36. Cherimoya

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Trapping Mr. Mahmoud versi premium sudah ada part 59-60

dan 61-62, ya

Part 59 berisi part mature kayak part 58, tapi nilai dukungannya reguler.

Buat kamu yang suka cerita ini, pasti nggak akan nyesel baca versi premium di Karyakarsa. Isinya nggak baca duluan doang, tapi jauh lebih panjang, detail, dan enak dibaca. Adegan2nya nggak terpotong-potong.

Buat yang dukung semua part akan dapat pdf premium lengkap yang nggak akan kujual di manapun.


"Nah, kan, cuma gimmick doang!"

Aku yang sedang menekuri beberapa desain logo tracksuit kolaborasi dengan Mr. Mahmoud tersentak kaget melihat papi memasuki kantorku sambil geleng-geleng kepala. Kedua tangannya disimpan di saku celana, dagunya menunjuk ke arah luar. Aku mendorong mundur kursiku, menghampiri kaca jendela yang memberiku pemandangan kubikel-kubikel karyawan dari atas. Mahmoud tengah asyik membagi cangkir-cangkir minuman ke kubikel karyawan.

"Kamu pacaran sama office boy?" tuduhnya tanpa basa-basi. "Edan kamu, Min!"

"Enggak!" sangalku tegas.

"Mamimu dulu juga bilang enggak ke kakekmu waktu dituduh pacaran sama papi. Papi sarjana, lho, karyawan biasa, sih, tapi lulus D3. Itu aja kakekmu bencinya bukan main. Semua cara dilakukan buat misahin kami berdua. Jadi Papi mesti ngebalik meja, nih, kalau kamu pacaran sama office boy?" repetnya sembarangan.

"Ah, Papi, nih!" kataku sambil mengibaskan tanganku dengan santai dan kembali duduk di singasanaku. Aku nggak mau papi menangkap kerisauanku. Toh, sebelumnya dia udah bilang itu gimmick. Nggak susah buat pelaku bisnis kayak papi untuk memahami apa yang terjadi."Papi ngapain ke sini?"

"Mau ngecek, bener, nggak si anak yang papi lihat di akun gosip itu pesuruh di kantormu kayak narasi di akun instagramnya," katanya, kemudian menarik kursi di seberangku dan duduk. "Itu gantinya Dian Rai?"

"Iya," jawabku sambil lalu.

"Apa rencana kalian sama dia?"

"Anaknya nggak mau dijadiin model, kekeuh banget nggak maunya. Akhirnya Gio bikin skenario begituan buat menarik perhatian netizen. Kita bikin seolah-olah semua karyawan wajib menggunakan instagram pribadi buat ikutan mempromosikan produk perusahaan, jadi dia nggak punya alasan buat nolak—"

Papi memotong, "Jadi semua foto dan video promosi di instagram-nya itu gratisan?!"

"Nggak gratisan, sih, aku kasih dia uang tambahan, kok," kataku gelisah sambil memainkan tetikus yang akhirnya kudorong lepas karena nggak tahan. "Habis gimana... Dian Rai masuk penjara, kami nggak punya cukup uang untuk obral endorse ke artis atau selebram. Selama ini udah dilakukan juga hasilnya gitu-gitu aja. Sama Mahmpud ini orang-orang pada cocok. Mulai dari remaja perempuan, ibu-ibu, bahkan penggila fitness yang biasa memuja Dian Rai menyukai Mahmoud. Realita hidup yang berbanding terbalik dengan ke-good-lookingannya bikin orang ramai-ramai mendukungnya. Kami untung gede dari dia, papi udah periksa laporan keuangannya dari Cynthia, kan?"

"Ya itu memang salah satu alasan papi ke sini," tuturnya sambil melepaskan kacamatanya sejenak, kemudian memasangnya lagi. "Aku cari-cari, nggak ada kontrak atau invoice ke selebgram satu ini. Nggak bahaya kamu manfaatin orang begitu? Bisa gawat, lho, kalau dia buka mulut."

"Nggak akan, kok," kataku lemah.

Papi mengerutkan alis di tengah, "Kok bisa nggak akan?" tanyanya curiga.

"Ya soalnya dia nggak ngerti apa-apa."

"Justru itu! Lebih bahaya lagi kalau dia ember kemana-mana karena nggak tahu apa-apa. Kecuali... kamu ngasih dia alasan buat tutup mulut."

Mataku seketika mencelang menatap Papi yang terus menyipitkan mata penuh tanda tanya. Reaksiku yang tiba-tiba membuat tatapan papi berubah, aku langsung tahu dia sudah menyimpulkan sesuatu di kepalanya. Dia hanya menunggu beberapa saat untuk memenukan kepastian, dan diamku bikin kepalanya geleng-geleng makin kencang. "Nggak bener kamu, nih," katanya pelan. "Kamu pacarin, kan, anak orang?"

"Enggak!"

"Jangan sembarangan kamu, Neng!" kecamnya sambil memajukan badannya ke arahku dan menunjuk mukaku. "Memulai bisnis itu yang profesional, jangan kebanyakan pakai tipu daya, apalagi ke orang yang nggak tahu apa-apa. Nyogok, nyuap itu biasa di kalangan pebisnis kayak kita, tapi jangan nipu orang kecil!"

"Aku juga sedang mengarahkannya buat mau tanda tangan kontrak, tapi nggak semudah itu membujuk Mahmoud. Mesti pakai strategi. Dan dia... dia kayaknya udah mulai mau, kok, bentar lagi juga papi dapat salinan kontrak dan invoice pembayarannya."

"Gimana cara kamu meyakinkannya?"

"Ya pokoknya ada lah...."

Papi menggeram, "Jangan sampai papi dengar dari mulut orang lain. Jangan bikin masalah, apalagi sampai melibatkan urusan pribadi ke ranah pekerjaan. Kalau memang caramu meyakinkannya seperti dugaan papi, kamu juga yang susah nanti. Cowok seganteng itu, yang ada kamu malah yang jatuh hati sama dia. Mau kamu dikawinin sama pesuruh? Mau ditaruh mana muka papi nanti? Jangan-jangan...."

"Jangan-jangan apa?!"

"Jangan-jangan kamu sengaja mau jadiin dia model supaya bisa benar-benar kamu pacarin?" tembaknya tanpa basa-basi. Jantungku langsung amblas rasanya gara-gara tuduhan papi begitu persis dengan gagasan melenceng yang juga nyaris terbersit di benakku dan kuusir jauh-jauh. "Suka, ya, kamu sama dia?"

"Aku udah bilang enggak, ya, Pi. Aku lagi nggak punya waktu buat main-main sama cowok, fokusku cuma ngembangin bisnis ini dan Mahmoud adalah jalan pintas yang menghemat waktu serta tenagaku. Papi bisa lihat, kan, penjualan produk-produk HBM meningkat drastis melebihi pencapaian dua tahun belakangan ini. Oke... mungkin kesannya jahat banget kami manfaatin dia, tapi akan segera kami perbaiki, kok. Dengan begini, kami bisa punya brand image yang kami ciptain sendiri, dan tentu saja... bisa dibayar lebih rendah daripada Dian Rai, atau yang lain. Papi tenang aja, pulang, kerjain urusan papi yang lebih penting. Biarin aku berusaha ngembaliin dana yang papi kucurkan buat bisnisku. Oke?"

"Papi memang pernah bilang nggak usah nyari suami yang levelnya ketinggian, papi nggak suka anak-anak papi kalah pamor di rumah tangganya sendiri, tapi ya kalau bisa jangan gini-gini amat lah. Kamu dekat sama siapa, tuh, Adrian aja papi nggak suka. Model, artis... dah, jangan sama jenis manusia yang kayak gitu. Ngerepotin, kebanyakan drama!"

Aku memijit kedua alisku dari arah dalam ke luar beberapa kali begitu papi meninggalkan kantor. Sisa hari itu kulalui seperti biasa. Aku dan Cynthia sudah mulai menyusun draft perjanjian kerja dengan Sigit Handam Almahmoudi secara profesional. Aku baru selesai mengemasi barang-barangku ke dalam tas saat kulihat Mahmoud berbicara serius dengan Riana di mejanya yang letaknya tepat di depan ruanganku. Rencananya aku mau pulang awal dan menghabiskan waktu di sasana olahraga. Personal trainer-ku sudah menunggu untuk satu sesi angkat berat. Aku perlu mengencangkan lagi paha dan perutku menjelang peluncuran video work out baru minggu depan, sekaligus memenuhi undangan seorang Youtuber dan fitness influencer untuk tampil di kanalnya. Promosi gratisan kayak begini harus dimanfaatkan sebaik mungkin.

Riana masuk dengan raut tegang disusul oleh Mahmoud, "Mas Mahmoud mau mengundurkan diri," katanya.

Kuusir Riana keluar.

"Saya harus pulang kampung untuk menyusun strategi," kata Mahmoud serius.

"Strategi apa?"

"Untuk masa depan saya," katanya.

Keningku mengerut. Masa depan macam apa yang harus dipikirkan dengan balik kampung? Dia ini emang sengaja mengujiku atau gimana, sih? Atau dia sedang meningkatkan bargaining power-nya?

"Saya nggak mungkin stay di Jakarta dengan bekerja sebagai pesuruh, kecuali saya menemukan tempat kos kecil kumuh yang mengharuskan saya berbagi kamar mandi dengan belasan orang yang tinggal di sana."

"Siapa yang bilang begitu?"

"Adrian."

Adrian lagi. Adrian lagi. Gemas sekali aku dibuatnya. Seolah-olah semua hal yang berkaitan dengan Mahmoud berporos pada nama itu. Tarik napas sekali lagi, ingat selalu sesi-sesi meditasi untuk menenangkan dirimu, Mina....

"Sebenarnya tak masalah, tapi apa bisa saya menemukan tempat seperti itu sebelum minggu ini berakhir?"

"Ceritakan pelan-pelan, Mahmoud... jangan terburu nafsu. Seharian ini kamu bekerja dengan sangat baik, kok tiba-tiba di akhir hari kamu punya gagasan sinting kayak begitu?" tanyaku, agak kurang terkendali. Mahmoud nggak bisa dibegituin, Mbak Mina—ucapan Gio melintas di otakku—dia harus dihalusin, dibelai-belai, kekerasan dan paksaan nggak akan mempan buatnya.

Mahmoud sepertinya terlalu gusar untuk menggubris nada bicaraku yang berubah, "Minggu lalu, Adrian bilang dia harus pindah ke apartemen barunya akhir bulan ini. Dia harus menemukan tempat tinggal baru yang lebih representatif—begitu katanya—untuk menunjang karirnya. Dia tidak bisa mengajak saya pindah ke sana karena tinggal dengan sesama jenis bagi seorang model pria, hampir sama risikonya dalam menimbulkan rumor tak sedap dengan tinggal bersama perempuan tanpa ikatan pernikahan—"

"Kok kamu nggak pernah cerita?"

Mahmoud menarik dagunya heran, "Bukannya Bu Mina yang bilang... tidak ada lagi pembahasan mengenai Adrian?"

Astaga... ya, memaaang! Tapi maksudku kan yang berkaitan dengan hubungan ranjang kami, bukan terus apa-apa nggak boleh dibicarain. Kadang aku gemas banget sama sifat Mahmoud yang satu ini, segemas kalau aku udah nunggu-nunggu disentuh, tapi dia malah nggak bereaksi. Kalau kutanyain, dia bilang 'bukannya harus konsensual?' Ya dia mau tahu itu konsensual apa enggak kalau dia diam saja, nggak minta, atau mulai melakukan sesuatu.

"Oke, terus? Kok tiba-tiba?"

"Sebab tiba-tiba saja juga dia bilang... Sabtu ini barang-barangnya harus segera dipindahkan. Pemilik apartemen memintanya mengosongkan tempat dua minggu sebelum perjanjian berakhir—"

"Terus kamu mau pulang begitu saja? Nggak bisa, Moud. Terus aku gimana? Nggak ada yang ngisi posisimu di sini, lho, lagian... jadwalmu sama Albert kan masih padat terus."

Mahmoud menggigit bibir atasnya dengan alis bertaut. Dia lalu bersandar, kemudian maju lagi. Bersandar lagi, maju lagi sambil membuang napas berat. Aku menggeram tak sabar, "DI tempat Albert gimana?"

"Nggak ada kamar di rumah Mas Albert. Saya udah nanya, tapi ada kontrakan di dekat sana, duit saya nggak cukup."

"Gio?"

"Mas Gio sering bawa pacarnya ke apartemen, nggak memungkinkan. Lagian katanya AC-nya mati, nggak tahu saya apa hubungannya."

"Kubayarin aja lah kontrakannya."

"Jangan," kata Mahmoud tegas. "Saya nggak mau. Saya udah minta dikirimin sama orang rumah, tapi ibu saya bilang... kalau di Jakarta susah, mending pulang saja."

"Terus kamu mau?"

"Sebenarnya... saya ada urusan juga di rumah, anu—"

"Nggak bisa, Moud, nggak bisa," potongku tergesa, aku nggak bisa bayangin gimana rencana kami kalau dia pulang kampung segala. Waktu sudah mepet banget, takutnya nanti banyak drama waktu minta datang kembali ke Jakarta. "Kamu kemarin bilang... kamu mau melakukan apa saja untukku, kan? Ini saatnya aku benar-benar butuh bantuan kamu. Apa, dong, artinya janji kamu kemarin kalau urusan beginian aja kamu mau ninggal tanggung jawabmu di sini?"

Mahmoud menggaruk rambut tebalnya yang tersisir rapi, pasti Albert habis mengambil gambarnya untuk kepentingan konten minggu depan. "Saya nggak berniat mengingkari itu, saya hanya bingung... ibu ada ide saya tinggal di mana yang bisa saya bayar dengan gaji saya? Saya nggak masalah tempatnya agak jorok, yang penting bisa ditinggali dengan cepat,"

"Apartemenku aja," kataku mantap. "Ya, kamu tinggal sama aku aja."

Habis perkara.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro