahu-tahu dia sudah berpakaian dan baru membangunkanku? Kupungut kemejaku yang terlempar di sudut meja dan mengenakannya. "Kita jadi makan malam?"

Bu Mina melihat arlojinya. "Aku jadi punya alasan buat ngajak kamu makan malam lain waktu."

Dia selalu menemukan kata-kata yang pas untuk berkelit, tapi kali ini aku harus setuju. Sudah hampir tengah malam, ke mana aku mau mengajaknya makan malam? Tukang nasi goreng pinggir jalan?

"Tapi aku lapar," katanya, mengelus perutnya yang pipih dan kencang. "Kamu ada ide? Nasi goreng di ujung jalan itu kelihatannya buka sampai jam dua pagi. Uangmu masih cukup, kan, untuk dua piring nasi goreng? Nggak kamu habiskan buat bajumu yang dipakai cuman sebentar itu?"

"Masih," aku mengulum senyum sambil mengaitkan butir kancing terakhir di dekat pinggangku. "Di situ kurang bersih, minyaknya juga biasanya banyak sekali. Pakai jerohan sapi, atau kulit ayam, lho. Bu Mina mau diajak makan di situ?"

"Mau," jawabnya cepat sambil meraih tas tangannya di meja. "Nggak apa-apa, kok, sekali-sekali makan nggak sehat sedikit. Yuk?"

Aku membukakan pintu untuk Bu Mina dan membiarkannya keluar lebih dulu sementara aku memadamkan semua lampu. Sofa panjang saksi biksu itu seakan melambai kepadaku sewaktu aku memandanginya untuk terakhir kali sebelum segalanya gelap gulita. Mas Gio biasa duduk di sebelah situ setiap briefing pagi. Tepat di mana aku meletakkan bokong telanjangku saat Bu Mina menindih pinggangku. Aku menahan senyum geli membayangkan reaksinya seandainya ia tahu

"Sepiring nasi goreng tidak akan membuat kita gendut, Mahmoud!" katanya sambil tergelak saat aku memastikan sekali lagi sebelum mesin motorku mati.

Bu Mina memesan dua piring nasi goreng ayam. Aku memarkirkan motor. Sepiring nasi goreng memang nggak akan membuatnya gemuk, lagipula, dia habis olah raga berat. Orang bilang, perempuan membakar setidaknya 69 kalori dalam satu sesi bercinta selama 25 menit. Aku jelas butuh kalori lebih banyak untuk menuntaskan satu sesi, dia mungkin memang butuh sedikit asupan untuk mengganti energinya yang terkuras.

Kekhawatiranku agak berkurang saat kulihat Bu Mina menghabiskan setengah porsi nasinya dengan lahap. Dia tidak mengizinkanku menuntaskan bagiannya karena itu bakal abs-ku kendur. Aku hanya nggak suka buang-buang makanan, tapi lebih nggak suka lagi berdebat dengan perempuan yang kusukai. Kami sedang asyik membandingkan nasi goreng pinggir jalan itu dengan nasi goreng restoran sewaktu ponsel di sakuku bergetar.

"Adrian," kataku tanpa ditanya. Kubaca sekilas pesannya. "Dia nanya, kenapa saya belum pulang jam segini."

"Dia sudah pulang jam segini?" tanyanya. "Pekerjaannya itu bagaimana?"

Aku menggerakkan bahu sambil menyendok nasi, "Adrian tidak pernah cerita?"-Bu Mina menggeleng-"Ke saya juga tidak."

"Kalau gitu kamu langsung pulang saja, Moud. Biar aku naik taksi."

"Jangan," kataku.

"Nanti dia curiga."

"Memangnya dia akan curiga seperti apa? Saya keluar dengan Bu Mina, begitu? Adrian, atau siapapun, nggak akan punya pikiran seperti itu. Mana mungkin ibu mau jalan-jalan sampai larut malam dengan saya."

Bu Mina menatapku dengan sorot mata aneh seolah-olah tunas kelapa tumbuh di batok kepalaku. "Siapa yang nggak mau jalan sama kamu, Moud?" tanyanya sambil mencubit gemas pipiku yang menggembung dipenuhi kunyahan nasi goreng. Aku mengelak pura-pura, dalam hati aku berharap dia sering-sering melakukannya. Tak perlu saat ada orang lain, hanya saat berduaan denganku.

"Kalau saya model seperti Adrian, mungkin," selorohku sambil tertawa kecil.

Bu Mina tidak menganggap ucapanku lucu. Dia menyentuh gelas teh tawarnya dengan gerakan lambat, menggosoknya untuk mendapatkan kehangatan dari air teh itu, lalu meminumnya sedikit tanpa sedotan. "Ya udah...," katanya saat bibirnya terpisah dari bibir gelas. "Sekalian aja kamu jadi model buat HBM."

"Supaya apa?" tanyaku sambil mempertemukan mataku dengan matanya. "Supaya Adrian curiga?"

"Masih mau bawa-bawa Adrian lagi?" tantangnya.

"Oh iya, ampun," candaku, lalu kami berdua tertawa.

Bu Mina hampir tertidur di bahuku, aku mengemudi dengan santai, menikmati pelukan eratnya di pinggangku. Perempuan itu menyuruhku berhenti depan lobi apartemennya sewaktu aku berniat terus maju ke arah parkiran. "Saya antar sampai dalam," kataku agak memaksa seraya menerima uluran helm-nya.

"Nggak usah. Udah malam, nanti kamu makin susah nyari-nyari alasan kalau Adrian nanya."

Aku memberanikan diri mencekal lengannya, entah benar-benar khawatir, atau hanya nggak ingin buru-buru berpisah. Bu Mina melihat ke bawah, ke arah tanganku di lengannya. Sebelum aku menyadarinya, dia merapat kepadaku dan melekatkan bibir merahnya ke bibirku. Aku tak sempat membalas kuluman lembutnya pada bibir bawahku, tahu-tahu dia sudah melangkah mundur dan melambai.

Aku hanya bisa terpaku di atas motor menyaksikannya berlari kecil menaiki anak tangga dan menghilang di balik pintu kaca. Sama sekali tidak menoleh seperti cewek-cewek dalam film romantis yang mulai jatuh cinta. Tentu saja dia nggak jatuh cinta. Kalaupun dia jatuh cinta, mungkin pada staminaku yang makin hebat sejak Mas Albert terus menyuruhku menghabiskan setidaknya satu jam di ruang gym. Satu jam! Setelahnya, aku masih harus mencuci piring, mengepel lantai, dan menggosok keramik kamar mandi.

Kulajukan motorku pelan, tak kuhiraukan Adrian yang terus menerus melakukan panggilan. Anak itu kalau nggak sedang sibuk, resehnya melebihi pacar saja.

"Jam berapa, nih, kamu baru pulang, Mu? Dikerjain kamu sama anak-anaknya Mina? Mau ada event atau bagaimana mereka?"

"Iya," jawabku sekenanya.

"Jangan mau kalau nggak dibayar," katanya lagi sambil meninggalkan dapur dengan segelas minuman berwarna keemasan dan beberapa bongkah es batu. Kudekati, dia langsung menyerocos, "Sampai sekarang aku belum dikasih kerjaan. Duitnya sih udah dibayarin sebagian, jumlahnya banyak, tapi katanya mereka belum mau jalan kalau aku sendirian."

"Yang penting kan dibayar," komentarku.

"Yang penting, yang penting apanya? Ini sih namanya mengikat sebelah kakiku supaya nggak bisa ke mana-mana. Kalau urusan sama mereka belum selesai, mereka nggak ngasih aku ambil job apapun supaya image mereka nggak terganggu. Makanya mereka berani ngasih bayaran tinggi, tapi kalau nggak jelas... berapa banyak kesempatan yang terpaksa kulewatkan, kan? Tadinya kupikir ini bakal menguntungkan, paling-paling aku kerja maksimal sebulan untuk setahun ke depan. Sisanya aku bisa nyari kerjaan lain untuk tayang setelah kontrak setahunku dengan mereka habis. Tahun depan, aku sudah leha-leha menikmati hasil kerjaku-"

"Memangnya mereka nungguin apa, toh?" tanyaku nggak sabar, badanku sudah pegal-pegal semua minta diistirahatkan. Tadi sih nggak kerasa waktu berduaan sama perempuan cantik, tapi begitu ngeliat muka kusut Adrian, kantukku langsung menyerang. Aku bersandar di sofa, menguap lebar.

"Kamu dari mana, sih?" Adrian tahu-tahu bertanya.

Leherku yang tertopang empuknya bantalan sofa menoleh, "Kerja."

"Kerja apa sampai jam segini?" Adrian mengamatiku dari ujung rambut sampai ujung kaki. "Itu baju dan celanaku, bukan?" tuduhnya.

"Bukan!"

"Kamu belanja?"

"Iya."

"Gajian berapa kamu sama Mina bisa beli pakaian gaji pertama begini?" desaknya curiga.

"Ada lah, lumayan, kok. Aku bantu-bantu proyek lain juga sama Mas Albert dan Mas Gio," terangku sekenanya. "Lagipula, ini bukan gaji pertama, ini gaji kedua. Aku kan gajian dua minggu sekali, namanya juga buruh rendahan. Aku butuh baju baru untuk...."

"Untuk apa?" Adrian menyerobot tepat saat kalimatku berhenti, aku sendiri bingung, aku butuh baju untuk apa, coba? "Nyari kerjaan baru?"

"Iya!" Kutunjuk muka Adrian untuk meyakinkan betapa tepat sekali tebakannya.

"Yah... sebenarnya... aku memang mau ngomongin itu juga, Mu. Aku sebenarnya nggak enak mau ngomong gini ke kamu, tapi... gini... nanti kalau kamu kekurangan uang, pasti kubantu. Aku tahu nyari tempat tinggal di Jakarta dengan gaji sekecil itu bakal susah, but don't worry... aku nggak mungkin diam aja. Aku pasti bantuin!"

"Maksudmu gimana, ya, Dri? Kamu mau nyuruh aku pergi dari sini?"

"Bukan nyuruh kamu pergi...," Adrian mendesah, menggigiti bibirnya resah. "Seperti yang kubilang, aku dapat bayaran tinggi dari pekerjaan baruku. Aku butuh tempat tinggal yang lebih baik, kebetulan sewa apartemen ini habis bulan depan, jadi aku sekalian nyari apartemen di pusat kota. Masalahnya... hmmm... aku kan masih meniti karir... aku nggak boleh membuat rumor sekecil apapun. Tinggal dengan lelaki di apartemen dalam dunia model, sma riskannya dengan tinggal bersama perempuan, Mu...."

Singkatnya, kalau aku nggak segera menemukan tempat tinggal di Jakarta yang padat, aku akan jadi gelandangan bulan depan.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro