38. Physalis

Màu nền
Font chữ
Font size
Chiều cao dòng

Halo...

Team special part TMM mana suaranya?

Wkwkw

Part special kembali hadir, ya, di part 65, kali ini sekaligus part lanjutan, lho. Biasanya kan special part cuma satu part. 

Seperti biasa, Part Special berisi adegan mature yang sama sekali nggak ada di Wattpad. Jadi kalau kamu team baca Karyakarsa cuma bagian special part doang, silakan dukung di sana, ya...

Part 38 ini versi panjangnya juga ada di sana.

Untuk team Wattpad, jangan lupa vote dan komen, ya... kalau vote dan komennya banyak, bisa lah diup sampai tamat 🤭 

Udah follow instagramku, belum?

Sebelum keluar kamar, aku memastikan bagian belakang blus yang terselip di pinggang cigarette pants-ku tidak menggembung. Di depan cermin, kucoba memasukkan kedua tanganku ke dalam saku celana, lalu melenggok ke kanan dan ke kiri memastikan garis lipatan celana capri yang membalut ketat namun nyaman kaki-kakiku benar-benar rapi. Aku sengaja berlama-lama setelah mendengar suara denting cangkir dari dapur.

Ini pagi pertamaku tinggal seatap dengan Sigit Handam Almahmoudi.

Sumpah mati aku gugup. Hanya karena Mahmoud lebih gelisah dariku saja, sikapku jadi kelihatan wajar. Bagaimanapun, ada laki-laki gagah, ganteng, pintar memuaskanku di atas tempat tidur yang kini tinggal bersamaku, ditambah hubungan kami yang tak jelas bikin aku bingung tentang batasan-batasan teritorial di luar kamar masing-masing.

Selain itu, bagaimana cara mengundangnya bercinta kalau dia tinggal serumah denganku? Kalau dulu, mengundangnya kemari sama dengan mengajaknya bercinta. Mahmoud tinggal bilang dia sedang letih atau sibuk untuk menolaknya (yang seingatku tak pernah ia lakukan). Nah, kalau kami tinggal bareng gini, apa yang harus kukatakan? Apa aku harus berterus terang? Mahmoud... malam ini kita berhubungan seks, ya? Tck... Mahmoud, malam ini kamu tidur di kamarku, ya? Sabi... atau Mahmoud... malam ini jangan kunci pintu, ya? Tiba-tiba aku geli sendiri. Kok selalu aku yang minta, ya?

Kok Mahmoud nggak pernah bilang dia menginginkanku, ya? Jangan-jangan dia nggak pernah ingin? Atau jangan-jangan... aku terlalu sering ingin sampai-sampai sebelum dia ingin aku sudah ingin lagi? Aduh, Mina... bego, bego, bego... kamu keenakan sih dienakin Mahmoud!

Tapi serius, deh. Mahmoud adalah cowok pertama yang begitu peduli apakah aku sudah orgasme atau belum SEBELUM hubungan seksual itu usai. Kebanyakan cowok baru nanya, kamu tadi udah keluar belum, setelah dia mencapai orgasme, atau saat pillow talk. Ya kalau kamu aja mesti nanya, itu artinya belum. Kami kelihatan, kok, kalau orgasme. Kalau seorang cowok mengklaim nggak tahu bagaimana cewek orgasme, bisa jadi dia nggak pernah membuat seorang cewek mencapai klimaks.

Kita tinggal di dunia di mana hubungan seksual selalu tentang kepuasan laki-laki. Kita dipaksa menganggap orgasme perempuan itu semu sehingga banyak perempuan bahkan memalsukannya untuk menyenangkan kaum lelaki. Kalau seorang perempuan bahkan nggak kelihatan orgasme (baik palsu atau tidak) kenapa mereka masih nanya? Jawabannya tentu saja: belum. Mahmoud hanya akan melepas pengaman dan mencapai klimaksnya sendiri setelah aku menunjukkan bahwa urusanku sudah selesai.

Aku membuka pintu kamar, Mahmoud yang cemberut di dapur langsung terlihat dari tempatku berdiri. Aku menahan geli saat menghampirinya sambil bertanya, "Gimana? Bisa diselamatkan?"

Mahmoud agak terkejut melihatku. Dia yang tadinya terdiam dengan dagu ditopang menekuri permukaan cangkir kopi sambil mengerutkan alis jadi salah tingkah sendiri. Buru-buru dituangkannya secangkir kopi hitam untukku. Murni. Tanpa gula. Dia sendiri lantas berdeham, baru mengangguk. "Tapi belum kering," katanya.

Salahnya sendiri, sih. Sampo tinggal setengah aja pakai diangkut pindahan. Dalam perjalanan, botol itu tumpah dan plastiknya yang ternyata bolong merembeskan cairan biru lengket ke seluruh pakaiannya.

Kuhirup kopiku. Masih panas. "Kamu nggak bawa seragam ke rumah, kan?" tanyaku.

Mahmoud menggeleng.

"Ya udah, pakai jaket aja. Nanti di sana ganti baju," kataku enteng.

Mahmoud mengangguk, lalu diam-diam melangkah meninggalkan dapur.

Oh, Mina... punggung lebar itu minta banget dipeluk. Aku menangisi otak kotorku. Aku hampir selalu memikirkan hal-hal itu jika menyangkut Mahmoud, apalagi kalau dia ada di sekitarku. Kadang aku bertanya-tanya, aku ini perempuan macam apa... kubiarkan diriku tenggelam dalam hubungan fisik tanpa perasaan dan menikmatinya, padahal aku bahkan enggak menginginkannya. Kupijat keningku. Tapi ini demi kemajuan HBM. Ya, benar. Ini demi masa depanku dan orang-orang yang bergantung padaku.

"Ibu mau dibuatin sarapan dulu?" Mahmoud bertanya saat kembali ke dapur. Dia mengenakan jaket berkendaranya. Kerah kemeja yang biasanya dibiarkan mengintip nggak terlihat karena dia nggak punya apa-apa buat dikenakan di balik jaket itu. Aku kok... agak nggak rela ya kalau orang-orang ngelihat tulang selangka Mahmoud ngintip-ngintip seksi gitu. Kutarik kerah jaketnya. Mahmoud mendekat dan mencium bibirku begitu saja.

Cup!

Astaga. Dia pikir aku mau ngelakuin itu. Tapi kepalang tanggung, kami pun saling pagut. Mata Mahmoud memejam saat aku menarik mundur wajahku. "Saya baru bertanya-tanya... apa saya harus, tidak harus, boleh, atau tidak boleh melakukannya," katanya.

Sambil menaikkan retsleting jaketnya sampai leher, aku berkata, "Kurasa biarkan natural saja," kataku, menepuk dadanya. "Tidurmu semalam nyenyak?"

Dia mengangguk.

Aku berdeham, "Kalau menurutmu perlu... kita bisa, kok, bikin daftar boleh, tak boleh, harus, tak harus, kapan, di mana... hehe... gimana?"

Bahu Mahmoud menggedik, "Terserah ibu saja."

"Kok terserah, kamu kan juga terlibat. Ini bukan hanya tentangku, lho, Mahmoud... kamu... juga menikmatinya, kan? Nggak terpaksa?"

Mahmoud malah tertawa kecil, menunduk sebentar, lalu mempertemukan tatapannya denganku. "Kalau saya nggak menikmati, masa iya saya sampai bilang... saya bersedia melakukan apa saja untuk ibu, padahal saya tahu pasti... yang ibu inginkan bukan hal yang saya sukai."

Aku jadi semakin merasa bersalah. Cynthia sudah siap dengan draft MoU dan PKS Mahmoud. Begitu Mahmoud memberi lampu hijau Sabtu kemarin sehabis kami bercinta, diam-diam aku memberitahu Cynthia supaya segera mengirim draft yang disusunnya via surel ke pengacara papi untuk dipelajari. Kemungkinan kalau tak ada revisi yang berarti, kami sudah bisa meminta Mahmoud segera menandatanganinya.

Kulepas kepergian Mahmoud dengan kurang lapang dada. Jelas bukan perjanjian kerja sama itu yang diharapkannya dariku, melainkan hal lain.

Aku baru akan menyusul Mahmoud sepuluh menit kemudian setelah menghabiskan selembar roti gandum panggang dan selai kacang buatan tangan Stef ketika bel pintu berdentang. Saat kuintip sosok Adrian yang tengah berdiri di depan pintu, tak ayal jantungku berdegup liar. Cukupkah sepuluh menit bagi Mahmoud untuk turun, mengambil sepeda motornya dari parkiran, dan keluar dari gedung apartemen tanpa berpapasan dengan Adrian di gerbang?

"Did I just saw Mahmoud?" tanyanya begitu pintu kubuka

"Mungkin saja, aku barusan nyuruh dia ke sini dulu buat ngambil sesuatu," kataku asal namun cukup cepat, kurasa itu bukan hal tak wajar mengingat Mahmoud adalah seorang pesuruh. Tapi begitu kami melewati dapur, kukutuk diriku sendiri. Mahmoud belum menyingkirkan cangkir dan cawan kopinya dari meja.

Adrian melirik cangkir itu, sekonyong-konyong menghampirinya dan bergumam, "Dia minum kopi dari cawan di tempat bosnya."

Ludahku mendadak begitu susah kutelan. "Dia memang selalu begitu, kok, di kantor juga begitu."

Adrian tertawa, "Dasar norak," katanya.

"What brought you here?" tanyaku sambil duduk kembali di kursiku dan meraih cangkir kopi yang sudah kosong. Canggung sekali. Aku meletakkannya kembali.

"Nothing, I just...," Adrian tidak melanjutkan kalimatnya. Sejak tadi kulihat tampangnya tak sesegar biasanya. Dia tampak... terganggu? Aku benar-benar lupa mengontaknya sejak ada Mahmoud. Adrian mendekatiku, memelukku. "I need a hug."

"Oh... okay...."

Kurasakan dekapannya mulai lain, sentuhannya menyusuri punggungku, merambat turun ke pinggangku. Wajahnya membenam di lekuk leherku.

"I can't do this right now," kataku. "Aku harus ngantor."

"Sebentar saja, paling lama setengah jam," katanya.

"So it's all about you, nggak mutual," kataku.

"Biasanya juga nggak mutual kalau kamu yang lagi kepingin."

"Kamu terus menolakku, Adrian. Kamu hanya mau melakukannya kalau aku lagi horny dan mabuk, sampai kadang aku harus pura-pura mabuk supaya punya alasan buat horny di depanmu!" cerocosku.

Adrian mengernyit. "Mahmoud bilang sesuatu ke kamu?" tanyanya alih-alih.

Aku gantian menyatukan alis. Soal cewek di apartemennya itu maksudnya. Aku menggeleng, "Tentang?"

"Nevermind," gelengnya. "Aku lagi butuh sandaran, Minul...."

"Kenapa lagi?"

"Aku belum mulai kerja sampai sekarang, sudah sebulan lebih."

"Bukannya kamu udah dapat duitnya?"

"Dari mana kamu tahu?"

"Mahmoud bilang kamu pindah ke apartemen mewah, tapi nggak bisa mengajaknya karena tinggal bersama seorang pria di dunia modelling sama riskannya dengan tinggal bersama perempuan tanpa ikatan pernikahan. Jahat banget. Kenapa nggak terus terang saja, sih?"

"Terus dia tinggal di mana sekarang?"

"Di kantor," karangku cepat.

"Aku... entahlah, mungkin ini perasaanku saja. Bolak-balik Stevan nanyain Mahmoud... kayaknya dia mau ngerekrut Mahmoud buat dijadiin pendatang baru di agensinya. Dia bahkan nggak peduli Mahmoud sama sekali nggak tertarik, nggak peduli Mahmoud bahkan nggak pernah foto buat akun medsos-nya sendiri. Dia bahkan nggak ada akun medsos setahuku...."

Aku mengambil kesimpulan, dia belum menemukan instagram Mahmoud bikinan Gio. Dia juga tidak mengikuti akun gosip mana pun.

"Aku cemas, Min. Karirku baru dimulai... aku belum siap mendapatkan saingan dari seseorang yang dekat denganku. Bebannya terasa lebih berat. Apalagi... Stevan nggak mau bilang siapa sebenarnya pendatang baru lain yang diincar brand itu buat disandingin denganku...."

Sebelum Adrian melanjutkan curhatannya, aku merogoh ponsel dan mengetik pesan singkat ke Gio. Kami harus gerak cepat. Sebelum Mahmoud direbut orang.

Bạn đang đọc truyện trên: Truyen2U.Pro