37. Feijoa

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Happy Valentine's day...

Trapping Mr. Mahmoud versi premium part 63-64 sudah bisa dibaca di Karyakarsa, ya...

Part 37 ini juga versi lebih cihuy-nya ada di sana.

Mau diupdate terus di wattpad? Jangan lupa vote dan komen 🥰

Feijoa is a small elliptical fruit with tart, slightly gritty flesh that you can scoop out with a spoon to your lover's mouth.

Oke. Ini yang terakhir. Botol sampo yang isinya tinggal setengah. Aku menimangnya. Perlu nggak ya aku membawanya pindah? Tentu saja aku masih bisa membelinya lagi. Uang lemburanku lumayan banyak, tapi aku harus berhemat.

Sampai pembicaraan terakhir di telepon, Ummi masih menolak meminjamiku sedikit uang. Beda dari iming-imingnya kemarin sewaktu dengan menggebu-gebu cerita soal warisan kakek, begitu tahu aku kesulitan di Jakarta, Ummi tiba-tiba nggak punya uang buat dipinjamkan. Mereka membujukku pulang dan memajukan desa dengan uang yang bahkan belum kelihatan wujudnya itu, daripada kerja di kota tapi uangnya buat tinggal saja masih kurang.

Aku sedang asyik menimang botol, mempertimbangkan beberapa ribu rupiah yang bisa kuhemat, tapi dengan risiko merusak baju-bajuku kalau kujejalkan ke dalam tas. Lalu aku membungkusnya ke dalam kantung plastik dan baru akan mengikatnya ketika ponselku berdering. Wajah ayu Bu Mina terpampang di layar. Aku memasangnya tempo hari gara-gara melihat layar ponsel Mas Gio sewaktu menerima panggilan dari Bu Mina. Semula kupikir akan aneh kalau orang melihat, tapi sepertinya itu hal yang wajar. Meski, yah... supaya sama dengan yang lain, aku memasang foto resmi Bu Mina yang terpasang di name card-nya.

Perempuan itu benar-benar nggak bercanda mengenai tawarannya. Aku juga nggak langsung mau, harus terus dipaksa. Semula aku yakin Bu Mina ragu, tapi karena aku lebih ragu lagi, dia malah jadi setengah memaksa. Terus terang, aku gugup sungguhan membayangkan tinggal seatap dengan perempuan itu. Bukannya aku tak senang, aku sangat senang sampai rasanya kayak habis dapat durian jatuh. Masalahnya, durian itu kan berat dan berduri, ada kemungkinan duriannya jatuh ke kepalaku dan aku malah akan celaka. Rasanya mengerikan membayangkan keberuntungan yang berlebihan semacam ini, takut aku menghabiskan seluruh jatah keberuntungannku seumur hidup. Bayangkan saja, aku akan bisa melihatnya setiap pagi saat ia bangun tidur, kami akan sarapan bersama, lalu bertemu lagi di kantor, dan pulang bareng. Di rumah, aku masih bisa melihat wajahnya sebelum tidur. Itu kalau kami enggak tidur bersama. Artinya, ada kemungkinan aku akan menghabiskan 24 jam bersamanya. Mengerikan. Itu impian setiap lelaki, menghabiskan waktu bersama perempuan molek yang bisa ditiduri tanpa harus ribet urusan komitmen.

Nah, di situlah kekhawatiranku yang lain menghantui. Apa aku tipe setiap pria yang senang bisa meniduri perempuan cantik, pintar, dan menyenangkan di atas tempat tidur tanpa rasa ingin memiliki? Atau jangan-jangan... aku akan jadi cowok menyebalkan yang menuntutnya macam-macam?

Panggilan Bu Mina terputus.

Sial! Aku keenakan ngelamun sampai lupa menjawab panggilannya. Pesannya menyusul melalui telegram. "Ada Adrian di dalam? Atau kamu mau coba-coba berubah pikiran?" begitu bunyi pesannya.

Hari Sabtu pagi, dia sudah tiba di gedung apartemen Adrian yang nyaris kosong, tinggal barang-barangku yang tersisa. Saat aku menjemputnya di depan lift yang membuka, Bu Mina tersenyum lebar sambil mengangkat satu tangannya yang menenteng plastik berisi sarapan ke atas, dan yang lain bertengger di pinggang. Aku tertawa geli karena di depan lift itu bukan hanya ada aku, melainkan beberapa penghuni yang juga hendak menggunakannya. Apalagi dia masih sempat mengucapkan "Tadaaa!" dengan manisnya sebelum matanya membelalak lebar gara-gara semua orang menertawakannya.

Aku menangkap pinggangnya saat ia melompat ke arahku dan menyembunyikan wajahnya yang memerah sampai ke telinga di dadaku. Punggungku terdesak di dinding, aku tertawa terpingkal-pingkal, tapi terdiam sedetik kemudian saat kulihat matanya menatapku penuh arti. Tanpa bertanya, aku menyentuh tengkuknya dengan hati-hati dan memupus jarak antara wajahku dan wajahnya. Bibirku baru berani melekat di bibirnya sewaktu mata indahnya menutup, lalu salam selamat pagi saling kami ucapkan dengan suara serak yang gugup. Kalau orang melihat kami, mereka pasti menyangka kami pasangan kasmaran. Tak akan ada yang tahu hanya aku yang kasmaran, sedangkan perempuan ini mungkin cuma sedang horny saja.

Dua bungkus nasi yang dibawanya kubiarkan tergeletak di meja dapur. Bu Mina menyeret kausku dan tak mau berhenti bercumbu. Siapa bilang aku juga mau berhenti? Kupeluk erat pinggangnya dan kubawa dia masuk sambil berjalan mundur ke kamar Adrian. Di tepi tempat tidur, aku membalik posisiku dan membaringkannya lebih dulu, baru aku jatuh perlahan menindih tubuhnya yang menerimaku dengan sukarela.

"Ahhh, Mu...," desahan favoritku.

Dia hanya memanggilku 'Mumu' jika kami bercinta.

Pagi ini, aku membelainya sampai bulu-bulu halus di sekujur tubuhnya meremang. Sesekali, aku menangkap tatapan ngeri di matanya, persis seperti itu setiap kali aku memutuskan kali ini aku akan memperlakukannya dengan lembut. Sesudah seluruh pakaiannya tanggal, dia akan menarik kausku lepas lewat kepala, lalu membelai dadaku dan mengambil giliran membasahinya. Kami berciuman lagi, lalu biasanya aku hanya akan membiarkannya membantuku melepas kait celanaku, dan sisanya kulakukan sendiri sambil membaringkannya. Aku di atas, dia di bawah, lalu aku kembali ke atas mendominasinya, kemudian dia membalik posisi memegang kendali, begitu terus sampai kupastikan dia mendapatkan yang diinginkannya, sebelum aku sendiri menerima ganjaranku yang setimpal. Waktu kami selesai dan dia meninggalkanku ke dapur mengenakan kausku yang kebesaran di tubuhnya, hari sudah siang dan sarapan kami sudah dingin.

Bu Mina menyuapiku di atas tempat tidur, "Kamu akan suka tinggal denganku," katanya.

Aku mengunyah lambat nasi kuningku dalam keadaan bugil terbalut seprai putih yang amburadul diacak-acak olehnya, "Maksudnya saya akan disuapi begini terus setiap pagi?"

"Yah, kalau kamu prima seperti barusan," katanya enteng lalu tertawa gara-gara malu sendiri. Bahkan caranya menyuap nasi sambil memandangiku dengan mata yang masih menyisakan senyum saja sudah membuatku suka, apalagi tinggal dengannya dan bisa melihat itu setiap hari? "Tapi... kurasa kita perlu membuat beberapa peraturan baru."

Peraturan lagi. Napasku kuhembuskan berat tanpa berusaha kusembunyikan.

"Kita akan tidur di kamar berbeda, kamu nggak akan meletakkan barang-barangmu di kamarku, atau sebaliknya," katanya, tak peduli dengan dengus keberatanku. Aku bisa menerimanya, jadi kuanggukkan kepalaku sambil menambahkan sepotong besar suiran ayam ke suapanku berikutnya. Bu Mina menarik sendok dari dalam mulutku. "Kita juga akan jalan ke kantor dan pulang masing-masing."

"Artinya... tidak ada yang boleh tahu kita tinggal bersama?" tanyaku dengan pipi sebelah membola besar dipenuhi nasi kuning dan lauk pauk.

Bu Mina mengangguk sambil melahap suapan kecil untuk dirinya sendiri. "Tentu saja, akan runyam kalau ada yang tahu," katanya tegas. "Oleh karena itu... kamu tidak boleh meletakkan barang-barangmu di luar kamar. Piring dan gelasmu harus sama dengan punyaku kalau kamu nggak mau menyimpan sendiri milikmu di kamar. Sepatu, jaket, baju... jangan ada yang berserak di luar, dan kamu harus selalu memastikan kamarmu dalam keadaan terkunci."

"Kamar ibu juga?" tanyaku.

"Mungkin kamarku tidak, untuk apa?"

"Bagaimana kalau saya menyelinap ke sana suatu malam—"

"Ingat," serunya sebelum aku menyelesaikan kalimatku. Aku tertawa kecil, gemas, ingin mencubit pipinya. "Tiga peraturan sebelumnya masih berlaku, Mumu...."

Aku menjengit, darahku menggelegak mendengar bibirnya mengucap nama kecilku. Aku maju dan menciumnya. Bu Mina mundur sambil tertawa senang. Aku hampir lupa soal konsen barusan saking geregetannya, tapi ini adalah salah satu contoh di mana konsensual tak harus diucapkan secara verbal. Jika dia menyukainya, tak jadi masalah.

"Bagaimana kalau ibu yang menyelinap?" tanyaku menggoda.

"Jangan cabut kunci kamarmu," katanya. "Soalnya aku punya kunci cadangannya."

"Bagaimana kalau saya tidak keberatan ibu menyelinap?"

Bu Mina mencapit hidungku. Dia menjilati sendoknya dengan cara yang sensual sebelum berkata dengan nada rendah nan memikat, "Kalau kamu tidak mencabut kunci kamarmu, itu tandanya aku diperbolehkan masuk."

Sial, perempuan ini. Sesuatu yang terbelit di bawah pinggangku berdenyut, dan tiba-tiba saja, sebuah pertanyaan menggelitik benakku, "Apa rencana ibu kepada saya?" tanyaku.

"Maksudmu?" tanyanya heran.

"Bagi laki-laki seperti saya, tentunya ibu tahu, saya tidak pernah menolak dan saya melakukannya dengan senang hati. Saya tidak perlu tawaran tinggal bersama di apartemen mewah, toh saya tetap sudi menempuh perjalanan sepanjang apapun, kapan saja ibu memerintahkannya. Ini adalah harga yang sangat mahal untuk seorang pesuruh yang ibu ajak menjalin hubungan saling menguntungkan dan dia sendiri merasa beruntung menerimanya."

Bu Mina membasahi bibirnya, kali ini tidak dengan cara yang sensual. Kali ini dia mulai resah dengan apa yang akan kukatakan.

"Apa yang harus gantian saya bayar?" tanyaku terus terang.

Dada Bu Mina membusung, dia menarik napas dalam-dalam. Wajah cantiknya menunduk saat sendoknya mengaduk kotak nasi kuning yang sudah agak berantakan. Aku menyentuh dagunya, mendongakkan kembali wajahnya. Semburat merah jambu terlukis di pipinya yang bersih tak bercela. Jelas sekali, dia membutuhkan bantuan lain dariku yang sifatnya lebih mendesak dari sebelumnya.

"Boleh saya tebak?" tanyaku.

Bu Mina makin resah.

"Saya mau," kataku, membelalakkan matanya. "Apapun yang ibu mau saya lakukan, saya bersedia."

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro